Melindungi anak secara maksimal, bisakah? Setiap kali terjadi kasus kekerasan anak, entah pemukulan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan, sesudahnya lalu muncul desakan untuk melindungi anak secara maksimal. Hal itu termuat dalam kepres tujuan Hari Anak Nasional (HAN). Akan tetapi, dalam waktu yang berjalan, tetap saja terjadi lagi dan lagi kekerasan terhadap anak.

Tanggal 23 Juli ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Penetapan ini berdasarkan Keputusan Presiden No 44 Tahun 1984, namun peringatannya baru rutin mulai 1986 sampai sekarang. Secara bergantian, kementerian ditunjuk sebagai penyelenggara peringatan HAN. Tujuan dilaksanakan HAN antara lain untuk meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta bersama pemerintah membina dan mengembangkan anak secara holistik-integratif dan berkesinambungan sehingga hak-hak anak terpenuhi.

Kemudian, mewujudkan tingkat kesejahteraan dan melindungi anak setinggi- tingginya sebagai generasi penerus cita-cita bangsa. Tujuan lain meningkatkan kesadaran pemerintah, masyarakat, orang tua, dan komponen bangsa agar memenuhi hakhak anak berdasarkan Child Rights. Kemudian, menghindarkan anak-anak dari (penyalahgunaan, perlakuan kejam, penyiksaan).

Jangan ada tindakan melalaikan, eksploitasi, kekerasan, dan anak. Anak harus dijauhkan dari pemakaian obat-obatan terlarang serta pornografi. Tentu semua tujuan di atas kertas selalu bagus seperti juga maksud dilaksanakan HAN sebagaimana tercantum dalam keppres tersebut. Hanya di dalam praktik, banyak yang belum terwujud. Salah satunya untuk melindungi anak setinggi-tingginya. Dia harus dilindungi dengan alasan sebagai generasi penerus bangsa.

Namun, nyatanya anak-anak belum terlindungi dengan baik. Hal itu terlihat dari data kekerasan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Lihat saja data dari tahun 2011 sampai 2015 kekerasan terhadap anak semakin banyak terjadi sebagaimana laporan Komnas Perlindungan Anak. Berikut datanya, tahun 2011 terdapat kekerasan terhadap anak sebanyak 2.000 lebih kasus. Berturut-turut dari 2012 sampai 2015 angkanya lebih dari 3.500, 4.300, 5.000, 6.000 kasus.

Data tersebut menegaskan anak-anak semakin rentan menjadi korban kekerasan fisik dan psikis. Maka tema peringatan HAN tahun ini pun masih seputar melindungi anak. Kali ini temanya, "Perlindungan Anak Dimulai dari Keluarga". Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana, tema tersebut dilatarbelakangi perlunya kesadaran keluarga Indonesia untuk mengasuh anak. Keluarga merupakan awal pembentukan kematangan individu dan kepribadian bocah.

Sebenarnya tema tersebut cukup "aneh" karena sudah semestinya keluarga tempat berlindung pertama dan utama. Maka kalau ada tema tersebut, asumsinya (ada) keluarga tidak atau belum menjadi tempat berlindung. Memang pada dasarnya, sudah seharusnya anak-anak aman, nyaman, dan damai di dalam keluarga karena terlindungi.

Namun pada kenyataannya, just r u banyak juga anak-anak mendapat perlakuan tidak wajar di dalam rumah. Anak mendapat kekerasan dari kakak, adik, bahkan ayah dan ibu. Anak di dalam keluarga juga sering mendapat perlakuan keras dari kerabat terdekat lainnya. Malahan tidak sedikit anak diperkosa oleh orang-orang terdekat di dalam rumah.

Jadi tema tersebut tetap relevan agar keluarga diingatkan kembali supaya mampu melindungi anak. Kalau keluarga tidak mampu melindungi anak, lalu ke mana bocah-bocah harus mencari tempat berlindung? Ayah dan ibu harus menjadi motor utama yang berusaha keras mengawasai, melindungi, dan mendampingi putra-putri.

Hak Anak

Melindungi tak hanya berarti dari perlakuan kasar, tetapi juga memberikan hak-hak yang menjadi anak-anak. Salah satu, kodrat yang tak boleh dicabut dari anak adalah bermain. Tapi sekarang banyak anak tidak lagi memiliki hak untuk bermain. Sejak pagi sampai malam mereka dibuat sibuk. Lihat saja, pagi pukul 05.00 sampai sekitar pukul 13.00 sibuk berangkat, belajar, dan berada di sekolah.

Setelah itu ada urusan kursus-kursus atau pelajaran tambahan, kalau tidak bimbingan- bimbingan belajar sampai pukul 17.00. Setelah ini anak-anak harus mengulang pelajaran tadi pagi, lalu tidur. Jadi, kapan anak-anak melaksanakan hak untuk bermain. Sosialisasi dengan lingkungan juga semakin terbatas.

Anak-anak praktis kebanyakan hanya mengenal teman-teman di sekolah. Sangat jarang sekarang anak-anak yang kenal, apalagi bermain dengan rekan-rekan sebaya di lingkungan rumah. Gaya hidup modern yang memasang tembok tinggi di lingkungan-lingkungan berkelas, membuat tembok tinggi sehingga membatasi pergaulan dengan tetangga kiri dan kanan.

Mereka sekadar sapa formal dan tidak bergaul sebagaimana zaman dulu ketika rumah tidak ada tembok tinggi. Memang kebutuhan keamanan tidak dapat disangkal telah melahirkan gaya hidup eksklusif.

Maka beruntunglah yang tinggal di perumahan-perumahan yang rumahnya tanpa pagar, sehingga masih saling bergaul di antara tetangga. Anak-anak masih bermain dengan rekan sebaya yang tinggal di sebelah depan, kiri, dan kanan.

P Erni Damayanti, Penulis aktivis sosial kemasyarakatan

Baca Juga: