Oleh Richard Sianturi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus-menerus digempur dari berbagai sisi. Gempuran bertubi-tubi seperti serangan balik nyata dari mereka yang tidak senang melihat upaya pemberantasan korupsi. Dengan alasan banyak kekeliruan dan penyimpangan internal, segala cara dilakukan untuk menyudutkan KPK.

Ini tidak untuk mengatakan KPK mutlak bersih dan tidak tercela. Perlu diakui ada saja potensi pelanggaran oleh oknum di tubuh KPK. Namun, wacana pembekuan KPK oleh politikus PDIP, Henry Yosodiningrat, susah diterima akal sehat. Apalagi, usulan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membubarkan KPK. Ini sangat emosional dan memalukan.

Semangat antikorupsi lembaga DPR patut dipertanyakan. Sebab hanya ingin mempersoalkan oknum atau salah prosedur teknis, tetapi KPK ingin dibubarkan. Ibarat ingin membunuh tikus, lumbungnya yang dibakar. Bisa dikatakan, KPK tidak sedang dalam keadaan aman-aman saja.

Sekali lagi, menyatakan KPK itu tidak ada salahnya adalah naif. Banyak memang perlu disadari dan dibenahi KPK. Tetapi, menyatakan KPK tidak perlu lagi, KPK lebih baik dibekukan atau dibubarkan lebih naif lagi. Korupsi yang dilakukan dengan sadar dan sengaja oleh para pejabat negara sudah merusak dan menghancurkan bangsa ini.

KTP dikorupsi, pengadaan Al Quran dikorupsi, sogok-menyogok soal pajak, main mata di pengadilan, jaksa korup, kementerian bau busuk karena suap-menyuap, dan dana pendidikan dicuri. Kemudian, biaya proyek-proyek pengadaan barang dan jasa di-mark up, dana kesehatan dimanipulasi, pembangunan sarana olahraga dikorupsi. Ini terjadi di semua lembaga negara, oleh pejabat kelas teri (petty corruption) sampai kelas kakap (grand corruption).

Survei terbaru Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Polling Center menyatakan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK berada di urutan paling atas dari 13 lembaga negara. Dari 1.819 responden, sebanyak 86 persen menyatakan percaya kepada KPK. Sementara itu, kepercayaan terhadap DPR hanya 51 persen. Data ini menempatkan DPR di posisi ke-12, peringkat tiga dari bawah.

Sedangkan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tahun 2017, sebanyak 64,4 persen responden lebih percaya KPK. Yang percaya DPR hanya 6,1 persen. Ironis, padahal DPR lembaga perwakilan rakyat.

Survei CSIS tahun 2016 juga menyimpulkan hal sama. Dari 3.900 responden nasional, 88,2 persen percaya KPK. Yang menarik karena survei ini dikaitkan dengan kinerja partai politik dalam pemberantasan korupsi, hanya 80,4 persen menyatakan partai politik tidak efektif memberantas korupsi dalam tubuh sendiri.

KPK Memuaskan

Terkait dengan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja KPK, survei ICW dan Polling Center tahun ini menyatakan, 12 persen sangat puas dan 58 persen puas. Angka ini tidak jauh berbeda dari survei tahun 2016 yang menyatakan, 9 persen responden sangat puas dan 61 persen puas terhadap kinerja KPK. Jika dirata-rata, berarti dalam dua tahun terakhir, kepercayaan masyarakat konsisten berada di angka 70 persen, sangat tinggi.

Dari sekian data ilmiah, bisa dimengerti rakyat serta-merta menjadi emosional ketika wacana pembekuan atau pembubaran KPK dilontarkan kembali, apalagi oleh lembaga DPR yang konsisten berada di urutan bawah perihal tingkat kepercayaan masyarakat. Rakyat merasa dilangkahi lembaga yang mewakili.

Wajar, kalau rakyat jadi emosional. Saat KPK bisa menangkap banyak pejabat korup, masyarakat punya harapan pencurian duit rakyat berkurang. Warga makin sadar, pencurian-pencurian duit rakyat itulah yang secara struktural dan signifikan merusak kualitas hidup mereka.

Data tadi sekaligus mengirim pesan jelas dan keras: siapa saja yang mau membubarkan KPK berarti melawan kehendak rakyat. Kualitas hidup warga dirusak perilaku korup penyelenggara negara dan politisi yang bersekongkol dengan pengusaha-pengusaha hitam.

Pelemahan terhadap KPK mutlak harus dihentikan. Jika DPR ingin meningkatkan kepercayaan atas kinerja dan komitmen pemberatasan korupsi, hentikan semua usaha melemahkan KPK. Dalam konteks pansus angket, jikapun ada rekomendasi perbaikan, harus untuk membantu KPK berbenah, bukan melemahkan, apalagi membubarkan.

Perlu diingat, sejak awal terbentuknya, pansus ini dipersoalkan baik dari sisi hukum maupun intensi. Survei SMRC menyatakan 65 persen responden dari 1.350 menolak pansus. Mereka yakin pansus hanya akan mengganggu pemberantasan korupsi. Presiden Joko Widodo harus menunjukkan sikap tegas mendukung kinerja KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.

Berbagai pernyataan saja tidak cukup. Presiden harus menyatakan komitmen yang tinggi terhadap penguatan KPK. Salah satunya menolak usulan draf revisi UU KPK yang diajukan DPR. Presiden harus menolak usulan revisi UU KPK yang semata-mata beniat memangkas kewenangan.

Seluruh institusi penegak hukum baik kejaksaan maupun kepolisiaan, jangan mudah diprovokasi untuk saling serang dan bertengkar. Koruptor dan kroni-kroninya akan melakukan usaha-usaha untuk membenturkan lembaga penegak hukum lain dengan KPK agar pemberantasan korupsi lemah. Sebab energi sudah habis untuk menyelesaikan konflik antarlembaga.

Pernyataan-pernyataan provokatif yang menyerang KPK harus segera dihentikan. Pernyataan semacam itu, apalagi berasal dari anggota parlemen memalukan dan tidak pantas. Apalagi setingkat pimpinan. Pernah ada ancaman menahan anggaran untuk KPK terbukti menjadi blunder bagi DPR sendiri. Maka, blunder-blunder buatan DPR harus dihentikan, kecuali menginginkan hukuman dari rakyat di pemilu mendatang.

Meskipun rakyat meletakkan kepercayaan tinggi, KPK tetap harus berbenah diri agar celah untuk diganggu secara formal prosedural dapat diminimalkan. KPK harus konsisten untuk membersihkan diri dari oknum-oknum yang tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi yang adil, transparan, dan bersih. Rakyat masih mempercayai KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. Jadi, barang siapa ingin melawan KPK, berarti juga melawan rakyat.

Penulis Alumnus Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

Baca Juga: