Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri dianugerahi sebagai tokoh penggerak gotong royong desa dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi). Adapun Luhut Binsar Panjaitan dinobatkan sebagai tokoh nasional penggerak kemandirian desa.

JAKARTA - Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri dianugerahi sebagai tokoh penggerak gotong royong desa dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi). Adapun Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan dinobatkan sebagai tokoh nasional penggerak kemandirian desa.

Penghargaan itu diberikan secara simbolis dengan penyerahan piagam penghargaan dari Ketua DPP Apdesi Surta Wijaya dalam acara Peringatan Sembilan Tahun UU Desa di kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Minggu (19/3).

Selain Megawati dan Luhut Binsar, sejumlah tokoh lainnya juga meraih penghargaan dari Apdesi, yakni Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebagai tokoh nasional penggerak tata kelola pemerintahan desa, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa sebagai gubernur peduli kesejahteraan aparatur desa.

Berikutnya, Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Apdesi Muhammad Asri Anas sebagai tokoh pemersatu organisasi desa dan politikus PDI Perjuangan Budiman Sujatmiko sebagai tokoh nasional pejuang UU Desa.

Megawati, Luhut, Tito, dan para penerima penghargaan itu selanjutnya melakukan sesi foto bersama di atas panggung. Ribuan kepala desa yang hadir pun menyambut momen itu dengan tepuk tangan meriah.

Acara dilanjutkan dengan pemberian arahan dari Megawati kepada para kepala desa yang hadir. Dalam mengawali arahannya, Megawati berterima kasih karena telah diberikan kesempatan oleh Apdesi dan para kepala desa untuk menghadiri acara tersebut.

Menurut dia, undangan itu diberikan karena Megawati kerap melakukan blusukan ke desa-desa di Indonesia untuk melihat langsung kehidupan masyarakat di desa.

"Saya berterima kasih diundang. Saya tidak menyangka diundang karena meskipun saya tahu karena saya ini suka blusukan ke desa-desa. Kalau namanya blusukan itu, bahasa Jawa. Kalau bahasa lain, diam-diam ke desa-desa, tidak perlu gembar-gembor buat melihat kehidupan di desa kayak gimana," ujar dia.

Baca Juga: