Matoa, buah satu famili dengan rambutan dan kelengkeng, namun relatif paling tidak dikenal. Padahal, rasanya manis buahnya lebih besar dari kelengkeng hampir sama dengan rambutan, namun berkulit halus.

Buah matoa adalah buah asli Papua, banyak tumbuh bukan di pegunungan Papua, namun di dataran rendah seperti Manokwari, Sorong, dan Jayapura. Berbeda dengan rambutan yang dibawa orang luar Papua untuk dikembangkan di sana, matoa benar-benar asli hutan Papua. Makanya matoa menjadi identitas masyarakat Papua, berbeda dengan rambutan atau kelengkeng yang semata menjadi tanaman budidaya tanpa memiliki makna spesifik dengan kebudayaan orang Papua.


"Matoa itu identitas orang Papua, karena kita sudah berinteraksi lama dengan matoa, tidak seperti rambutan yang dibawa dari luar. Banyak tempat di sini menggunakan nama matoa sebagai kebanggaan, sebagai identitas," kata Agustinus Murjoko, dosen Universitas Negeri Papua yang doktoralnya di Fakultas Kehutanan UGM pada 2017 yang membahas matoa, kepada Koran Jakarta, beberapa hari lalu.


Agustinus mengatakan, matoa di Papua, harganya lebih mahal daripada di Yogyakarta, sebab di Yogya matoa sudah banyak dibudidayakan warga. Sedangkan di Papua sendiri buah matoa didapatkan langsung dari hutan.

"Harganya bisa Rp.150 ribu per kilo. Kalau di Yogya cuma Rp. 60-75 ribu sekilo. Karena di sini diambil dari hutan, ongkos transpornya mahal," katanya.
Agustinus mengatakan, di Papua matoa lebih dikenal dengan kayunya yang digunakan untuk konstruksi atap bangunan di sana. Sebagai usuk dan reng untuk menyangga genteng. Sedangkan di Jawa, kayu matoa relatif tidak dikenal. Dan kayu pohon matoa ini juga didapatkan dari hutan.


Namun mulai 2011 Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sudah menjalankan program rehabilitasi hutan dan lahan dengan menanam salah satunya matoa karena bisa diambil buah dan dimanfaatkan kayunya. Agustinus menyayangkan sampai saat ini belum ada usaha seleksi genetik untuk mendapatkan bibit matoa terbaik untuk buah maupun kayunya.


"Jadi yang berkembang di Yogya itu pun juga masih matoa liar. Beda dengan rambutan atau kelengkeng itu sudah hasil budidaya. Bayangkan kalau matoa dibudidaya dengan baik, dicari gen terbaik tentu hasilnya akan jauh lebih enak daripada rambutan atau kelengkeng," paparnya. YK/R-1

Mengenal Jenis-jenis Matoa

Matoa biasa berbuah pada musim kemarau yakni Juli hingga Oktober. Namun di akhir Oktober ini sudah sulit dijumpai ada buah matoa di pohon-pohon matoa di pekarangan warga di Yogya maupun di toko buah. "Pohon matoa di taman perumahan berbuah lebat September lalu, sekarang sudah habis," kata Haryono, dosen Fakultas Kehutanan UGM.


Di Papua berkembang 2 jenis pohon matoa yakni matoa papeda dan matoa kelapa. Matoa papeda tekstur buahnya lumer seperti papeda dan tidak manis. Sedangkan matoa kelapa buahnya besar dan tebal, lebih tebal dari rambutan atau kelengkeng dengan rasa manis dan lebih kaya rasa melebihi saudara sefamilinya.


"Yang ada di Yogya dan Bantul matoa kelapa semua, saya tinggal lama di Yogya untuk kuliah, jadi tahu dan pernah mencoba matoa di sana manis semua," kata Agustinus.
Purnomo menjelaskan, sebenarnya ada banyak jenis matoa di alam. Namun pengklasifikasian jenis matoa di Indonesia sepertinya belum ada. Dan matoa sebenarnya tak hanya bisa ditemukan di Papua, namun juga di sebagian Sumatera dan Kalimantan. Tapi matoa dengan populasi yang sangat rapat memang hanya bisa ditemukan di hutan Papua.


"Di Nusa Kambangan Cilacap juga ada matoa tapi jenis yang lain lagi dengan buahnya kecil. Matoa di sana hanya jadi kesukaan monyet dan burung. Kalau manusia ya nggak bakal doyan," jelasnya.


Menurut Purnomo rasa matoa di Cilacap yang asam mirip dengan rambutan tipe alami. Yang jarang diketahui, rambutan yang biasa dijual di pasar saat ini adalah rambutan hasil budidaya yang sudah melalui banyak campur tangan manusia untuk mendapat rasa yang diinginkan. "Rambutan telah dibudidaya manusia sejak ratusan tahun lalu, namun matoa di Papua maupun di Nusa Kambangan itu masih alami, belum ada campur tangan manusia," kata Purnomo.


Kalau matoa kelapa tipe alami saja rasanya sudah manis dan enak sekali bagaimana jika budidayanya dikembangkan ? "Tentu akan jadi buah hebat sekali. Barangkali pemerintah bisa mulai menggalakkan budidaya matoa agar jadi buah khas lokal andalan. Rambutan alami yang kecut saja bisa jadi sangat manis apalagi matoa kelapa yang sudah manis, tentu jadi sangat istimewa," pungkas Purnomo. YK/R-1

Pertama di Fakultas Biologi UGM

Bagaimana matoa bisa berkembang ke luar Papua, sampai saat ini tidak ada studi yang bisa menjawabnya. Guru Besar Fakultas Biologi UGM, Purnomo, mengatakan ada banyak jalan matoa bisa sampai ke Jawa. Salah satunya adalah melalui masyarakat kampus. Purnomo menerangkan, pada awal 1980-an, salah satu pendiri Fakultas Biologi UGM, Prof Muso Suryowinoto, mengadakan ekspedisi ke Papua. Purnomo dan beberapa mahasiswa lain ikut serta dalam ekspedisi itu.

Saat ekspedisi itulah mereka untuk pertama kalinya bertemu dengan pohon buah matoa. Dan rasanya manis dengan jumlah pohon yang sangat banyak. "Saking banyaknya pohon matoa masyarakat papua kalau manen matoa tidak pakai memanjat tapi langsung dipotong itu pohonnya," kata Purnomo. Sepulang dari Papua, tim ekspedisi membawa pulang 10-an bibit matoa yang beberapa diantaranya ditanam di Fakultas Biologi UGM dan tumbuh hingga saat ini. Bibit yang lain ditanam di rumah-rumah anggota ekspedisi yang sampai sekarang juga masih tumbuh baik.


"Nah dari pohon di Fakultas Biologi lalu berbuah dan banyak bibit yang ditanam di sejumlah rumah dosen UGM lainnya," kata Purnomo. Salah satu dosen UGM yang menanam pohon matoa dari pembibitan pohon matoa di Fakultas Biologi UGM adalah Haryono, dosen Fakultas Kehutanan UGM. Haryono menanamnya di taman perumahannya di Sleman dan sekarang pohon matoa-nya sudah setinggi lebih dari 10 meter. "Ngambil dari Fakultas Biologi awal 90-an. Buahnya manis dan rutin berbuah setiap tahun," kata Haryono. YK/R-1

Baca Juga: