Baterai lithium adalah salah satu teknologi baterai yang cukup sukses selama 20 tahun belakangan ini. Baterai yang pertama kali diuji coba oleh sebuah perusahaan di Amerika tahun '70-an ini masih belum dikembangkan hingga dipasarkan secara komersial pada 1991 oleh perusahaan Sony Jepang.
Dari komponennya baterai lithium-ion dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu katoda/kutub positif, anoda/kutub negatif, elektrolit, dan pemisah (separator). Cara kerjanya baterai diisi muatan listrik atau dicas, untuk terjadinya aliran elektron dari sumber tegangan menuju katoda ke anoda.
Kesetimbangan muatan, ion-ion lithium dari katoda mengalir melalui elektrolit dan separator menuju kutub anoda hingga kondisi ekuilibrium tercapai pada 100 persen pengecasan. Ketika baterai lithium dipakai muatan listrik berada pada kondisi sebaliknya terjadi yaitu dari kutub anoda ke katoda.
Untuk mengimbangi pergerakan ini, ion-ion lithium yang berasal dari kutub anoda mengalir melalui elektrolit dan menembus pori-pori separator menuju kutub katoda. Kejadian ini terus menerus terjadi hingga seluruh muatan ion di katoda habis atau mengalami kesetimbangan muatan.
Pada baterai yang ada saat ini elektrolit dalam bentuk cair, dengan bahan garam lithium yang dilarutkan dalam pelarut organik cair. Elektrolit cair memang bekerja cukup baik, tetapi mereka memiliki beberapa kelemahan.
"Pada arus tinggi, filamen kecil logam lithium , yang disebut dendrit, dapat terbentuk dalam elektrolit yang menyebabkan korsleting. Selain itu, elektrolit cair dibuat dengan bahan kimia dan bahan beracun yang mudah terbakar," ujar peneliti sekaligus seorang profesor di Departemen Ilmu dan Teknik Material Universitas Maryland Liangbing Hu, seperti dikutip Science Daily edisi Kamis (21/1) pekan lalu.
Dengan elektrolit padat dari bahan yang tidak mudah terbakar maka penetrasi dendrit dapat dicegah. Bahan keramik sejauh ini telah digunakan dalam menghantarkan ion antar kutub katoda dengan anoda. Kekurangannya bahan ini tebal, kaku, dan rapuh.
"Tekanan selama pembuatan serta pengisian dan pemakaian dapat menyebabkan retak dan pecah," ujar rekan peneliti senior di Brown University, Qisheng Wu.

Bahan Baru
Untuk mengatasi masalah tersebut kedua peneliti mengembangkan bahan baru sebagai pengganti elektrolit cair, yang berasal dari kayu pohon berbentuk semacam kertas dari sumber ramah lingkungan. Pada simulasi komputer Wu menggunakan bahan mikroskopis bahan selulosa tembaga untuk memahami mengapa mampu menghantarkan ion dengan sangat baik.
Hasil studi pemodelan mengungkapkan, tembaga meningkatkan ruang antara rantai polimer selulosa, yang biasanya ada dalam bundel yang padat. Jarak yang diperluas menciptakan jumlah jalan yang dapat dilalui ion lithium dengan relatif tanpa hambatan.
"Ion lithium bergerak dalam elektrolit padat organik ini melalui mekanisme yang biasanya kami temukan di keramik anorganik, memungkinkan rekor konduktivitas ion yang tinggi," kata Wu, "Menggunakan bahan yang disediakan alam akan mengurangi dampak keseluruhan dari pembuatan baterai terhadap lingkungan kita," imbuh dia.
Selain berfungsi sebagai elektrolit padat, material baru ini juga dapat bertindak sebagai pengikat katoda untuk baterai solid state. Agar sesuai dengan kapasitas anoda, katoda harus jauh lebih tebal. Ketebalan itu, bagaimanapun, dapat membahayakan konduksi ion, mengurangi efisiensi.
Supaya katoda yang lebih tebal dapat bekerja, peneliti membungkus dalam pengikat penghantar ion. Menggunakan bahan baru mereka sebagai pengikat, tim menunjukkan apa yang mereka yakini sebagai salah satu katoda fungsional paling tebal yang pernah dilaporkan.
Para peneliti berharap bahwa materi baru ini dapat menjadi langkah untuk membawa teknologi baterai solid state ke pasar. "Bahan setipis kertas ini memiliki konduktivitas ion 10 hingga 100 kali lebih baik daripada konduktor ion polimer lainnya," pungkas Wu. hay/N-3

Baca Juga: