Tata kelola keuangan desa belum optimal, terutama alokasi belanja desa untuk pemenuhan kepentingan masyarakat setempat.

JAKARTA - Pemerintah bersama DPR RI jangan terburu-buru mengesahkan revisi UU Desa. Sebab, masih banyak yang perlu dipertajam lagi pembahasannya, apalagi masalah di desa pembangunannya tidak menyentuh masyarakat rentan. UU Desa hanya menciptakan elite sendiri di desa.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan perlunya mengembalikan arah yang tepat dari revisi UU Desa. Khusus terkait ekonomi, menurut dia, perlunya memperkuat solidaritas ekonomi, kolektivitas, dan tata kelola pemerintahan desa yang baik.

"Permasalahan yang tidak dapat dipungkiri adalah pembangunan desa tidak menyentuh masyarakat rentan dan terdapat kecenderungan penguasaan kapital yang terpusat pada golongan kaya atau elite di perdesaan. Hal ini berpotensi menyebabkan korupsi di desa," tegas Badiul kepada Koran Jakarta, Senin (19/2).

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2023 menunjukkan jumlah kepala desa yang terjerat kasus korupsi sebanyak 601 perkara dan aparat desa sebanyak 686 perkara dengan perkiraan kerugian negara sebesar 433,8 miliar rupiah.

Data tersebut diperkuat dengan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2021 yang memperlihatkan kasus korupsi di desa berbasis sektoral, antara lain sektor keuangan dana desa berkontribusi paling banyak kasus korupsi sebanyak 154 kasus dengan potensi kerugian 233 miliar rupiah, sektor pertanahan 21 kasus dengan potensi kerugian sebesar 25 triliun rupiah, dan sektor pemerintahan sebanyak 52 kasus.

Selain itu, temuan Fitra selama proses pendampingan desa kurun waktu 8 tahun terakhir menunjukkan sebagian besar pemerintah desa belum optimal dalam tata kelola keuangan desa, terutama alokasi belanja desa untuk pemenuhan kepentingan masyarakat setempat.

Badiul menyebut setidaknya terdapat empat penyebab terjadinya banyak korupsi di desa, yaitu pertama, minimnya pelibatan dan pemahaman warga terhadap proses pembangunan desa. Kedua, minimnya fungsi pengawasan di desa sebab Badan Pengawas Desa (BPD) belum optimal dalam menjalankan pengawasan anggaran di desa.

Ketiga, terbatasnya akses warga terhadap informasi seperti anggaran desa dan pelayanan publik di desa. Keempat, lemahnya kapasitas dan ketidaksiapan kepala desa dan perangkat desa dalam mengelola dana desa dalam jumlah yang besar.

Pemerintah dan DPR diminta agar tidak terburu-buru mengesahkan Revisi UU Desa di Badan Legislatif DPR RI dengan kembali melakukan kajian dan evaluasi kembali terhadap implementasi UU Desa dan tata kelola pemerintahan desa di Indonesia secara komprehensif, empiris, rasional, dan objektif, serta tidak diletakkan pada agenda elitis dalam rangka Pemilu 2024.

Mengutip data dalam laporan APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) yang terbit Januari 2024, dana desa pada 2023 yang disalurkan sebesar 69,86 triliun rupiah atau 99,80 persen dari pagu. Capaian ini tumbuh 2,87 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy).

Angka tersebut termasuk penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa sebesar 10,44 triliun rupiah atau 99,98 persen, non-BLT Desa sebesar 57,42 triliun rupiah atau 99,79 persen, dan Tambahan Dana Desa mencapai 1,99 triliun rupiah atau 99,95 persen.

Desa Mandiri

Salah satu desa yang memeroleh dana desa adalah Desa Jelijih Punggang di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Pada 2023, Desa Jelijih Punggang menerima dana desa sebesar 779.155.000 rupiah.

Sudasna selaku Perbekel atau Kepala Desa Jelijih mengatakan dana desa sepenuhnya dimanfaatkannya untuk membangun desanya agar mandiri. Dari sisi infrastruktur, dana desa digunakan untuk membangun jalan usaha tani yang menghubungkan pemukiman warga desa dengan lahan perkebunan menggunakan cor beton sepanjang total 1,8 kilometer.

Baca Juga: