JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan masih banyak masyarakat salah kaprah dalam mengartikan prinsip keadilan restoratif atau restorative justice di Indonesia.
"Restorative justice itu tidak sembarangan. Kalau orang membunuh orang, lalu minta restorative justice, tidak bisa," kata Mahfud MD dalam acara Konferensi Nasional Keadilan Restoratif "Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia dengan Keadilan Restoratif" di Jakarta, Selasa (1/11).
Mahfud mengaku dirinya kerap menerima pengaduan dari masyarakat yang tetap ditahan karena mereka merasa telah melakukan penyelesaian kasus dengan prinsip keadilan restoratif.
Bahkan, Mahfud juga pernah didatangi oleh beberapa pengacara yang mengaku pihak korban dan pelaku sudah berembuk dengan mengedepankan keadilan restoratif, namun masih terjerat hukum.
Mahfud menjelaskan dalam hukum pidana terdapat batas-batas tertentu, di mana sebuah perkara pidana tidak bisa dirembukkan. "Kemudian diartikan restorative justice itu negosiasi pasal, negosiasi perkara, bukan itu," tegas mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Mahfud mengaku setuju dengan penerapan prinsip keadilan restoratif, namun dengan catatan menggunakan roh hukum asli Indonesia. Dia mempertanyakan bagaimana caranya menentukan batasan yang diperlukan dalam menetapkan suatu perkara bisa diselesaikan dengan prinsip keadilan restoratif.
Dia khawatir jika penentuan batas-batas tersebut tidak jelas, maka prinsip keadilan restoratif akan sulit diterapkan. Oleh karena itu, konferensi mengenai keadilan restoratif sangat penting, sehingga perlu kompilasi ketentuan keadilan restoratif yang dimiliki Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.
Meskipun demikian, Mahfud tetap mewanti-wanti jangan sampai keadilan restoratif dijadikan alat untuk negosiasi oleh pihak berperkara maupun oknum aparat penegak hukum.
Lebih Manusiawi
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej di Jakarta, Selasa, mengatakan penerapan prinsip keadilan restoratif dapat membuat hukum pidana menjadi lebih manusiawi.
"Keliru jika kita memandang keadilan restoratif ini membuat hukum pidana menjadi permisif namun justru membuat lebih manusiawi," kata Edward.
Menurut dia, penerapan keadilan restoratif tidak hanya menjadikan korban sebagai subjek tetapi juga sebagai objek dalam penyelesaian suatu perkara pidana.
Lebih jauh, penerapan hukum pidana merupakan salah satu solusi bagi Pemerintah Indonesia, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, dalam mengatasi masalah kelebihan tahanan pada lembaga pemasyarakatan (lapas).
Sebagai gambaran, saat ini daya tampung atau kapasitas hunian lapas di Indonesia tercatat sekitar 140 ribu jiwa; sementara jumlah narapidana sudah mencapai 260 ribu. Artinya, ada kelebihan sekitar 120 ribu narapidana.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu mengatakan penerapan prinsip keadilan restoratif juga tidak bisa dilepaskan dari sistem peradilan pidana. Sehingga, ada sistem peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan.
Dengan demikian, koordinasi dan kerja sama akan bersentuhan langsung dengan Polri, Kejagung, LPSK, Kemenkumham, hingga MA.