Menko Polhukam menilai maraknya demonstrasi menolak UU Cipta Kerja karena banyaknya hoax yang beredar di masyarakat. Soal penembakan pendeta, pemerintah akan objektif. Terkait kekhawatiran ancaman Covid-19 pada tahapan pilkada, sejauh ini tak terjadi.

Dalam sebulan terakhir, masyarakat Indonesia tengah dihadapkan pada polemik terkait dengan disahkannya UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, persoalan penembakan pendeta di wilayah Papua hingga pelaksanaan pilkada serentak yang mengundang pro dan kontra karena masih dalam masa pandemi korona atau Covid-19.

Terkait kondisi tersebut, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengungkapkan beberapa langkah yang dilakukan pemerintah terkait persoalan-persoalan yang tengah dihadapi pemerintahan Presiden Jokowi. Berikut petikan wawancara wartawan Koran Jakarta, Agus Supriyatna, dengan Menko Polhukam, Mahfud MD, dalam beberapa kesempatan.

Banyak yang menyebut penolakan atau penentang UU Cipta Kerja ini karena termakan informasi tentang UU ini yang menyesatkan. Benarkah banyak hoax seputar UU ini sehingga masyarakat maupun buruh menjadi termakan isu yang tak benar tersebut?

Tugas kita menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan cara memberi pengertian tentang latar belakang Undang-undang Cipta Kerja, tentang materi-materi yang sebenarnya dibandingkan dengan yang hoax, dan apa manfaat yang diperoleh dari Undang-undang Cipta Kerja ini.

Apa yang menjadi latar belakang disusunnya UU Cipta Kerja ini?

Undang-undang Cipta Kerja ini dilatarbelakangi oleh lamanya proses perizinan dan terlalu banyaknya meja-meja birokrasi yang harus dilalui jika orang ingin izin usaha. Sehingga kemudian Presiden mengambil inisiatif bagaimana caranya agar perizinan itu bisa lebih cepat. Jadi, kalau orang mau izin usaha, termasuk yang di dalam negeri, akan lebih mudah karena tidak terlalu banyak meja dan tidak dikorupsi.

Adakah latar belakang lain yang melandasinya?

Kemudian ada juga kenyataan angkatan kerja yang setiap tahunnya bertambah. Berdasarkan data yang diterima, ada 2,9 juta angkatan kerja dan ditambah dengan yang di PHK, sehingga jumlahnya ratusan ribu bahkan jutaan orang. Itu harus ditampung dan sediakan lapangan kerja.

Itulah yang menyebabkan Presiden sejak periode sebelumnya, jadi ini bukan ujug-ujug (tiba-tiba), mengampanyekan penyederhanaan perizinan. Itulah yang disebut dengan istilah Omnibus Law, satu undang-undang yang menyatu-pintukan undang-undang lain dengan masalah yang sama.

Apakah serikat atau organisasi buruh dan pekerja ikut dilibatkan dalam pembahasan UU ini?

Sudah mengundang serikat-serikat pekerja, baik yang mendukung ataupun yang tidak untuk mendiskusikan soal UU ini. Ada 63 kali pertemuan dan 13 masukan yang disampaikan oleh serikat pekerja.

Pemerintah sudah bicara dengan semua serikat buruh, berkali-kali, di kantor ini, di kantor Kemenko Polhukam, dan di kantor Menko Perekonomian. Kemudian pernah di kantor Menteri Tenaga Kerja. Jadi bukan tidak ditampung, tapi tidak 100 persen sama. Kita ambil jalan tengahnya.

Soal banyaknya hoax seputar UU ini, apakah ini juga yang menjadi salah satu faktor terjadinya unjuk rasa di mana-mana?

Banyaknya hoax yang beredar memang menyebabkan timbulnya gerakan-gerakan di sejumlah daerah. Misalnya tentang PHK yang tidak dapat pesangon. Padahal pesangon tetap diberikan, namun jumlahnya menurun dari 32 kali menjadi 25 kali.

Bahkan sekarang diberi kepastian tidak boleh orang di-PHK dan tidak diberi pesangon tanpa ada kepastian yuridisnya. Dan sekarang ada jaminan kehilangan pekerjaan yang dijamin oleh pemerintah yang dulu tidak ada.

Ada yang mengatakan, UU Cipta Kerja mendorong komersialisasi dunia pendidikan, benarkah seperti itu?

Ya ada yang mengatakan, pendidikan dikomersialkan. Ketahuilah bahwa empat undang-undang pendidikan sudah dicabut (dari RUU Ciptaker). Karena aspirasi setelah diskusi-diskusi. Enggak ada di situ yang ngatur soal pendidikan, apalagi mengomersialkan.

Pendidikan di Indonesia hanya diatur dalam Pasal 65 UU Cipta Kerja. Dalam pasal dimaksud apakah benar isinya sebenarnya justru mempermudah dunia pendidikan?

Itu justru mempermudah, pendidikan itu lembaga nirlaba bukan lembaga usaha, bukan lembaga komersial. Ini ditegaskan dalam undang-undang ini, malah di balik dalam berita-berita yang hoaks itu.

Justru UU Ciptaker dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintah, melalui penciptaan lapangan kerja yang semakin banyak, serta untuk melakukan pemberantasan korupsi dan pungli dan pencegahan tindak pidana korupsi lainnya.

Tanggapan Anda soal masih adanya unjuk rasa menentang UU Cipta Kerja bagaimana?

Sejauh menyampaikan aspirasi maka tidak apa-apa karena ada aturannya dan itu dilindungi oleh undang-undang. Tetapi memang ada yang anarkis seperti membakar, membawa bom molotov, dan membawa parang. Biasanya yang anarkis-anarkis ini muncul sudah agak sore, begitu izin sudah habis.

Pemerintah bertanggung jawab. Unjuk rasa yang aspiratif silakan dengan menunjukkan aspirasinya, tetapi yang anarkis akan ditangani. Jangan sampai kita kacau, lalu tidak terkendali. Kalau kita diamkan selama satu jam atas nama demokrasi maka bisa habis negara ini.

Oleh sebab itu, Forkompinda mohon diperhatikan yang anarkis-anarkis. Sekarang ini sudah banyak yang ditangkapi dan itulah yang nanti akan dibuktikan di pengadilan.

Soal investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki kasus penembakan pendeta di Papua, tanggapan Anda?

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) adalah tim yang objektif. Anggota yang tergabung tidak bisa didikte pikirannya sehingga tidak akan mungkin menyampaikan informasi yang bohong.

Jadi, saya ingin pastikan bahwa tim ini adalah tim pencari fakta yang objektif. Tim ini tidak bisa dikaitkan dengan pesanan pemerintah. Di sini ada orang-orang yang tidak bisa dibeli pikirannya, dari kampus ada I Dewa Gede Palguna, ada Apoli Safanpo, ada Makarim Wibisono, ada Bambang Purwoko. Itu tidak bisa didikte, sehingga tidak mungkin tim ini berbohong.

Apakah Anda sudah menerima hasil investigasi TGPF?

Saya sudah menerima laporan hasil penyelidikan sejak tanggal 7 hingga kembali tanggal 12 Oktober kemarin. Sekarang ini tim sudah melaporkan seluruhnya dan tinggal menyusun nanti laporan yang lebih sistematis dan diberi waktu sampai dengan tanggal 17 untuk membuat laporan dan mendiskusikan semua fakta-fakta yang ditemukan sehingga sampai pada kesimpulan yang meyakinkan.

Tim mendapat keterangan dari saksi kunci soal penembakan dan pendeta Yeremia, sehingga keterangan ini bisa juga dipakai polisi untuk menangkap para pelaku. Tim ini juga sudah menemui saksi-saksi kunci. Di sini yang dimiliki oleh tim adalah data primer. Ada saksi-saksi kunci, kemudian keluarga korban, olah TKP bersama keluarga korban itu sudah dibuat semua.

Kerja TGPF ini juga turut dipermudah dengan terbukanya pihak keluarga korban akan proses investigasi yang dilakukan. Keluarga korban bahkan memberikan izin kepada tim untuk mengautopsi jenazah pendeta Yeremia yang menjadi korban penembakan yang diduga kuat dilakukan KKB Papua saat itu. Dulu itu sulit sekali. Dari awal kita masuk rumah sakit kita masuk, dokter-dokter kita masuk, sekarang tim ini sudah berhasil. Karena tim kami memang pendekatannya lebih kultural.

Terkait pilkada serentak di masa pandemi, apakah ada catatan atau semacam evaluasi dari Anda sebagai Menko Polhukam terhadap beberapa tahapan pilkada?

Kita bersyukur kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, rasa deg-degan kita, rasa kekhawatiran kita yang kita antisipasi sebelum tanggal 23 September ternyata berjalan dengan baik karena sudah kita antisipasi. Semula memang ada kekhawatiran ketika terjadi proses pendaftaran calon banyak kerumunan karena itu kita antisipasi sebelum kampanye.

Yang pilkada ada beberapa pelanggaran saya terima laporan setiap hari dari Pak Mendagri dan juga membaca statemen-statemen Bawaslu tentang apa yang terjadi hari ini dan di mana, secara umum alhamdulillah cukup baik.

Masa kampanye pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 ini kan sudah dimulai tanggal 26 September dan akan berakhir Desember 2020. Yang menarik berdasarkan survei Indikator Indonesia pada bulan Juli 2020 memang ada 61 persen responden pada waktu itu memilih metode kampanye terbuka seperti biasanya pada saat pilkada, itu survei bulan Juli.

Evaluasi tahapan Pilkada tahun 2020 sebelum masa kampanye yaitu masa penetapan pasangan calon dan pengundian nomor urut paslon sudah mulai menunjukkan perbaikan dan ketertiban serta kepatuhan pada protokol kesehatan. Memang masih ada kerumunan massa meskipun jumlahnya tidak banyak. Kami mencatat misalnya ada di Kepri, ada di Sidoarjo, di Manggarai, dan beberapa tempat lain yang tidak terlalu menghebohkan. Bahwa pelanggaran-pelanggaran itu terjadi yang sifatnya bisa diselesaikan ditempat dan tidak menimbulkan sambungan kehebohan. Memang biasa terjadi dan itu bukan hanya dalam konteks pilkada, terjadi di pasar, di jalan, di mall, di kantor-kantor, dan masih ada pelanggaran yang seperti itu.

Jadi pelanggaran protokol kesehatan di tahapan pilkada, jumlahnya tidak signifikan?

Jadi sekarang ini tampak berkurang jika dibanding dengan terjadinya pelanggaran yang hampir besar-besaran dan menghebohkan masyarakat ketika terjadi pendaftaran pasangan calon tanggal 4-6 September. KPU juga sekarang ini melalui PKPU Nomor 13 Tahun 2020 sudah melarang berbagai bentuk kegiatan yang menimbulkan kerumunan lebih dari 50 orang. Itu pun 50 orang harus dengan protokol kesehatan, pakai masker, menjaga jarak dan bersihkan tangan dengan sabun atau hand sanitizer kalau di ruangan, yang dilarang itu kumpulan lebih dari 50 orang itu mulai dari konser musik, Porseni, panen raya, bazar, ulang tahun partai, perlombaan-perlombaan dan lain sebagainya.

Sanksi atas pelanggaran itu ada aturan, pembubaran atau larangan selama berkampanye 3 hari. Di dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2020 diatur juga sejumlah sanksi pelanggaran terhadap protokol kesehatan yaitu teguran oleh Bawaslu dan ingat ada penerusan proses pidana, sesuai dengan perundang-undangan yang dasar hukumnya, hukum materilnya itu sudah dikeluarkan melalui maklumat Kapolri tanggal 21 September 2020 dengan maklumat bernomor 3.

Soal adanya usulan penundaan pilkada yang disuarakan sejumlah ormas besar, tanggapan Anda?

Ya, sejumlah ormas yang berpengaruh dengan niat baik dan tulus telah menyerukan penundaan Pilkada. Kita terima itu sebagai niat yang baik dan niat yang tulus yaitu seperti NU, Muhammadiyah, KWI, Merci, MUI, dan lain-lain. Kita terima itu sebagai niat yang baik dan tulus, tetapi pemerintah tetap harus mengambil langkah karena pendapat itu juga banyak, yang lain ada yang mengusulkan justru harus dilaksanakan Pilkada tanpa mengganggu agenda-agenda konstitusional.

Catatan lainnya dari Anda terhadap tahapan kampanye pilkada yang telah berjalan?

Catatan yang cukup menarik, secara umum pelaksanaan kampanye pilkada pada minggu pertama, seminggu pertama ini berjalan cukup baik, karena memang ada pelanggaran-pelanggaran tetapi tidak signifikan sama sekali. Misalnya tidak signifikan itu seharusnya yang hadir 50 ternyata 53 orang, atau ada yang 50 jaga jaraknya di bagian tertentu tidak tertib, ada yang lupa pakai masker sebagian pakai, ada di 53 daerah itu terjadi, di 53 daerah dari 309 daerah tingkat II. Itu kecil-kecil tidak menimbulkan kegaduhan.

Yang kedua ini berdasarkan data perkembangan zona tentang Covid, karena ada zona merah, kuning, hijau. Ini menarik, di daerah-daerah yang ada Pilkada yaitu di 309 daerah itu justru zona merah turun. Dari 45 menjadi 29, sementara di daerah-daerah yang tidak ada Pilkadanya zona merah naik, dari 25 menjadi 33.

Seminggu terakhir ini, di DKI dan Aceh yang tidak ada Pilkada justru angka terinfeksi tinggi. Kalau di aceh turun naik cukup tinggi, di DKI Jakarta selalu menjadi juara satu tertinggi penularannya. Itu artinya apa? Artinya adalah yang terpenting dalam komitmen pada protokol kesehatan.

Oleh karena itu elemen masyarakat, pemerintah, dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakat harus menyadarkan masyarakat, bahwa protokol kesehatan harus dilaksanakan secara ketat. Sementara ini hasil evaluasi bahwa kerawanan tidak tidak terletak pada daerah itu ada Pilkada atau tidak, tetapi pada kedisiplinan di dalam melaksanakan protokol kesehatan, meskipun begitu kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh lembaga-lembaga masyarakat sipil seperti ormas NU, Muhammadiyah, dan lain-lain yang telah memberi saran agar pilkada mengutamakan kesehatan.

Inti mengutamakan kesehatan itu kami ambil intinya, tapi teknisnya Pilkada kita laksanakan. Protokol kesehatan kita perketat.

Saya sudah menginstruksikan kepada Polri, TNI dan seluruh aparat penegak hukum supaya dilakukan penegakan disiplin melalui tiga strategi atau pendekatan. Pertama mitigatif atau preventif cegah. Yang kedua persuasif. Jika sudah diberitahu secara baik-baik tidak usah ribut, selesai ya selesai, tapi kalau diperlukan harus ada tindakan represif. n S-2

Riwayat Hidup
Nama : Mohammad Mahfud MD
Tempat, Tanggal Lahir : Sampang, Jawa Timur, 13 Mei 1957
Istri : Zaizatoen Nihajati
Anak : Mohammad Ikhwan Zain, Vina Amalia, dan Royhan Akbar
Pendidikan:
- Sarjana Hukum di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1983)
- Magister Ilmu Politik di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1989)
- Doktor Ilmu Hukum Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1993)
Karier:
- Dosen Hukum (1984-sekarang)
- Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara, Universitas Islam Indonesia (1986-1988)
- Pembantu Dekan II Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (1988-1990)
- Direktur Karyasiswa, Universitas Islam Indonesia (1991-1993)
- Pembantu Rektor I, Universitas Islam Indonesia (1994-2000)
- Direktur Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (1996-2000)
- Anggota Panelis dan Asesor, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (1997-1999)
- Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman (2000-2001)
- Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP Partai Kebangkitan Bangsa (2002-2005)
- Rektor Universitas Islam Kadiri (2003-2006)
- Anggota DPR RI (2004-2008)
- Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013)
- Anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018)
- Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (2018-2020)
- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
(2019-sekarang)

BERBAGAI SUMBER/LITBANG KORAN JAKARTA/AND

Baca Juga: