Indonesia terus berupaya menjadi negara yang ebas dari berbagai praktik pungutan liar, korupsi, dan sejenisnya. Seluruh elemen bangsa diharapkan ikut mendukung upaya tersebut.
Jakarta - Masalah korupsi masih menjadi salah satu masalah utama yang perlu diselesaikan oleh pengadilan. Faktanya, korupsi di pengadilan sudah menjadi hal yang jamak bagi masyarakat yang berinteraksi dengan lembaga tersebut. Tidak hanya terkait penanganan perkara, tapi praktik korupsi di pengadilan juga menggerogoti sampai ruang lingkup layanan publiknya, yakni dalam bentuk pungutan liar.
"Sudah banyak data yang menunjukan hal tersebut, termasuk hasil temuan Ombudsman tahun 2016," kata peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), Siska Trisia, di Jakarta, Minggu (10/12). Menurut Siska, praktik pungutan liar ini tentu bertentangan dengan fungsi pengadilan sebagai lembaga pelayanan publik.
Pertama, dengan adanya fungsi tersebut, maka seharusnya pengadilan memberikan layanan-layanan publik baik yang berkaitan dengan penanganan perkara atau hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pengadilan. Misalnya, seperti administrasi persidangan dan pelayanan informasi. Semua harus bebas pungutan liar.
Kedua, pengadilan sekarang ini sudah memiliki peraturan dasar mengenai standar biaya layanan pengadilan dan proses layanan publik di pengadilan. "Sayangnya praktik korupsi berupa pungli masih saja terjadi. Ketiga, pengadilan yangmemiliki peran mengadili perkara korupsi, justru menjadi sarang terjadinya praktik korupsi," ujar Siska.
Menurut Siska, hal ini tentu berdampak pada kepercayaan lembaga peradilan. Terutama dalam upaya pemberantasan korupsi. MaPPI sendiri kata Siska, telah melakukan riset terkait itu yang didukung oleh USAID. Riset yang dilakukan, coba memetakan korupsi di lingkungan pengadilan. Khususnya dalam ruang lingkup pelayanan publik di bidang administrasi perkara.
Riset dilakukan di lima daerah yakni Medan, Banten, Bandung, Yogyakarta dan Malang. "Dari pemetaan yang kami lakukan ditemukan bahwa pungli dalam pelayanan publik di pengadilan, khususnya untuk pendaftaran surat kuasa dan biaya salinan putusan masih terjadi di 5 daerah di Indonesia," kata Siska. Peneliti MaPPI lainnya, Muhammad Rizaldi menambahkan, dari beberapa layanan publik yang ada di pengadilan, layanan pendaftaran surat kuasa dan mendapatkan salinan putusan adalah dua layanan yang sangat signifikan menjadi peluang terjadinya pungli.
Dari 77 narasumber yang diwawancarai, para pelaku yang melakukan pungli terhadap layanan pendaftaran surat kuasa dan biaya salinan putusan dilakukan oleh panitera pengganti dan panitera muda hukum. Modus yang sering digunakan menetapkan biaya diluar ketentuan. Dan tidak dibarengi dengan tanda bukti bayar. Juga tidak menyediakan uang kembalian, sebagai imbalan atau uang lelah. Serta memperlama layanan jika tidak diberikan tip atau uang yang diminta. "Dari lima daerah yang dilakukan pemetaan, untuk biaya pungutan surat kuasa berkisar antara 10.000 per surat kuasa hingga 100.000 per surat kuasa," kata Rizaldi.
Salinan Putusan
Sementara kata dia, untuk mendapatkan salinan putusan biaya yang dipatok mulai dari 50.000 per putusan hingga 500 000 per putusan. Hasil temuan Ombudsman sendiri menunjukkan peningkatan angka laporan terkait masalah dalam pelayanan publik di pengadilan. Banyak diantaranya terkait dengan pungli.
Tahun 2014 misalnya, Ombudsman menerima 240 laporan pengaduan. Sementara tahun 2015, Ombudsman menerima 255 laporan pengaduan. Laporan tersebut antara lain berkaitan dengan penanganan perkara yang berlarut-larut, praktik percaloan, penyimpangan prosedur dalam penyerahan salinan putusan dan petikan putusan.
"Laporan terkait pengadilan ini merupakan laporan ke-6 yang terbanyak yang masuk ke Ombudsman," ujarnya. Rizaldi pun menyayangkan praktik pungli masih terjadi di lingkungan Pengadilan Negeri. Padahal, Mahkamah Agung (MA) sudah cukup banyak menerbitkan berbagai peraturan yang tujuannya memberantas praktik pungli. ags/AR-3