Pemerintah perlu merumuskan strategi terkait kelistrikan karena proyek elektrifikasi 35.000 megawatt masih didominasi dari pembangkit bertenaga batu bara.

JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) optimistis tenaga surya akan mendominasi kenaikan angka pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk pembangkit. Peluang itu seiring harga EBT yang semakin tahun semakin bersaing dengan energi fosil.

"Pemerintah pun berencana menambah kapasitas pembangkit EBT sebesar 38 megawatt (MW) sampai 2035," ujar Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, di Jakarta, Senin (22/3).

Dipaparkan Dadan, pangsa pasar EBT global diproyeksikan meningkat pesat hingga 50 persen pada 2035 dan kembali melonjak sampai 75 persen pada 2050. Laporan Global Energy Perspective dari McKinsey (2019) memprediksi pembangkit listrik tenaga batu bara serta minyak bumi akan turun drastis digantikan dengan pembangkit listrik tenaga energi terbarukan, dengan biaya yang lebih relatif rendah.

The International Renewable Energy Agency (IRENA) memproyeksikan pada 2030, konsumsi batu bara turun hingga 41 persen dan berlanjut hingga pada 2050 hingga 87 persen. Untuk konsumsi minyak bumi, diperkirakan turun hingga 31 persen pada 2030 dan berlanjut hingga 70 persen pada 2050.

Kondisi tersebut, lanjut Dadan, memperlihatkan masih banyak sekali peluang untuk mengembangkan EBT. Untuk itu, dia berharap pengembangan EBT dapat maksimal karena peluang dari sisi ekonomi dan juga teknologinya sangat besar.

"Indonesia membuat beberapa langkah strategis untuk mencapai target bauran energi EBT dengan subtitusi energi primer, konversi energi primer, penambahan kapasitas EBT, dan pemanfaatan EBT non listrik," ungkap Dadan.

Susun Strategi

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR, Dyah Roro Esti, meminta pemerintah untuk merumuskan strategi terkait kelistrikan karena proyek 35.000 megawatt masih didominasi dari pembangkit bertenaga batu bara.

"Kita perlu mengembangkan strategi ke depan karena saat kita berbicara mengenai listrik supaya itu bisa bersumber dari bahan-bahan ramah lingkungan, sekaligus bagian dari komitmen kita pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Kesepakatan Paris," kata Dyah.

Secara terpisah, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai salah satu lembaga yang bertanggung jawab menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) juga turut berupaya menekan penggunaan energi kotor. Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian, Eko SA Cahyanto, menyebut pemerintah berkomitmen menurunkan emisi GRK sebagai dukungan terhadap komitmen global dalam menjaga kenaikan temperatur global.

Berbagai upaya dilakukan guna menurunkan emisi GRK tersebut melalui pengembangan energi terbarukan, pelaksanaan efisiensi energi, dan konservasi energi, serta penerapan teknologi energi bersih. Dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca 2010-2020, Indonesia menargetkan 29 persen penurunan emisi secara mandiri atau 41 persen penurunan emisi dengan dukungan internasional.

Dari penyelenggaraan penghargaan industri hijau, pada 2018, lembaga pembina sektor perindustrian tersebut dapat melakukan efisiensi penggunaan energi hingga 1,8 triliun rupiah atau setara 12.673 Terajoule.

Baca Juga: