RABAT -Maroko, negara di Afrika bagian utara, menjadi perhatian dunia karena susunan panel tenaga suryanya yang luas dan mengagumkan. Tetapi, mega-proyek ini hanyalah awal dari aksi perubahan iklim yang dapat dilakukan Maroko.

Maroko telah mengukir namanya sebagai pemimpin iklim dunia. Hampir dua perlima sumber listriknya dipasok dari tenaga energi terbarukan.

Subsidi untuk beberapa bahan bakar fosil telah dihapus dan negara itu mengeklaim beberapa proyek energi bersih terbesar di dunia.

Maroko telah menerima banyak pujian atas tindakannya untuk melakukan pengurangan karbon (dekarbonisasi).

Maroko layak mendapatkan reputasi itu, walaupun menghadapi tantangan-tantangan nyata di depan mata, seperti posisi geografisnya di titik panas yang memanas membuatnya rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Dan bahkan ketika berusaha untuk mengakhiri ketergantungannya pada bahan bakar fosil, permintaan energi konvensional itu meningkat dengan cepat.

Terlepas dari tantangan-tantangan ini, Maroko memiliki potensi alam yang sangat besar untuk menghasilkan tenaga surya, angin, dan tenaga air, serta telah mengambil langkah signifikan untuk mewujudkannya.

Aksi nasional Maroko terhadap perubahan iklim dimulai pada pertengahan tahun 2000-an. Saat itu, Maroko memutuskan menjadi pemimpin di regional dalam energi bersih dan mendorong proyek-proyek energi terbarukan secara besar-besaran.

"Para pemimpin-pemimpin negara bertaruh pada transformasi besar ini sebagai cara untuk menjadi kompetitif secara ekonomi di masa depan, untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil dan memastikan keamanan pasokan energi," kata Mohamed Alaoui, direktur pelaksana Africa Climate Solutions, sebuah konsultan perusahaan yang berbasis di Casablanca.

Pada 2009, Maroko menetapkan rencana energi ambisius, yaitu memasang 42 persen dari total kapasitas daya terpasang berasal dari tenaga energi terbarukan pada 2020.

Rencana tersebut mendorong ekspansi besar-besaran di tenaga angin dan surya selama dekade berikutnya, dengan kapasitas fotovoltaik surya (PV) meningkat 16 kali lipat (meskipun dari dasar rendah) dan angin enam kali lipat pada 2020.

Maroko juga membangun kompleks Noor-Ouarzazate, pembangkit listrik tenaga surya terkonsentrasi terbesar di dunia.

Sejumlah besar cermin melengkung tersebar di 3.000 hektare yang memusatkan sinar matahari menuju tabung fluida, dengan cairan panas kemudian digunakan untuk menghasilkan tenaga.

Pada akhirnya, Maroko meleset dari target 2020, dengan kapasitas terbarukan yang cukup untuk menghasilkan 37 persen energi negara itu pada 2020.

Produksi energi dari tenaga terbarukan sedikit tertinggal, mendekati 20 persen dari total negara itu pada 2019.

Namun negara itu telah mencapai banyak kemajuan. Maroko sejak itu berjanji untuk meningkatkan energi terbarukan dalam campuran listriknya menjadi 52 persen pada tahun 2030, terdiri dari 20 persen tenaga surya, 20 persen angin, dan 12 persen hidro.

Dibandingkan dengan banyak negara lain, Maroko melakukan tindakan iklim yang baik. Kebijakan dan janjinya hampir sejalan dengan kesepakatan global yang membatasi suhu global hingga 1,5C, menurut analisis dari kelompok riset Climate Action Tracker.

Negara ini juga melakukan reformasi konstitusi pada 2011 untuk mengatasi ketidaksetaraan gender, yang dikenal sebagai alat yang ampuh dalam mengatasi perubahan iklim serta ketidakadilan sosial.

Pada Juni 2021, Maroko memperbarui janji iklimnya di PBB, yaitu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 17-18 persen pada 2030.

Berbeda dibandingkan dengan skenario bisnis umum negara lain yang menargetkan pengurangan 42-46 persen tapi dengan syarat menerima dukungan internasional.

Maroko dipuji karena menggunakan uang yang dihemat dari subsidi bahan bakar fosil untuk meningkatkan dana pendidikan dan menerapkan skema asuransi kesehatan.

Namun, dukungan keuangan untuk produk minyak masih sekitar 3,4 miliar dollar AS, sekitar dua pertiga dari defisit anggaran tahunan Maroko.

Walaupun emisi Maroko berjumlah kecil dibandingkan dengan banyak negara maju lainnya, pembakaran bahan bakar fosil dilakukan untuk kebutuhan energi dan produksi semen yang menjadi sumber emisi yang besar di negara tersebut.

Maroko masih mengimpor sebagian besar energinya untuk memenuhi konsumsi nasional yang meningkat, yang meningkat pada angka tahunan rata-rata 6,5 persen antara 2002 dan 2015. Sebagian besar energi yang diimpor itu dihasilkan dari bahan bakar fosil.

Maroko sangat bergantung pada tenaga batu bara, yang berkembang seiring dengan energi terbarukan, dan sekitar 40 persen listrik di negara itu berasal dari batu bara.

Namun, pada konferensi iklim COP26 di Glasgow bulan ini, Maroko termasuk di antara 20 negara yang membuat komitmen baru untuk tidak membangun pembangkit listrik tenaga batu bara lagi.

Untuk mengurangi emisi, transformasi dalam bidang industri, perencanaan kota dan infrastruktur yang "cepat dan radikal" harus segera dilakukan, kata Fatima Driouech, profesor meteorologi di Universitas Politeknik Mohammed VI dan wakil ketua di Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim.

"Kita harus mulai mengurangi emisi rumah kaca hari ini jika kita ingin membatasi pemanasan hingga 1,5C dan dampak perubahan iklim," kata Driouech.

Dia mencatat bahwa banyak dampak perubahan iklim di negara-negara seperti Maroko masih dapat dihindari jika bertindak tepat waktu.

"Kami bisa berharap untuk pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketidaksetaraan jika pemanasan global dibatasi pada 1,5C daripada 2C atau lebih."

Selain berfokus pada pengurangan batu bara untuk mengurangi emisi karbon, ada argumen bahwa para pengambil keputusan di Maroko harus lebih fokus pada proyek skala kecil dan bukan hanya proyek besar.

Tujuannya agar para pengusaha memungkinkan untuk berperan memenuhi kebutuhan spesifik energi ramah lingkungan di berbagai wilayah.

"Jika kita membandingkan diri kita dengan Tunisia atau Mesir, kita sangat maju dalam proyek-proyek makro tetapi ketika kita berbicara tentang energi untuk individu dan untuk industri, peraturannya kurang," kata Alaoui dari Africa Climate Solutions.

"Kami memiliki undang-undang iklim tetapi kami tidak memiliki keputusan yang memungkinkan orang dan industri untuk [dengan mudah] menerapkan energi terbarukan."

Yang lain mengatakan bahwa inisiatif energi bersih besar Maroko seperti proyek surya terkonsentrasi Noor sebagian besar menguntungkan negara-negara di luar Maroko, dan bukan masyarakat lokal.

Maroko memposisikan dirinya sebagai pusat energi bersih dengan potensi untuk mengekspornya ke Eropa, dan sudah memiliki dua kabel listrik yang menghubungkannya ke Spanyol dan berencana untuk koneksi bawah laut ke Inggris.

Tetapi megaproyek seperti ladang PLTS Noor membutuhkan ekstraksi air dalam jumlah besar di wilayah yang langka air, kata Mohammed Tazrouti, juru kampanye Greenpeace di Timur Tengah dan Afrika Utara.

"Saat Anda mengekspor energi, Anda mengekspor air," kata Tazrouti. "Anda mengecualikan komunitas lain dari sumber daya ini."

Greenpeace juga mendesak Maroko untuk mereformasi dan memperbaiki undang-undang energi terbarukan untuk membuatnya tidak terlalu merepotkan dan birokratis bagi individu untuk memiliki dan menjual energi terbarukan.

Ini juga telah mendorongnya untuk menerapkan undang-undang yang memungkinkan koneksi sistem energi terbarukan skala kecil ke jaringan listrik.

Maroko sendiri sudah mulai merasakan dampak perubahan iklim. Suhu rata-rata tahunan di negara tersebut diperkirakan akan meningkat antara 1,1C dan 3,5C pada 2060, tergantung pada tindakan iklim global.

Maroko terletak di titik panas perubahan iklim - Institut Max Planck untuk Kimia memproyeksikan bahwa suhu di Timur Tengah dan Afrika Utara akan meningkat dua kali lebih cepat dari rata-rata global.

Tazrouti dari Greenpeace mengatakan bahwa Global North (negara maju di utara) perlu berinvestasi lebih banyak di negara-negara Global South (negara di selatan), termasuk Maroko.

"Banyak dukungan diperlukan di negara-negara selatan dan negara-negara terbelakang dan miskin yang menderita dan berada di garis depan yang terkena dampak perubahan iklim," kata dia.

Maroko adalah penerima keuangan iklim terbesar kedelapan dari negara-negara kaya pada 2018 dan 2019, menerima sekitar 600 juta juta dollar AS.

Negara-negara dunia yang paling banyak melakukan pencemaran memiliki kontribusi atas dampak bencana di benua Afrika, kata Abdeladim El Hafi, yang merupakan komisaris umum Maroko selama konferensi iklim PBB yang diadakan di Marrakesh pada 2016 (COP22), dan sekarang menjadi komisaris tinggi untuk air dan hutan.

Banyak negara Afrika sendiri tidak menghasilkan karbon sebanyak itu, tetapi sudah menderita akibat perubahan iklim.

"Rencana dan bantuan keuangan internasional diperlukan untuk membantu negara-negara rentan, pulau-pulau, dan negara-negara miskin," kata Alaoui, mengutip air sebagai masalah lingkungan utama bagi negara tersebut.

"Di Maroko, kami membutuhkan kebijakan untuk mengelola, mendaur ulang, dan menggunakan kembali air. Kami membutuhkan asuransi iklim untuk kekeringan dan kebakaran yang sering terjadi, dan kami membutuhkan pertanian yang berkelanjutan dan modern."

Institut Sumber Daya Dunia (WRI) memperingatkan bahwa sumber daya air Maroko berada pada tekanan tinggi, karena sebagian besar digunakan untuk pertanian domestik dan untuk industrinya.

Pada akhir abad ini, curah hujan dapat menurun 20 hingga 30 persen.

Kekurangan air Maroko memukul keras masyarakat karena pengambilan air tetap menjadi masalah utama di negara yang padat pertanian ini, memberi jalan bagi ketidakpuasan dan keputusasaan.

Dalam beberapa tahun terakhir, di wilayah seperti Kota Zagora di Maroko selatan, penduduk memprotes kekurangan air.

Secara umum, ada kebutuhan untuk reformasi lingkungan dan tindakan yang juga memperhitungkan keanekaragaman hayati negara yang kaya itu, kata El Hafi.

Inisiatif juga perlu memperhitungkan konteks dan kebutuhan lokal, katanya, seraya menambahkan bahwa upaya selama beberapa dekade ini telah membuka jalan bagi rencana yang lebih solid.

"Kebijakan seputar [kelangkaan] air di Maroko sejak era '60-an cukup visioner," kata dia.

Misalnya, keputusan untuk membangun sejumlah bendungan besar memungkinkan Maroko melewati periode kekeringan tanpa kekurangan pangan, katanya.

Ahli lingkungan yang berbasis di Tangier, Hajar Khamlichi juga percaya bahwa beradaptasi dengan perubahan iklim dan memecahkan masalah air adalah hal yang sangat mungkin.

Beberapa program Maroko mendorong langkah-langkah ke arah yang benar, katanya, termasuk penggunaan pabrik pengolahan limbah untuk mengolah air untuk irigasi, pembangunan bendungan baru dan desalinasi air laut yang ditenagai oleh energi terbarukan. "Masih ada kebijakan dan visi," kata dia.

Khamlichi, presiden dan salah satu pendiri Jaringan Iklim Pemuda Mediterania, yang menyatukan berbagai organisasi pemuda dari negara-negara Mediterania, percaya bahwa tantangan iklim yang meningkat di Maroko harus dihadapi secara langsung.

"Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan dan tantangannya besar," kata Khamlichi. "Seiring berjalannya waktu, kami melihat lebih banyak masalah, tetapi kami juga menemukan solusi," imbuh dia

Rachid Ennassiri, seorang pemerhati lingkungan Maroko, mendirikan Pusat Pemuda Maroko untuk Energi Berkelanjutan pada 2018. Organisasi nasional ini beranggotakan orang-orang dari wilayah Ouarzazate di selatan, di mana banyak megaproyek, termasuk pabrik Noor, berada.

Selama bertahun-tahun, Ennassiri telah mengerjakan beberapa inisiatif perubahan iklim, termasuk proyek yang bertujuan untuk membuat masjid lebih berkelanjutan dengan menggunakan panel surya.

Maroko tidak bisa begitu saja terus mengikuti rencana awalnya untuk memperluas energi terbarukan, kata Ennassiri.

"2021 bukan 2009," katanya, mengacu pada tanggal rencana pertama Maroko untuk mengurangi emisi karbon dan mengekang ketergantungan pada bahan bakar fosil.

"Untuk meningkatkan energi terbarukan, reformasi besar harus dilakukan," pungkas dia. BBC/I-1

Baca Juga: