Meta memperkenalkan kacamata pintar AR yang menggabungkan konten digital dan dunia nyata secara real time. Smartphone bakal tergeser.

Martie-Louise Verreynne, The University of Queensland

Manusia kini semakin terbiasa dengan teknologi yang dapat dikenakan di tubuh layaknya aksesori, seperti jam tangan pintar, seiring semakin adaptif dan interaktifnya perangkat-perangkat ini.

Salah satu inovasi yang kian populer di kalangan masyarakat adalah kacamata augmented reality (AR)-teknologi yang menggabungkan konten digital dan dunia nyata secara real time.

Baru-baru ini, perusahaan teknologi Meta memperkenalkan prototipe terbaru kacamata AR mereka: Orion. Kacamata ini terlihat seperti kacamata baca dan menggunakan proyeksi holografis yang memungkinkan pengguna melihat grafik digital langsung
di depan mata mereka melalui lensa transparan.

CEO Meta, Mark Zuckerberg, mengklaim Orion sebagai "kacamata paling canggih di dunia".
Ia mengatakan bahwa kacamata ini menawarkan "sekilas gambaran tentang masa depan", di mana kacamata pintar akan menggantikan smartphone sebagai alat komunikasi utama.

Tapi benarkah klaim itu ataukah hanya sekadar promosi berlebihan? Apakah teknologi ini memang akan membawa manfaat bagi kita?

Teknologi lama yang diperbarui

Teknologi AR yang digunakan untuk mengembangkan kacamata Orion sebenarnya bukanlah hal baru.

Pada 1960-an, ilmuwan komputer Ivan Sutherland memperkenalkan perangkat augmented reality pertama yang dipasang di kepala. Dua dekade kemudian, insinyur asal Kanada Stephen Mann mengembangkan prototipe pertama yang menyerupai kacamata.

Sepanjang dekade 1990-an, para peneliti dan perusahaan teknologi terus mengembangkan kemampuan teknologi ini untuk keperluan militer dan industri. Pada 2013, setelah teknologi smartphone berkembang pesat, Google mencoba masuk ke pasar kacamata AR. Sayangnya, respons pasar kurang baik karena ada kekhawatiran tentang masalah privasi, harga yang tinggi, dan fungsionalitas yang terbatas.

Namun, hal ini tidak menyurutkan perusahaan lain-seperti Microsoft, Apple dan Meta-untuk mengembangkan teknologi serupa.

Lebih jauh tentang Orion

Meta mengklaim bahwa Orion adalah kacamata AR paling canggih karena menggunakan teknologi miniatur dengan sudut pandang luas dan tampilan holografis.

Mereka mengatakan bahwa tampilan ini memberikan:

[…] pengalaman AR yang menarik, menciptakan cara baru dalam berinteraksi antara manusia dan komputer […] ini merupakan salah satu tantangan terbesar yang pernah dihadapi oleh industri kami.

Orion juga dilengkapi dengan asisten pintar (Meta AI) yang memungkinkan pengguna berinteraksi dengan konten digital melalui perintah suara, pelacakan mata dan tangan serta gelang khusus untuk navigasi.

Dengan fitur-fitur ini, kacamata AR semakin mudah digunakan dan siap dipasarkan. Namun, untuk mendapatkan penerimaan luas dari konsumen, tentu masih banyak tantangan yang harus diatasi.

Berbagai tantangan yang dihadapi

Meta menghadapi beberapa tantangan besar dalam pengembangan kacamata AR ini, di antaranya:

Kemudahan penggunaan: Kacamata AR harus nyaman dipakai, mudah digunakan, dan bisa berfungsi bersama kacamata biasa.

Aspek fisiologis: Mengatasi masalah panas berlebih, kenyamanan pemakaian, dan efek samping seperti vertigo.

Kinerja operasional: Faktor operasional seperti daya tahan baterai, keamanan data, dan kualitas tampilan yang baik harus diperhatikan.

Penerimaan Sosial: Orang harus merasa nyaman menggunakan teknologi ini di depan umum dan percaya bahwa privasi mereka aman.

Tantangan-tantangan ini serupa dengan yang dihadapi smartphone pada awal kemunculannya di dekade 2000-an. Seperti halnya smartphone, mungkin akan ada pengguna awal yang bersedia menerima risiko demi keuntungan yang ditawarkan kacamata AR, dan kemudian menciptakan ceruk pasar yang berkembang seiring berjalannya waktu.

Seperti yang dilakukan Apple dengan iPhone, untuk mendukung keberhasilan Orion, Meta juga perlu membangun platform dan ekosistem digital yang memungkinkan berbagai aplikasi praktis, seperti kelas virtual, alat kolaborasi, dan pekerjaan jarak jauh.

Tampilan holografis kacamata ini memungkinkan integrasi dunia digital dengan dunia nyata lebih alami karena pengguna tidak perlu lagi repot-repot menggunakan tangan mereka untuk menggulir atau mengklik konten digital.

Potensi dampak di masa depan

Kacamata pintar sudah digunakan di berbagai industri, seperti logistik dan kesehatan. Meta berencana meluncurkan Orion secara massal pada 2027.

Pada saat itu, teknologi kecerdasan buatan (AI) mungkin telah berkembang maju hingga asisten virtual dapat "melihat" apa yang kita lihat, menggabungkan dunia fisik, maya, dan buatan secara mulus. Pada titik itu, mudah membayangkan bahwa kebutuhan akan smartphone yang berukuruan besar dan tebal akan berkurang. Melalui proses destruksi kreatif-yakni saat inovasi baru menggantikan teknologi lama-satu industri mungkin akan mengambil alih dominasi yang sebelumnya dipegang oleh industri lainnya.

Penelitian juga memprediksi bahwa industri headset virtual dan AR akan mencapai nilai US$370 miliar (sekitar Rp5.783 triliun) pada 2034.

Namun, pertanyaan besarnya adalah: apakah teknologi ini benar-benar akan bermanfaat bagi kita?

Debat mengenai dampak teknologi terhadap produktivitas dan kesejahteraan sudah lama berlangsung. Beberapa orang berpendapat bahwa smartphone, misalnya, telah meningkatkan konektivitas dan produktivitas.

Namun, banyak juga yang merasa bahwa smartphone hanya menambah distraksi dan kelelahan mental.

Jika Meta berhasil, kacamata AR bisa menawarkan cara yang lebih produktif untuk bekerja dan berkomunikasi. Firma konsultan Deloitte memprediksi bahwa teknologi ini akan memberikan akses data dan komunikasi yang lebih cepat serta mengurangi kesalahan manusia dan membantu memonitor kesehatan pengguna.

Namun, apakah semua ini akan menjadi kenyataan atau tidak, bergantung pada seberapa baik Meta dan perusahaan lainnya mengatasi tantangan yang ada. Jika mereka berhasil, kacamata AR mungkin benar-benar akan menggantikan smartphone dan membuka era baru teknologi yang lebih terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari.The Conversation

Martie-Louise Verreynne, Professor in Innovation and Associate Dean (Research), The University of Queensland

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Baca Juga: