BRUSSELS - Mantan Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, pada Selasa (1/10) akan mengambil alih jabatan sekretaris jenderal baru NATO di saat yang sulit bagi aliansi militer Barat. Dengan perang Russia di Ukraina yang telah memasuki tahun ketiga, Amerika Serikat (AS) bersiap untuk pemilu yang menentukan, dan kebangkitan Tiongkok, kepemimpinan NATO berikutnya akan bergulat dengan berbagai tantangan besar.

Yang membayangi aliansi 32 negara itu adalah potensi kembalinya mantan presiden AS, Donald Trump, ke Gedung Putih setelah pemilu November. Trump sebelumnya dilaporkan akan mempertimbangkan untuk menarik AS dari NATO selama masa jabatan pertamanya dan mengancam tidak akan melindungi sekutunya yang tidak mau menggelontorkan cukup banyak uang untuk pertahanan.

Pemimpin NATO yang akan lengser, Jens Stoltenberg, dianggap telah berhasil mencegah krisis besar yang dapat membuatnya menghancurkan aliansi. Jika Trump terpilih kembali, Rutte akan membutuhkan semua keterampilan diplomatik yang diperolehnya selama lebih dari 13 tahun menjabat di Belanda, untuk menangkal melemahnya peran Washington DC.

Sekutu Eropa akan secara informal melakukan taktik perang sebagai opsi untuk mencoba mengendalikan Trump dan mungkin akan meningkatkan pengeluaran mereka untuk mempertahankan keikutsertaan AS. Di sisi lain, kemenangan Kamala Harris diperkirakan hanya akan meyakinkan NATO dalam jangka pendek saja.

Namun para diplomat mengatakan mereka memperkirakan adanya penarikan diri secara bertahap AS dari Eropa saat Washington DC beralih ke Asia, siapapun yang memimpin AS.

Meskipun ancaman dari Trump mungkin tidak menjadi kenyataan, satu kenyataan yang tak terelakkan adalah situasi di medan perang di Ukraina. Saat ini negara-negara NATO yang dipelopori oleh AS, telah menyediakan 99 persen bantuan militer asing yang telah membantu pasukan Kyiv tetap bertempur sejak 2022.

Saat perang memasuki tahun keempat, Rutte akan memiliki peran kunci dalam menggalang pendukung Kyiv untuk memastikan dukungan tidak akan berkurang, apalagi Kyiv pada saat yang sama juga ingin jadi anggota NATO.

Potensi Ancaman

Terlepas dari bagaimana perang di Ukraina berlangsung, sekutu NATO mengatakan mereka kemungkinan akan menghadapi ancaman dari Russia selama beberapa dekade mendatang.

Tahun lalu aliansi tersebut menandatangani rencana pertahanan paling komprehensif sejak berakhirnya Perang Dingin, yang bertujuan untuk menghentikan potensi serangan Moskwa. Tugas utama Rutte adalah mencoba memastikan NATO siap sambil memastikan bahwa ketegangan tidak meluas menjadi kemungkinan konflik nuklir dengan Russia.

Lebih jauh lagi, perhatian NATO juga semakin tertuju pada pesaing kuat lainnya yaitu Tiongkok. Kemitraan Tiongkok yang berkembang dengan Russia telah meningkatkan ancaman di benak banyak sekutu Eropa dan NATO mengantisipasinya dengan membangun hubungan dengan sekutu seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia. AFP/I-1

Baca Juga: