Semenjak krisis ekonomi dan kerusuhan terjadi di Sri Lanka mantan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa bukan hanya menjadi perhatian warga negara Sri Lanka melainkan turut menjadi sorotan dunia.

Maka dari itu International Truth and Justice Project atau ITJP membuat laporan bersama Jurnalis untuk Demokrasi di Sri Lanka (JDS). Mereka berniat untuk mantan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa menerima akibat dari perbuatannya karena telah terlibat dalam perang saudara yang berlangsung selama 25 tahun.

ITJP yang merupakan Kelompok hak asasi (HAM) yang berbasis di Afrika Selatan dan kini telah melakukan pendataan dugaan pelanggaran HAM di Sri Lanka. Mereka telah mengajukan tuntutan pidana kepada Kejaksaan Agung Singapura terkait dengan tragedi perang saudara sejak 23/07/1983 sampai 19/05/2009.

Kemudian Sri Lanka mengakhiri perang saudara 25 tahun antara pemberontak separatis dari etnis minoritas Tamil dan militer pada 2009. Kelompok HAM menuding kedua belah pihak melakukan pelanggaran HAM selama perang.

ITJPSL.com melansirkan Gotabaya Rajapaksa, disebutkan dalam daftar rahasia oleh penyelidikan pemerintah sebagai tersangka dalam kasus penghilangan paksa pada tahun 1989. Saat itu Gotabaya Rajapaksa adalah koordinator militer distrik yang kurang dikenal di distrik Matale di Provinsi Tengah, ketika setidaknya 700 orang - terutama orang Sinhala - menjadi sasaran penghilangan paksa, oleh pasukan keamanan di bawah komandonya. Ini adalah periode kedua kekerasan yang melibatkan Janatha Vimukthi Peramuna (JVP), atau Front Pembebasan Rakyat, sebuah gerakan pemuda kiri yang berusaha menggulingkan pemerintah melalui kekerasan tetapi dihancurkan secara brutal oleh aparat keamanan.

Selanjutnya ITJP mengatakan, Rajapaksa telah melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa selama perang saudara, tahun 2009 dan pernah menjadi komandan militer saat perang saudara berlangsung. Saat perdamaian mulai dirajut, Rajapaksa merupakan Menteri Pertahanan Sri Lanka pada saat Mahinda Rajapaksa kakaknya, menjadi Presiden Sri Lanka.

ITJP berpendapat, yurisdiksi universal menyatakan, dugaan pelanggaran tunduk pada penuntutan di Singapura, lokasinya saat ini setelah kabur dari negaranya yang berbulan-bulan dilanda krisis ekonomi. Rajapaksa mengajukan pengunduran dirinya begitu tiba di Singapura, sehari setelah melarikan diri pada 13 Juli 2022.

Aduan pidana yang diajukan adalah (berdasarkan) informasi yang dapat diverifikasi pada kedua kejahatan yang telah dilakukan, tetapi juga pada bukti yang benar-benar menghubungkan individu yang bersangkutan, yang sekarang berada di Singapura," kata satu pengacara penyusun pengaduan Alexandra Lily Kather, kepada Reuters melalui telepon dari Berlin.

Pada saat Komisi Tinggi Sri Lanka di Singapura ingin meminta tanggapan Gotabaya Rajapaksa justru tidak bisa dihubungi walaupun sebelumnya dengan keras membantah tuduhan bahwa dirinya bertanggung jawab atas pelanggaran HAM selama perang saudara.

Juru bicara Kejaksaan Agung Singapura mengatakan telah menerima surat dari ITJP pada 23 Juli. "Kami tidak dapat berkomentar lebih lanjut tentang masalah ini," kata juru bicara Kejaksaan Agung Singapura.

Tidak hanya itu Kementerian Luar Negeri Singapura mengatakan, Rajapaksa memasuki negara-kota Asia Tenggara itu dalam kunjungan pribadi dan tidak mencari atau diberikan suaka.

Baca Juga: