JAKARTA - Perbankan terus didorong untuk memperkuat tata kelola dan manajemen risiko teknologi informasinya (TI). Saat ini, bisnis perbankan sedang mengalami transformasi dari arah old banking system menuju digital banking.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperingatkan sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi perbankan, seperti perlindungan dan pertukaran data nasabah, risiko kebocoran data nasabah terkait dengan fraud, kemungkinan ketidaksesuaian investasi teknologi dengan strategi bisnisnya, dan lainnya.

"Risiko serangan siber menjadi salah satu risiko utama yang perlu diwaspadai dan dimitigasi oleh perbankan di era digital, mengingat perkembangan digitalisasi di perbankan meningkatkan timbulnya risiko keamanan siber bagi bank," ujar Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK, Teguh Supangkat, dalam seminar nasional Digital Economic in Collaboration: The Importance of Cyber Security to Protect Financial Sector in The New Age, di Jakarta, Senin (29/11).

Untuk mengantisipasi risiko tersebut, OJK selaku pengawas industri keuangan telah mengeluarkan peta jalan atau roadmap pengembangan perbankan Indonesia sampai 2025. Roadmap itu menjadi acuan dalam kebijakan dan pengaturan ke depan.

"Dalam hal ini, OJK akan mendorong perbankan untuk terus memperkuat terkait dengan tata kelola dan manajemen risiko TI (teknologi informasi), mengadopsi teknologi terkini, kemudian melakukan kerja sama terkait TI dan mengimplementasikan advance digital banking," kata Teguh.

Seperti diketahui, OJK melaporkan sejak 2017 hingga Agustus 2021 terjadi penurunan jaringan kantor bank sebanyak 2.593 kantor cabang akibat akselerasi transformasi digitalisasi. Selain itu, transaksi mobile banking dan internet meningkat lebih dari 300 persen dari 2016 hingga Agustus 2021.

Transaksi uang elektronik dari 2015 hingga 2020 juga meningkat hampir 40 persen dari 5,28 triliun rupiah menjadi 204,9 triliun rupiah. Tak hanya itu peningkatan juga terjadi pada realisasi layanan perbankan elektronik dan layanan perbankan digital. Pada 2018 terdapat realisasi 85 layanan, kemudian pada 2019 terdapat 112 realisasi layanan, serta pada 2020 terdapat 124 layanan perbankan elektronik dan layanan perbankan digital.

Komunikasi Intensif

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) juga memiliki cara tersendiri dari segi pengamanan data digital setiap nasabah yang ada di sistem pembayaran nasional. Salah satu caranya adalah dengan melakukan komunikasi intens dengan Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP).

Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Retno Ponco Windarti, mengatakan dampak dari kebocoran data cukup fatal dan harus dibereskan secepat mungkin. "Kita memberikan waktu maksimal satu jam dari kejadian harus lapor. Lalu, kita lakukan pembahasan, audit untuk mencari apa penyebab sebenarnya," ujar Retno.

Selain itu, dirinya juga menegaskan pihaknya juga akan memberikan sanksi pada PJP dan PIP yang teledor dalam melakukan kewajibannya. Menurutnya, keamanan digital menjadi salah satu faktor yang perlu diutamakan dalam industri jasa keuangan.

"Akhirnya, kita juga bisa memberikan sanksi kalau memang pada level-level tertentu kejadian tersebut terjadi karena keteledoran dan tidak memenuhi ketentuan yang ada," kata Retno. n mad/Ant/E-10

Baca Juga: