» Kalau tumbuh tapi cuma dari perdagangan barang impor, ya nggak cukup untuk nyerap pengangguran.

» Semua impor harus segera dihentikan, kecuali hanya untuk barang-barang produktif.

JAKARTA - Posisi Indonesia yang numpang lewat sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income country), sebenarnya sudah banyak diprediksi berbagai kalangan. Kenaikan kelas saat itu tipis sekali dengan batas bawah kategori upper middle income country.

Bank Dunia tahun lalu mengumumkan pendapatan per kapita Indonesia di 2019 naik menjadi 4.050 dollar AS dari posisi 3.840 dollar AS, dan itu menempatkan Indonesia berada dalam kategori negara berpenghasilan menengah atas.

Dalam klasifikasinya, berdasarkan gross national income (GNI) per kapita, Bank Dunia membagi negara-negara ke dalam empat kategori. Pertama, low income dengan pendapatan kurang dari 1.035 dollar AS, kemudian lower middle income dengan pendapatan 1.036-4.045 dollar AS, lalu upper middle income dari 4.046 sampai 12.535 dollar AS, dan terakhir high income dengan pendapatan lebih dari 12.535 dollar AS.

Sayang sekali, itu hanya bertahan setahun. Dalam pengumuman terbarunya, Bank Dunia menyebutkan bahwa pendapatan nasional bruto (gross national income/GNI) per kapita Indonesia di 2020 turun menjadi 3.870 dollar AS, dan kembali masuk ke kategori negara lower middle income.

Guru Besar Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, mengatakan pemerintah perlu menyikapi secara serius penurunan status Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah, karena berpotensi akan semakin turun. Terlepas dari krisis karena Covid-19, ini terjadi karena manajemen keuangan negara yang terlalu gali lubang tutup lubang.

"Kita banyak menggali, tapi untuk menutup pembayaran utang yang cukup besar, sehingga alokasi untuk program pembangunan berkurang. Kalau begini terus-menerus, dampaknya kita bisa lebih melorot lagi. Ini bisa terlihat pertumbuhan kita yang hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga, otomatis bisa tumbuh sekitar 3 persen. Jika di bawah itu menunjukkan lemah. Ini baru dilihat dari sudut Purchasing Power Parity, kalau dilihat dari dollar, yen, dan sebagainya bisa lebih rendah," pungkasnya.

Sedangkan Ekonom dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan untuk mengatasi kemelorotan tersebut, pemerintah harus lebih giat meningkatkan daya saing dan memberantas korupsi.

Dengan turunnya pendapat nasional dan juga pendapatan per kapita dan di saat yang sama Indonesia harus menghadapi tantangan ledakan penduduk produktif, tidak ada jalan lain, kecuali pemerintah menyusun basis pertumbuhan yang berkualitas sejak hari ini.

Setop Impor

Ekonom Senior pendiri Narasi Institut, Fadli Hasan, mengatakan bahwa kalaupun Indonesia bisa tumbuh 3-4 persen pada tahun ini dan 5 persen pada tahun berikutnya, namun penopang pertumbuhan masih seperti kemarin yakni belanja pemerintah dan konsumsi masyarakat, maka akan sulit bagi Indonesia untuk menyelesaikan problem pengangguran.

"Mulai sekarang, kita harus berpikir soal kualitas pertumbuhan. Jangan asal tumbuh, karena masalahnya dobel yakni pandemi, turunnya banyak sektor ekonomi karena pandemi, dan juga ledakan penduduk usia produktif di depan mata," kata Fadli Hasan.

Fadli juga menyinggung masalah kebiasaan impor untuk memenuhi semua kebutuhan Tanah Air. Hal itu harus segera dihentikan, kecuali hanya untuk barang-barang produktif. Tak bisa lagi Indonesia tawar-menawar dengan perilaku impor seperti yang sudah-sudah.

"Kenapa? Karena kalau tumbuh tapi cuma dari perdagangan barang impor, ya nggak cukup untuk nyerap pengangguran, dan dagang juga akan terjebak di pendapatan menengah, sulit akan maju. Kalau tidak maju, kembali lagi masalah lapangan kerja minim, pendapatan minim," tandas Fadli Hasan.

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan dampak negatif turunya Indonesia, pertama, sebagai lower middle income country pasti kapasitas terbatas, karena minim investasi yang masuk. Kapasitas yang terbatas dibarengi bonus demografi bisa menjadi malapetaka karena dilihat struktur tenaga kerja Indonesia, 80 persen berpendidikan rendah SD-SMA. "Artinya, Indonesia didominasi unskilled labor. Fenomena ini mengakibatkan kenaikan angka pengangguran akan mungkin sangat terjadi," ucapnya.

Kemudian, terbatasnya kapasitas Indonesia sebagai lower middle income country mengakibatkan ruang fiskal semakin terbatas sehingga anggaran pemerintah untuk melakukan pembangunan, untuk social protection masyarakat, dan benefit lainnya untuk masyarakat Indonesia juga semakin terbatas.

Adapun efek positifnya, lanjut Esther, fasilitas sebagai negara berkembang tetap kita peroleh seperti pemberian grant lebih mudah diperoleh, suku bunga utang lebih rendah, utang juga lebih mudah diperoleh.

Sementara efek lainnya, beberapa fasilitas lainnya sebagai lower middle income country tetap melekat seperti fasilitas ekspor dari negara berkembang, proyek proyek pembangunan yang menjadi CSR (corporate social responsibility) negara-negara maju untuk negara berkembang tetap bisa dinikmati. n SB/YK/ers

Baca Juga: