Oleh Dr Telisa Aulia Falianty
Direktur IMF, Christine Lagarde, menyatakan bahwa kondisi ekonomi global belum bisa dikatakan cukup aman karena masih ada sejumlah risiko. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia diturunkan oleh IMF dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen. Risiko -risiko yang ada terkait dengan perang dagang dan meningkatkan leverage di dunia baik utang publik maupun swasta. Direktur IMF menekankan pentingnya komunikasi kebijakan untuk menghadapi hal tersebut. Komunikasi kebijakan disarankan untuk dilakukan baik kebijakan domestik maupun luar negeri.
Perang dagang digarisbawahi Lagarde menjadi perhatian utama di negara-negara emerging market terutama Asia. Sektor perdagangan telah berhasil meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat Asia dan menciptakan kelas menengah terbesar dunia. Sektor perdagangan juga telah berhasil meningkatkan produktivitas industri, menyebarkan teknologi baru (spillover teknologi) dan membuat harga produk menjadi lebih terjangkau.
Terlepas dari memanasnya tensi akibat perang dagang, Lagarde menyarankan agar tetap dilakukan peningkatan kerja sama perdagangan antarnegara dan kawasan serta modernisasi sistem perdagangan global. Modernisasi ini antara lain dapat dilakukan melalui pengembangan e-commerce.
Dalam pertemuan kali ini diperkirakan 20.000-22.000 peserta hadir termasuk Gubernur Bank Sentral dan Menteri Keuangan dari 189 negara. Ada perwakilan, swasta, lembaga nonpemerintah, akademisi, dan media. Ada beberapa prediksi terkait penerimaan dari perhelatan ini. Terdapat prediksi pendapatan sebesar 288.7 juta USD (Saputra, 2018), ada yang memprediksi sebesar 725 miliar rupiah (Tanjung, 2018).
Keuntungan yang diperoleh tersebut langsung jangka pendek. Dengan kondisi merosotnya devisa di tengah melemahnya net ekspor serta keringnya likuiditas pascakenaikan Fed Fund Rate, penerimaan devisa sangat penting dan dibutuhkan Indonesia. Di luar itu memang keuntungan jangka panjang baik ekonomi maupun nonekonomi dapat diperoleh.
Keuntungan ekonomi jangka panjang adalah meningkatkan kredibilitas Indonesia di mata dunia dan memperkenalkan destinasi pariwisata bukan hanya Bali, namun berbagai potensi lainnya. Citra Indonesia yang telah dengan baik menyelenggarakan event ini menunjukkan kemampuan dan keramahan sebagai tuan rumah di mata dunia. Daya saing pariwisata Indonesia juga masih terus dapat ditingkatkan terbantu oleh kegiatan acara Asian Games, Asian Para Games, maupun IMF-World Bank Annual Meeting.
Dinamika dan keunikan Indonesia yang juga ditunjukkan penyampaian pidato Presiden Joko Widodo yang disambut dengan standing applause menjadi kesan tersendiri bagi para peserta dari berbagai negara. Tim kreatif di balik pembuatan pidato pun menjadi viral dan pembicaraan di kalangan masyarakat umum.
Perang ekonomi yang diibaratkan dengan perang seperti di film kekinian menjadi pusat perhatian para peserta. Unsur-unsur milenial melekat pada pertemuan ini bukan hanya dengan bahasa yang berat atau rumit, namun dengan bahasa film dan analogi-analogi tokoh serta cerita perfilman masa kini. Isu perubahan ekonomi dan iklim menjadi urgen segera diselesaikan secara bersama-sama dan tidak bisa secara egois untuk kepentingan satu negara atau kelompok saja.
Ancaman musim dingin yang akan melanda dunia juga diingkatkan dalam penyampaian pidato tersebut. Perubahan iklim global dapat mempengaruhi prospek ekonomi dunia ke depan dan kebutuhan energi terbarukan menjadi semakin tak terelakkan.
Dampak Positif
Bagaimana dengan dampak positif untuk penerimaan pemerintah? Menurut Susiwijono Moegiarso (dikutip dari iNews.id, 1 Oktober 2018), dana sebesar 44,4 miliar rupiah akan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga memperkirakan dampak langsung pertemuan IMF-WB mencapai 6,9 triliun rupiah. Angka tersebut mencakup biaya konstruksi penyelenggaran, biaya operasional, dan pengeluaran wisatawan mancanegara dan Nusantara.
Keberhasilan dalam penyelenggaran ini akan menjadi tiket Indonesia mengusulkan lagi menjadi tuan rumah berbagai event penting baik bersifat reguler maupun temporer. Misalnya, keinginan Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade internasional. Indonesia juga dapat mengusulkan diri menjadi tuan rumah KTT G20, dst.
Indonesia dapat menjadi rising star dalam penyelenggaran Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE). Salah satu kendala MICE Indonesia adalah kepercayaan internasional. Padalah MICE merupakan kegiatan wisata yang dapat mendatangkan penerimaan berkali-kali lipat disbanding wisata konvensional. Dengan tiket kepercayaan kali ini, maka potensi MICE Indonesia semakin terbuka.
Meskipun demikian terdapat beberapa kritikan juga terkait penyelenggaraan annual meeting tersebut. "Tak ada gading yang tak retak." Salah satu kritikan utamanya karena kita dianggap terlalu "lemah" dalam menyampaikan isu "ketidakadilan dan ketimpangan global." Masih sangat dominannya negara-negara maju dalam arsitektur keungan global di era sistem ekonomi berlandaskan kapitalisme global, serta reformasi peran IMF-World Bank agar lebih prorakyat.
Peran negara-negara berkembang dalam organisasi IMF dan World Bank pun dianggap masih lemah. Krisis finansial yang semakin sering terjadi dan instabilitas dalam perekonomian seharusnya dapat lebih dibahas secara mendalam karena bagaimanapun biaya dari krisis ekonomi dan finansial sangatlah besar.
Terlepas dari semua pro kontra terhadap event Bali ini, kita berharap net effect-nya memang positif untuk Indonesia khususnya dan semua negara peserta pada umumnya. Dari pertemuan tersebut diharapkan lahir ide-ide untuk tindakan bersama dan koordinasi kebijakan yang harmonis agar makroekonomi dunia lebih stabil, serta lebih ada win-win solution.
Pertemuan Bali diharapakan dapat ditindaklanjuti secara nyata. Jangan berhenti hanya sampai dengan kemewahan atau kemeriahan acara. Harus betul-betul memberi kontribusi nyata bagi perbaikan kesejahteraan rakyat Indonesia dan dunia.
Penulis Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI