Oleh Dr Edy Purwo Saputro, SE., Msi.

KTT ke-12 G20 di Hamburg, Jerman, baru saja selesai. Para kepala negara membahas isu penting, tidak hanya dalam konteks ekonomi multilateral, tetapi juga bilateral, termasuk potensi konflik semenanjung Arab dan terorisme. Presiden Joko Widodo menjadi salah satu pembicara yang menyampaikan pembahasan seputar penanggulangan terorisme.

Harapan pelaksanaan KTT G-20 kali ini tidak hanya mengacu pada kepentingan ekonomi, tapi juga kajian tentang aspek sosial politik. Tentu beralasan sinergi ketiganya menjadi penting karena fondasi politik yang kuat akan menjadi kekuatan membangun pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap kekuatan sosial pada akses kemasyarakatan dalam lingkup negara. G-20 diharapkan mampu menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang bersifat inklusif.

Kilas balik G-20 terdiri dari 19 negara ekonomi besar plus Uni Eropa yang dibentuk untuk mengatasi tantangan ekonomi global. Betapa tidak, fluktuasi era global memang semakin pelik dengan berbagai faktor yang mendasari. Ini tidak hanya dari sisi politik, tapi juga aspek bisnis dan perdagangan.

Terkait ini, awal pembentukan G-20 adalah krisis 1988 yang memunculkan harapan sinergi dari negara ekonomi majuberkembang untuk membahas seputar persoalan ekonomi dunia dan mereduksi ancamannya. Pertemuan pertama tahun 1999 di Berlin dihadiri Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral semua anggota G-20.

Pertemuan KTT G-20 pertama pada tahun 2008 di Washington DC, Amerika, dan terus berlanjut dengan berbagai fokus kajian, meski intinya tetap mengacu kajian aspek ekonomi dan politik. Salah satu pembahasan yang tidak bisa diabaikan tentang sektor keuangan. Prediksi global meyakini bahwa kekuatan sektor keuangan global tahun 2017 relatif baik.

Meski demikian, fakta semester awal 2017 ekonomi dunia menunjukkan adanya sejumlah indikator yang perlu dicermati, di antaranya nilai tukar dan suku bunga acuan, termasuk juga sebaran kredit dan daya beli. Jika dicermati kondisi yang terjadi tidak terlepas dari kesepakatan yang dirumuskan dari KTT ke-11 G20 di Guang Zhou tahun lalu. Waktu itu, disepakati tidak melakukan hambatan ekonomi global, termasuk juga proteksionisme yang menghambat hubungan ekonomi antarnegara.

Implikasi dari pertemuan KTT G-20 tahun lalu sayangnya tidak bisa dilaksanakan secara tuntas. Paling tidak, AS dengan kepemimpinan Presiden Trump yang proteksionis telah memicu konflik, tidak hanya bilateral, tapi juga multilateral. Pascakemenangan Trump, dunia tidak bisa mengelak dari berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik. Ini terlepas dari pro-kontra krisis AS. Yang jelas, ada sejumlah aspek yang perlu dikaji, terutama kaitan prospek jalinan multilateral, terutama posisi AS yang strategis di berbagai forum dunia, termasuk G-20.

Poros RI-AS telah lama menjalin kerja sama perdagangan dan investasi. Ini dipererat dengan adanya MOU Between the Republic of Indonesia and the United States of America Concerning the Establishment of the Council on Trade and Investment dalam rangka Trade and Investment Framework Arrangement (TIFA). MOU ditandatangani di Christchurch, Selandia Baru, pada tanggal 16 Juli 1996. Oleh karena itu, AS tidak saja berperan sebagai mitra dialog, tetapi juga teman dagang baik dalam kapasitas Indonesia sebagai anggota ASEAN ataupun mandiri.

Merujuk dampak makro krisis di AS dan kaitannya dengan G-20 maka imbas terhadap perekonomian Indonesia sangat penting diperhatikan. Pertumbuhan ekspor Indonesia ke AS dari lima tahun terakhir rata-rata 1,2 persen. Selain itu, yang perlu dikaji tentang eksistensi AS, kiprah dan dominasi di APEC.

Sinergi perekonomian sebenarnya dibangun dengan ragam cara, termasuk mereduksi terjadinya hambatan dalam perdagangan dan investasi. Hal ini akhirnya direspons dengan membuat Roadmap Busan di forum KTT APEC tahun 2005 yang kemudian direalisasikan dalam Kesepakatan Bogor ( Bogor Goals). Roadmap Busan yang dibuat tingkat Menteri Ekonomi APEC telah dibahas di pertemuan pemimpin 21 negara anggota APEC di Busan, Korsel tahun 2005. Melalui KTT G-20, peran AS dan mitra lainnya sangat berarti bagi jalinan multilateral.

Bogor Goals yang dilahirkan pada pertemuan APEC 1994 merumuskan perdagangan dan investasi bebas di kawasan Asia Pasifik pada tahun 2020 untuk negara berkembang dan tahun 2010 untuk negara maju. Roadmap Busan diharapkan bisa lebih menjamin kesepakatan perdagangan bebas - investasi sehingga dapat lebih dijangkau sesuai target.

Pasar

Mengacu fakta ini, diakui tantangan ke depan bagi G-20 semakin berat, baik internal maupun eksternal. Ini termasuk tantangan membangun jalinan bilateralmultlateral pasca-KTT G-20. Oleh karena itu, eksistensi G-20 bagaimanapun juga tidak mungkin bisa dihindari dan kalau kita mau jujur, sudah banyak campur tangan G-20 terhadap republik ini. Keterlibatan Indonesia di G-20 tidak bisa diremehkan.

Terlepas apa pun hasil KTT G-20 kali ini, pelaku pasar tidak yakin akan ada perubahan berarti dalam hubungan bilateral-multilateral. Meski demikian, jika nanti ada perubahan, Indonesia akan menerima sebagai kesempatan untuk berkolaborasi. Yang juga perlu dipertimbangkan, posisi Indonesia di G-20. Indonesia menyambut baik perdagangan bebas yang tidak bisa lagi dihindari.

Hal ini secara tidak langsung menuntut komitmen memperkuat jalinan bilateral- multilateral. Jalinan multilateral memang bukan persoalan mudah karena ada banyak kasus yang bisa menjadi ganjalan, termasuk isu HAM dan terorisme. Maka, imbas hasil KTT G-20 kali ini sangat penting untuk menjaga hubungan di era globalisasi.

Esensi terhadap globalisasi dengan berbagai atribut kapitalisnya tentu sangat butuh suatu jalinan multilateral agar memperkokoh fondasi kerja sama. Ini tidak saja dalam bidang sosial ekonomi, tetapi juga hukum dan militer. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak selalu memupuk jalinan multilateral, baik melalui forum regional maupun internasional.

Bahkan, fakta pergantian kekuasaan hendaknya juga harus mengacu pada komitmen membangun akses bilateral dan multilateral. Artinya, KTT G-20 Hamburg menjadi test case memacu jalinan multilateral era globaliasi yang penuh kapitalis dan rente.

Penulis Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo

Baca Juga: