» Biaya pembangkitan dengan menggunakan EBT sudah semakin turun dan kompetitif.

» Tren global menuju pemanfaatan energi hijau semakin kencang.

JAKARTA - Indonesia memiliki potensi besar di bidang energi baru terbarukan (EBT) atau renewable energy seperti tenaga air, surya, panas bumi, dan angin. Namun, pemanfaatan potensi tersebut masih sangat kecil. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sampai akhir 2021 total kapasitas pembangkit EBT baru 11.152 megawatt (MW). Sementara itu, total kapasitas pembangkit listrik di Indonesia sudah mencapai 73.736 MW.

Adapun tingkat bauran energi baru terbarukan (energy mix) sampai akhir 2021 mencapai 13,5 persen. Dalam rencana energi nasional, pemerintah ingin mencapai tingkat bauran energi sebesar 23 persen pada 2025. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Nasional (RUPTL) 2021-2030, untuk mencapai level tersebut, tambahan kapasitas pembangkit EBT yang dibutuhkan sebesar 10.640 MW.

Dari listrik EBT yang ada saat ini, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) merupakan penyokong terbesar dengan kapasitas mencapai 6.601,9 MW. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional 2017, potensi PLTA mencapai 94.476 MW. Dengan kapasitas yang ada sekarang, potensi PLTA yang termanfaatkan baru 6,99 persen.

Meskipun masih kecil, sumbangan PLTA terhadap total kapasitas pembangkit EBT tergolong besar yakni mencapai 59 persen. Dalam RUPTL 2021-2030, PLN menargetkan penambahan kapasitas PLTA sebesar 3.150 MW.

Apalagi, biaya pembangkitan dengan menggunakan EBT sudah semakin turun dan kompetitif. Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, dalam sejumlah kesempatan mengungkapkan harga jual listrik PLTA saat ini sudah berada di kisaran 943-945 per kWh atau di bawah biaya pokok penyediaan pembangkitan nasional tahun 2020 sebesar 1.027 per kWh.

Kemudahan Investasi

Pakar energi terbarukan dari Universitas Brawijaya, Malang, Suprapto, mengatakan isu perubahan iklim dan potensi kenaikan harga energi akibat perang di Ukraina seharusnya jadi momentum untuk mendorong kemudahan berinvestasi pada sektor energi terbarukan.

"Pemerintah harus mendorong kemudahan berinvestasi di bidang EBT ini. Insentif-insentif seperti kemudahan perizinan dan keringanan pajak akan sangat membantu. Bagaimanapun, ini kan bidang yang relatif baru, sebagai investor mereka perlu diyakinkan bahwa nanti akan dapat menghasilkan keuntungan," kata Suprapto.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menegaskan masa depan energi baru dan terbarukan (EBT) sangatlah cerah terlebih lagi secara global tren menuju energi hijau semakin kencang begitu juga investasinya.

"Beri insentif bagi investor yang masuk karena bagaimanapun investor kan menghitung return-nya. Kalau hitungannya tidak masuk, mereka tidak bakalan invest," tegasnya.

Sebelumnya, Bank Dunia mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk memulihkan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19 sekaligus mengatasi masalah perubahan iklim. Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Satu Kähkönen, mengatakan pada dua tahun terakhir penuh tantangan karena pandemi menyebabkan krisis kesehatan, ekonomi, dan sosial di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

"Perekonomian Indonesia telah melewati krisis lebih baik daripada banyak perekonomian lain di dunia, berkat pengelolaan ekonomi makro Indonesia yang bijaksana," katanya.

Sekarang fokusnya bergeser ke mendukung pemulihan ekonomi dan mengatasi perubahan iklim. Perubahan iklim adalah tantangan yang menentukan zaman kita pada tahun 2030," kata Satu, di sela-sela perhelatan Expo 2020 Dubai, Selasa (29/3) seperti dikutip dari Antara.

Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen dengan usaha sendiri dan sebesar 41 persen jika mendapat dukungan internasional pada tahun 2030. Indonesia juga berupaya untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060 atau lebih cepat dan sedang mempersiapkan transisi sektor energi.

Pengamat ekonomi Yohanes B. Suhartoko mengatakan, untuk memulihkan ekonomi dan transisi energi, pemerintah harus melibatkan swasta. Peran pemerintah dalam pemulihan ekonomi lebih sebagai fasilitator dan stimulator, karena pembiayaan dari APBN sudah terbatas seiring upaya mengembalikan defisit anggaran tidak lebih dari 3 persen.

Baca Juga: