Kemudahan akses terhadap makanan siap saji dan produk olahan membuat banyak orang mengabaikan praktik pengelolaan makanan yang baik sehingga mendorong meningkatnya fenomena food waste.
JAKARTA - Kecenderungan penduduk Indonesia yang gemar mengonsumsi makanan instan membawa dua persoalan baru. Selain menghambat pengembangan pangan lokal, kebiasan tersebut juga dapat mengurangi konsumsi pangan sehat dan bergizi.
Pengamat pertanian Universitas Warmadewa Denpasar, I Nengah Muliarta, menerangkan kemudahan dalam mengakses informasi, cepatnya teknologi, dan perubahan gaya hidup telah mempengaruhi cara memenuhi kebutuhan, termasuk hak atas pangan. Namun, dalam konteks pola hidup instan, tantangan baru muncul dalam memenuhi hak ini.
Pola hidup instan ditandai dengan kebutuhan akan kecepatan dan kenyamanan. Masyarakat cenderung memilih makanan yang siap saji, mudah diakses, dan tidak memerlukan banyak waktu untuk dipersiapkan. Meskipun ini menawarkan kemudahan, ada beberapa dampak negatif yang perlu diperhatikan.
Pertama, kata dia, pola makan yang instan sering kali mengarah pada konsumsi makanan olahan yang tinggi gula, garam, dan lemak sehingga dapat mengancam kesehatan. "Kedua, ketergantungan pada produk makanan instan dapat mengurangi kesadaran akan keberagaman pangan lokal yang lebih bergizi," ucap Muliarta.
Pola hidup instan yang semakin mendominasi masyarakat modern membawa dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal konsumsi pangan. Kemudahan akses terhadap makanan siap saji dan produk olahan membuat banyak orang mengabaikan praktik pengelolaan makanan yang baik.
Akibatnya, fenomena food waste (limbah pangan) semakin meningkat. Meskipun tak hanya merugikan individu secara ekonomi, tetapi juga memiliki dampak besar terhadap pemenuhan hak atas pangan secara merata.
Food waste memiliki implikasi serius terhadap pemenuhan hak atas pangan, terutama dalam konteks pemerataan akses pangan. Hak atas pangan adalah hak asasi manusia yang menjamin setiap individu memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi. Namun, tingginya tingkat limbah pangan berkontribusi pada ketidakadilan dalam distribusi pangan.
Muliarta menjelaskan makanan yang dibuang sering kali berakhir di tempat pembuangan akhir, yang berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Ini menambah masalah perubahan iklim yang pada gilirannya mempengaruhi ketahanan pangan secara global.
Karena itu, menurut Muliarta, salah satu langkah awal yang penting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pangan bergizi. Program edukasi mengenai gizi seimbang, cara memilih makanan yang sehat, dan manfaat dari konsumsi pangan lokal dapat dilaksanakan melalui seminar, kampanye media sosial, dan kolaborasi dengan komunitas lokal.
Dalam konteks pola hidup instan, penting untuk mendorong produksi dan konsumsi pangan lokal. Pemerintah dan lembaga terkait dapat memfasilitasi petani lokal untuk menjual produk mereka langsung kepada konsumen.
Pembangunan pasar lokal dan program pertanian berkelanjutan dapat membantu meningkatkan akses masyarakat terhadap pangan segar dan bergizi.
Keunggulan Biodiversiti
Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyatakan Indonesia memiliki keunggulan biodiversiti terbesar kedua di dunia. Salah satunya sorgum yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat yang sarat gizi.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, mengatakan Indonesia sebenarnya punya kesempatan untuk meningkatkan ketahanan pangan, salah satunya dengan memanfaatkan sorgum untuk sumber karbohidrat selain beras.
Faktor geografis dan demografis, jelas Arief, menghasilkan kompleksitas tersendiri bagi ketahanan pangan nasional. Namun di balik tantangan tersebut, Indonesia memiliki biodiversiti terbesar kedua di dunia, sehingga potensi pangan pokok alternatif seperti sorgum penting untuk terus didiseminasikan secara luas kepada masyarakat.