Masyarakat perlu meningkatkan literasi media dan politik menjelang Pemilu 2024 agar tidak terjebak pada informasi yang menyesatkan.

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menekankan pentingnya meningkatkan literasi media dan politik menyongsong Pemilu 2024.

"Literasi itu apa sih? Literasi itu ya membaca, menulis, menjelaskan, menerangkan, menghayati, dan memecahkan persoalan," kata Mahfud di Jakarta, Selasa (23/5).

Mahfud menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara kunci dalam seminar "Literasi Media dan Politik Jelang Pemilu 2024: Mitigasi Konflik SARA dan Penguatan Partisipasi Warga" di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa.

Menurut Mahfud yang menjadi masalah saat ini adalah kebanyakan orang tidak membaca sebuah berita sampai menyeluruh. Sering kali orang-orang baru sampai membaca judul dan langsung bereaksi, misalnya dengan memaki.

Ironisnya, lanjut Mahfud, media massa saat ini banyak terjebak untuk membuat berita-berita dengan judul clickbait atau yang berlebihan semata bertujuan untuk mengundang pembaca alih-alih mencerminkan isi berita secara aslinya. "Media sekarang banyak membuat clickbait antara isi dengan judulnya (tidak sama). Ini sudah tidak sehat dan itu mungkin akan mengganggu jalannya pemilu kita," ujarnya.

Selain persoalan media massa yang jelas-jelas memiliki afiliasi dengan partai politik, Mahfud menilai kondisi semakin rumit karena perkembangan berbagai kanal media sosial, yang menjadi ladang subur munculnya kalangan pendengung atau buzzer yang bisa dibayar siapapun untuk membentuk opini, termasuk opini politik.

Potensi Kecurangan

Dalam kesempatan tersebut, Mahfud MD menyinggung potensi kecurangan yang disebutnya akan terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Kecurangan pemilu akan dilakukan oleh peserta pemilu terhadap rakyat.

Menurut Mahfud, kecurangan memang terjadi dalam lima kali penyelenggaraan Pemilu terakhir. "Karena sudah lima kali Pemilu kita 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 curang terus. Tetapi beda saudara yang curang sekarang itu adalah peserta pemilu sendiri, bukan pemerintah," kata Mahfud.

Mahfud menegaskan hal itu jauh berbeda apabila dibandingkan semasa Orde Baru berkuasa, di mana sudah menjadi rahasia umum bahwa Pemilu kerap kali sudah diatur siapa pemenangnya dan partai apa mendapat berapa banyak suara.

"Kalau dulu jaman Orde Baru itu ndak bisa dibantah, yang curang pemerintah terhadap rakyat. Pokoknya yang menang harus Golkar, pemilu besok yang Golkar dapat sekian, PPP sekian, PDI sekian, sudah diatur. Itu bukan berita bohong, memang iya," ujarnya.

Sementara dalam lima kali Pemilu terakhir, Mahfud menyebut kecurangan terjadi antara rakyat dengan rakyat dan dilakukan oleh peserta Pemilu. Mahfud mencontohkan modus kecurangan yang terjadi adalah peserta pemilu membayar orang tertentu di tempat pemungutan suara (TPS) untuk memalsukan hasil pemungutan suara yang diserahkan ke kelurahan, kecamatan dan seterusnya. "Sudah diakali sedemikian rupa, masih saja terjadi kasus-kasus seperti itu," ucapnya.

Oleh karena itu, Pemerintah sejak 2003 secara resmi membentuk Mahkamah Konstitusi (MK) yang salah satu tugasnya adalah menyelesaikan perselisihan hasil pemilu. Mahfud, yang juga mantan Ketua MK 2009-2013, menegaskan lembaga yudikatif itu harus bekerja secara terbuka dan independen. "Karena kalau keputusannya tidak terbuka dan independen, itu bisa jadi masalah politik yang besar," ujarnya.

Mahfud berpesan agar segenap pihak terus memperkuat literasi politik maupun media, demi menjaga Pemilu 2024 agar lebih demokratis.

Baca Juga: