» TPPU penyelundupan emas, laporannya diubah menjadi pajak.

» Mahfud meminta tidak ada yang menghalangi penyidikan maupun penegakan hukum.

JAKARTA - Paparan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD soal transaksi mencurigakan 349 triliun rupiah yang melibatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR, di Jakarta, Rabu (29/3) benar-benar mengejutkan anggota dewan. Pasalnya, data yang disampaikan Mahfud berbeda dengan yang dipaparkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati di depan Komisi XI DPR pada Senin (27/3).

Anggota Komisi III DPR F-Demokrat Benny K. Harman mengatakan bahwa pihaknya menerima informasi dari paparan Menteri Keuangan di Komisi XI DPR dan hasilnya berbeda dengan paparan versi Mahfud MD.

Sebelumnya, Mahfud MD meyakini bahwa transaksi mencurigakan tersebut merupakan hasil dari pencucian uang, yang dinilai lebih berbahaya dari korupsi.

"Kita jadi bertanya-tanya seperti apa ini, kita ingin tahu betul. Ingin benar-benar rapat ini ingin membuka ada apa sebenarnya?" kata Benny dalam Rapat Kerja Menkopolhukam dan Komisi III DPR RI.

Beberapa anggota Komisi III pun menanyakan kepada Mahfud MD lagi, data mana yang benar, datanya koq berbeda. Dengan tegas Mahfud mengatakan tidak ada data yang berbeda, datanya sama, dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) semua. Kalau ada data yang berbeda dengan data yang ia paparkan, berarti itu palsu. "Di luar data ini, berarti palsu," kata Mahfud MD..

Sebelumnya, di hadapan Komisi XI DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa dari kompilasi surat sejak 2009 hingga 2022, hanya Rp 3,3 triliun yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kemenkeu. Itu pun permintaan pihak Kemenkeu kepada PPATK untuk keperluan risk profiling pegawai Kemenkeu.

Dalam rapat yang berlangsung hingga Rabu malam tersebut, Mahfud mengatakan bahwa dari keterangan Menkeu ada kekeliruan pemahaman dan penjelasan karena ditutupnya akses yang sebenarnya dari bawah sehingga apa yang beliau jelaskan adalah data yang diterima beberapa hari sebelumnya ketika bertemu dengan Ketua PPATK, Ivan Yustiavandana.

Ia menjelaskan, dalam sebuah pertemuan bersama Kemenkeu dan PPATK saat ditanyakan soal uang 189 triliun eupiah, Sri Mulyani mengaku tidak mengetahui adanya data tersebut. "Ketika ditanya oleh Ibu Sri Mulyani ini apa kok ada uang 189 triliun rupiah. Itu pejabat tingginya yang Eselon 1 menjawab, 'oh tidak ada ibu, tidak pernah ada'. Pak Ivan bilang ada, baru dia 'oh iya nanti dicari katanya itu," ungkap Mahfud.

Hal ini kemudian dijelaskan sebagai dugaan pencucian uang yang dilakukan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan 15 entitas. Kendati demikian, laporannya diubah menjadi pajak, sehingga ketika diteliti ada banyak ditemukan harta yang harus dibayar pajaknya.

"Padahal ini cukai, laporannya itu emas. Impor emas datang yang mahal-mahal itu tapi dalam surat cukainya itu dibilang emas mentah, diperiksa PPATK diselidiki kan emas sudah jadi kok bilang emas mentah? Ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya," ujar Mahfud.

Setelah dicari ke Surabaya, kata Mahfud, tidak ada hubungannya dengan uang yang diperiksa PPATK. Menurut dia, PPATK telah "mengendus" dugaan pencucian uang itu sejak 2017 dan langsung dilaporkan ke Kemenkeu melalui Dirjen Bea Cukai dan Irjen Kemenkeu.

"Dua tahun tidak muncul, 2020 dikirim lagi tidak sampai ke Ibu Sri Mulyani, sehingga bertanya ketika kami kasih itu dan dijelaskan yang salah," ujar Mahfud.

Jangan Dihalangi

Dalam rapat kerja tersebut, Mahfud juga meminta tidak ada yang menghalangi penyidikan maupun penegakan hukum, terutama terkait dengan dugaan transaksi mencurigakan sebesar 349 triliun rupiah di Kementerian Keuangan.

"Saudara jangan gertak-gertak, saya bisa gertak juga. Saudara bisa dihukum menghalang-halangi penyidikan, penegakan hukum," ujar Mahfud dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III dan Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU di Gedung Nusantara II, Rabu (29/3).

"Orang mau mengungkap dihantam, ungkap dihantam. Menghalang-halangi penyidikan, menghalangi penegakan hukum, lalu tangkap. Jadi, jangan main ancam-ancam begitu, kita ini sama," tegas Mahfud MD.

Mahfud menyatakan hal itu ketika merespons pernyataan anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan yang menyebutkan bahwa laporan PPATK soal transaksi mencurigakan itu seharusnya tidak boleh diumumkan ke publik. Pasalnya, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan ada ancaman pidana 4 tahun bagi yang membocorkan.

"Beranikah Saudara Arteri bilang begitu kepada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Pak Budi Gunawan? Pak Budi Gunawan itu anak buah langsung Presiden, bertanggung jawab bukan anak buah Menko Polhukam, melainkan setiap minggu laporan resmi info intelijen kepada Menko Polhukam," tambahnya.

Mahfud memiliki hak untuk mengumumkan suatu informasi ke publik. Hal tersebut sudah sering sehingga dia mempertanyakan mengapa persoalan ini baru menjadi ramai.

"Saya umumkan dan Saudara diam saja. Kita yang umumkan kasus Indosurya yang sampai sekarang bebas di pengadilan, kita tangkap lagi, karena kasusnya banyak itu 'kan PPATK, kok, baru ribut soal ini," tutur Mahfud.

Selain itu, pada saat penangkapan Gubernur Papua Lukas Enembe banyak warga Papua yang turun ke jalanan. Untuk itu, dia meminta PPATK mengungkap persoalan itu dan membekukan uang Lukas Enembe.

"Kalau tidak begitu, tidak bisa ditangkap. Kita tahu dari Intel Polri. 'Pak kateringnya tiap hari turun, itu sudah tidak ada kekuatannya, itu 'kan intel, masa tidak boleh," imbuhnya.

Mahfud MD menjelaskan alasan transaksi mencurigakan 349 triliun rupiah diungkapkan ke publik. "Saya umumkan kasus itu adalah sifatnya agregat, jadi perputaran uang tidak menyebutkan nama orang, tidak menyebut nama akun. Itu tidak boleh agregat bahwa perputaran uang laporan itu 349 triliun rupiah. Agregat," ujar Mahfud.

Menurut dia, sejumlah nama yang diungkap ke publik justru sudah menjadi kasus hukum, seperti Rafael Alun Trisambodo dan Angin Priyatno. Meski begitu, nama lain yang kemudian muncul itu disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. "Saya tidak sebut nama yang menyebut nama inisial bukan saya, Bu Sri Mulyani. Nanti tanyakan kepada beliau. Itu justru salahnya di situ," kata dia.

Mahfud menjelaskan bahwa informasi soal itu berasal dari Kepala PPATK Ivan Yustiavandana.

Pengungkapan informasi yang telah dilakukannya selama ini, menurut dia, sesuai dengan UUD 1945.

Libatkan 491 Entitas

Mahfud MD menyebut ada 491 entitas aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang terlibat dalam dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp349 triliun.

"Yang terlibat di sini jumlah entitas dari Kemenkeu 491 orang," kata Mahfud dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/3) malam.

Dia mengungkapkan bahwa 491 entitas ASN Kemenkeu itu terdiri dari tiga kelompok laporan hasil analisis (LHA). Menurut dia, kategori pertama adalah transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu dengan jumlah Rp35.548.999.231.280, melibatkan 461 entitas ASN Kemenkeu.

Kedua, transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain. Nilai transaksi dari kategori kedua di atas adalah Rp53.821.874.839.402, dengan jumlah entitas ASN Kemenkeu yang terlibat sebanyak 30 orang.

Ketiga, transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tidak pidana asal dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai di kementerian tersebut.

Untuk kategori yang terakhir, jumlah transaksinya mencapai Rp260.503.313.306 dan tidak melibatkan entitas ASN Kemenkeu. Mahfud menegaskan bahwa jangan melibatkan Rafael Alun dengan kasus dugaan TPPU ini karena Rafael terlibat dalam kasus berbeda.

Baca Juga: