YOGYAKARTA - Empat mahasiswa Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggagas pemanfaatan kulit buah mangga untuk membuat larvasida alami guna menekan kasus demam berdarah dengue (DBD).

"Dalam kulit mangga terdapat senyawa flavonoid, saponin, serta tanin, yang berpotensi digunakan sebagai larvasida," kata salah satu mahasiswa FK-KMK UGM, Santi Andriyani, dalam keterangan resmi di Yogyakarta, Minggu (21/1).

Seperti Dikutip dari Antara, Santi mengatakan kajian pustaka dari penelitian terdahulu menemukan adanya senyawa aktif dalam kulit mangga yang potensial dikembangkan sebagai zat yang dapat digunakan untuk membunuh larva nyamuk.

Keempat mahasiswa UGM terpilih sebagai finalis ajang kompetisi internasional Bio-Circular-Green (BCG) di Kasetsart University, Thailand.

Santi bersama tiga rekannya, yaitu Salman Hafiz Ar-ramli Lubis, Nisa Munawwarah, dan Jessica Edelyne, yang tergabung dalam Tim Mango Skin for Organic Sustainable Aedes Insect Control (MOSAIC) kemudian menggagas formula itu.

Santi menjelaskan flavonoid mampu mengganggu sistem saraf dan pernapasan larva, sedangkan saponin bisa menjadi racun lambung kuat pada serangga, dan tanin mampu menghambat enzim pencernaan.

Gagasan penggunaan limbah kulit mangga sebagai larvasida alam, kata Santi, tidak hanya menjadi alternatif dalam membantu pencegahan kasus DBD saja, tapi juga berkontribusi mengurai persoalan lingkungan dengan mengolah limbah yang sebelumnya tidak dimanfaatkan dan hanya menjadi sampah bagi lingkungan.

Ia mencontohkan di Thailand pada 2020 total produksi mangga mencapai 1,66 juta ton sehingga ada potensi besar limbah sampah kulit mangga di negara tersebut.

"Hal ini membuat kami berpikir bahwa limbah olahan yang berasal dari kulit mangga di Thailand memiliki potensi besar untuk mengatasi persoalan yang sedang dihadapi negaranya. Karena Thailand sendiri merupakan salah satu produsen mangga terbesar di dunia," katanya.

Mahasiswa FK-KMK UGM lainnya, Salman Hafiz, menambahkan ide pengembangan larvasida alami berangkat dari keprihatinan mereka terhadap laporan WHO mengenai lonjakan tajam kasus DBD secara global.

Lonjakan wabah DBD ditandai dengan peningkatan signifikan dalam jumlah, skala, dan peningkatan kasus.

"Bahkan WHO menyatakan terjadinya lonjakan wabah pada saat ini diikuti dengan penyebaran ke wilayah yang sebelumnya belum terpapar DBD," ujarnya.

Data WHO 2023 mencatat meski hampir 80 persen atau sekitar 4,1 juta kasus penyebaran wabah DBD dilaporkan terjadi di wilayah Amerika. Namun di Asia Tenggara, terutama di Thailand, prevalensi kejadian DBD pada 2023 meningkat tajam menjadi lebih dari 300 persen dibanding tahun sebelumnya.

Vaksin Dengue

Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Dr dr Hartono Gunardi, Sp.A(K), berpendapat vaksin sebagai salah satu strategi nasional Indonesia dalam pencegahan DBD perlu diberikan pada kelompok masyarakat yang berisiko. Data menunjukkan DBD menyerang anak usia 5-14 tahun, dengan angka kematian pada kelompok usia anak di bawah 14 tahun berkisar antara 66 persen.

Di sisi lain, anak-anak rentan terinfeksi dengue karena mereka berada dekat dengan populasi nyamuk Aedes aegypti. Selain itu, waktu aktif nyamuk bersamaan dengan jadwal aktivitas anak-anak pada umumnya, yaitu pada siang hari dengan puncaknya pukul 08.00-13.00 serta 15.00-17.00.

Oleh karena itu, IDAI mengeluarkan rekomendasi vaksinasi dengue bagi anak-anak, yang berisi empat antigen dari empat serotip virus dengue sejak tahun 2020, walau kala itu vaksin yang tersedia merupakan generasi pertama. Saat ini, vaksin dengue yang tersedia yakni TAK-003.

Baca Juga: