Setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, banyak penolakan dari berbagai kalangan termasuk dari para mahasiswa. Para mahasiswa turut melakukan aksi unjuk rasa, tidak hanya di Ibu Kota, tapi juga di daerah-daerah lainnya.

Salah satu keresahan mahasiswa yaitu adanya potensi dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang lebih memihak para pengusaha dan para investor. Tentu hal tersebut membuat mahasiswa resah sebab lulusan perguruan tinggi nantinya akan terserap ke dunia kerja.

Untuk mengupas terkait aksi unjuk rasa mahasiswa dan hubungannya dengan dunia kerja, Koran Jakarta mewawancarai Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nizam. Berikut petikan wawancaranya.

Benarkah ada larangan dari Kemendikbud untuk melarang aksi unjuk rasa mahasiswa?

Kami memang menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, tapi di dalamnya sama sekali tidak ada larangan untuk demo. Saya lebih memprioritaskan betul tentang kesehatan mahasiswa. Setelah demo itu, tim Satuan Tugas Pandemi Covid-19 melaporkan ada 123 mahasiswa reaktif setelah tes rapid Covid-19. Itu yang terdeteksi di beberapa daerah.

Kampus kekuatannya di intelektualitas. Mahasiswa adalah intelektual yang mestinya memberi masukan dengan kajian-kajian intelektual yang kuat.

Bagaimana dengan usulan-usulan dari mahasiswa terutama terkait RUU Cipta Kerja ini?

Insya Allahm semua itu kita teruskan. Ada beberapa poin dari mahasiswa terkait RUU Cipta Kerja untuk sektor pendidikan. Saya bawa langsung ke badan legislasi masuk-masukan itu. Alhamdulillah, dengan masukan dari berbagai pihak itu, klaster pendidikan dikeluarkan dari UU Cipta Kerja. Itu fakta.

Bagaimana pandangan Anda terkait UU Cipta Kerja ini?

Kami telah menyelenggarakan virtual carrer fair untuk membantu sarjana baru bertemu dengan pekerjaan. Itu diikuti 300.000 sarjana baru yang lulus dari Mei sampai Juni. Tapi, job offer hanya jauh di bawah 10.000 untuk 300.000 sarjana baru. Jadi, kondisi ekonomi kita tengah mengalami tekanan sebab ada pandemi ini.

Untuk menciptakan lapangan pekerjaan butuh investasi. Saat ini perizinan untuk investasi setengah mati. Banyak meja-mejanya. Dan itu ingin dihapuskan oleh Presiden. Tanpa ada investasi, pertumbuhan ekonomi akan sulit bersaing dengan negara-negara Asean sekalipun. Pasalnya di negara-negara Asean mereka membebaskan pajak, bahkan tanah diberikan agar investasi masuk. Sementara kalau kita tidak reformasi perizinan, kita akan sangat tidak kompetitif dengan tetangga-tetangga kita. Jadi, itu kalau kita melihat semangat UU Cipta Kerja.

Ada penilaian bahwa kebijakan Kampus Merdeka membuat perusahaan mendapat tenaga kerja tanpa dibayar melalui program magang. Bagaimana tanggapan Anda?

Itu hanya interpretasi. Hak-hak dan Satuan Kredit Semester (SKS) mereka tetap kami lindungi. Kampus Merdeka itu memberi peluang bagi mahasiswa yang luas sekali. Magang hanya satu dari ribuan kemungkinan untuk melakukan pengayaan kompetensi dan kemampuan mahasiswa, bisa melalui penelitian maupun mengabdi di desa.

Dibanding mahasiswa turun ke jalan, terjun ke desa itu dampaknya luar biasa sekali. 27.000 desa masih tertinggal dari 72.000 desa yang ada. Kalau ini dikeroyok mahasiswa, cepat kemajuan desa kita. Ada yang mungkin membawa teknologi pertanian, pembangunan infrastruktur, ada yang membangun ekonomi, tentu desa kita akan lebih cepat maju.

Bagaimana proses pembelajaran dalam kebijakan Kampus Merdeka ini?

Pembelajaran sekarang itu kalau kita istilahkan dengan multiple path ways. Jalannya banyak sebab mahasiswa garis tangannya berbeda-beda dan cita-citanya berbeda. Jadi, kenapa harus diseragamkan, padahal masing-masing berbeda. Jadi, kita buka ruang untuk mahasiswa belajar di luar ruang perkuliahan, baik dengan beberapa program yang ada maupun dengan pembelajaran lintas prodi.

n m aden ma'ruf/P-4

Baca Juga: