Candi Borobudur masih menyimpan sejuta misteri yang belum terungkap. Bagaimana candi itu dibangun, untuk apa, masyarakat dengan teknologi dan kebudayaan seperti apa yang menopangnya, dan sebagainya.

Borobudur Writers Cultural Festival (BWCF) 2017 yang berlangsung pekan lalu membahas Borobudur melalui Kisah Gandwyuha yakni relief terbanyak yang diukir di candi tersebut dan berada di lorong tingkat tertinggi sebelum menuju plataran puncak Borobudur. Di bawahnya berturut dipahat relief Jataka, Lalitawistara, dan Karmawibangga yang terpahat di kaki candi.

Kisah Gandawyuha adalah kisah asli India bagian selatan yang ditulis sekitar abad 1 Masehi dan diadopsi banyak peradaban di seluruh Asia, dari India, Tongkok, Jepang, Srilangka, hingga Nusantara.

Pakar Budhidharma, Salim Lee, yang menjadi pembicara utama dalam seminar di Hotel Manohara kawasan Borobudur, Magelang, mengatakan, salah satu yang paling menarik dari Borobudur adalah candi tersebut merupakan pembumian naskah Gandawyuha yang bisa dinikmati dan dipelajari semua orang.

Berbeda di negara-negara lain seperti Tiongkok, Jepang, maupun India, tafsir atas Gandawyuha berada di kuil-kuil yang elitis.

"Sebagai presentasi kisah Gandawyuha, presentasinya melibatkan pemikiran mendalam, kebaikan tertinggi, dan keahlian seni ukir dari seluruh rakyat. Borobudur adalah peta mencapai potensi tertinggi keberadaan, dan kokoh berdiri di bumi Nusantara," jelasnya.

Gandawyuha adalah sutra (teks) utama budhisme yang mencerminkan keluasan dan kedalaman ajaran Budha. Kisahnya bercerita tentang tokoh bernama Sudjana dalam menggapai spiritual tertinggi.

Salim Lee mengatakan bagi orang-orang yang berkeinginan memiliki hidup yang berarti, Borobudur merupakan suatu peta sistematis. Dimulai dari keinginan mendasar seperti kekayaan, dipuji dan berumur panjang, hingga tercapainya kehidupan yang tergugah, hidup dengan kemantapan, kedamaian hati, dan welas asih yang menebar kebahagiaan untuk semua makhluk.

Di seluruh dunia, sepanjang sejarah, Borobudur adalah satu-satunya kita bisa menemukan kumpulan sutra yang begitu lengkap dan paripurna. Dibabar dengan sistematis, dengan tahapan dan tujuan jelas, dan dihadirkan pada media ukiran batu pada dinding dan Langkan sebuah Stupa.

"Motifnya yang luar biasa, yakni agar sebanyak mungkin orang bisa menjalani laku itu. Keselamatan bagi semua orang," katanya. YK/R-1

Magnum Opus dari Profesor Noerhadi

Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), Noerhadi Magetsari mendapat anugrah Sang Hyang Kamahayanikan Award dari BWCF ke-6 tahun 2017.

Noerhadi dinilai telah memberikan sebuah kajian paling komprehensif mengenai Borobudur yang berangkat dari kajian sutra (teks tertulis) yang muncul dari kalangan akademis Indonesia.

"Kajian Budhalogi atas Borobudur belum berakhir, teka-teki Borobudur masih harus disibak. Tapi analisis Noerhadi adalah sebuah magnum opus dari kalangan akademis Indonesia. Untuk itu tepatlah peneliti Sang Hyang Kamahayanikan ini mendapat anugrah Sang Hyang Kamahayanikan Award," demikian kata kurator dan penasehat BWCF 2017, Romo Mudji Sutrisno SJ saat membacakan pidato anugrah Sang Hyang Kamahayanikan, di Hotel Ambarukmo Plaza, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam paparannya, Romo Mudji mengatakan sangat jarang Borobudur dibedah dari aspek filsafatnya. Disertasi filsafat Noerhadi yang diselesaikan awal 80-an dan diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Candi Borobudur Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya, masih bisa disebut sebagai satu-satunya buku dari arkeolog Indonesia yang dengan referensi sangat luas mengupas sisi filsafat Borobudur.

Dalam studinya, Noerhadi, lanjut Romo Mudji, secara gemilang bisa memanfaatkan Sang Hyang Kamahayanikan, sebuah naskah keagamaan berbahasa Jawa Kuno dan Sansekerta yang diperkirakan muncul abad 8 M dan membandingkannya dengan filsafat Yogacara dalam pembangunan Borobudur.

Filsafat Yogacara adalah filsafat yang berkembang di Universitas Nalanda di India pada abad 5 Masehi. Universitas Nalanda dikenal memiliki perpustakaan dengan koleksi jutaan manuskrip.

"Dengan pembacaannya, Noerhadi mengingatkan kita tentang adanya hubungan erat d an tukar menukar pemikiran antara Nalanda, Jawa, dan Sumatra zaman Sumatera pada abad 8 M," katanya.

BWCF ke-6 tahun 2017 secara khusus mengangkat tema, Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-Agama Nusantara. Pada hari pertama seminar, Noerhadi Magetsari, Salim Lee, Niken Wirasanti, menjadi pembabar tema Gandawyuha.

Sementara di hari kedua, seminar berfokus kepada Pengalaman Ketuhanan Penghayat dan Religi Nusantara. Dari Kaharingan hingga kebatinan Sumarah mendapat ruang untuk memaparkan pengalamannya.

"Dengan BWCF tahun 2017 kita ini mengajak sekuat tenaga untuk merawat Indonesia dengan membuka khasanah-khasanah para guru terbaik kita, dari semua agama, semua aliran, dengan toleran, pluralis, dan damai," kata kurator BWCF 2017, Seno Joko Suyono. YK/R-1

Libatkan Ragam Disiplin Ilmu

Arkeolog Balai Pelestari Peninggalan Purbakala, Agus Widiatmoko menjabarkan hubungan Situs Muarajambi di Kabupaten Jambi Sumatera Selatan, Situs Nalanda dan Vikramasila di India.

Menurut Agus, proses penciptaan Borobudur, pastilah melibatkan berbagai disiplin keilmuan. Para cendekiawan dan ahli yang terlibat pada masa itu, pasti didukung institusi pendidikan yang kuat. Sebuah institusi pendidikan yang tidak hanya mengajarkan agama, namun juga bidang kelimuan lain yang berkembang pada waktu itu. Oleh karenanya, memperbincangkan mahakarya agung Borobudur tidak akan lengkap tanpa menelusuri keberadaan pusat pendidikan pada kurun waktu millennium pertama hingga puncak kejayaannya.

"Dan situs Muarajambi adalah bagian dari jaringan situs arkeologis dan historis puncak peradaban dunia kala itu. Maka sangat penting untuk terus membuka konteks pengetahuan di situs tersebut, membandingkannya dengan Nalanda dan pusat-pusat keilmuan lainnya di masa yang sama," katanya.

Yang menarik, Agus mencatat bahwa ajaran Budha pada masa Sriwijaya, perkembangannya bukan semata-mata penduduk di Nusantara menjadi penerima pasif namun juga secara aktif membentuk institusi pendidikan yang sama kuat dengan yang ada di India.

"Sriwijaya menjadikan Muarajambi kedudukannya setara dengan pusat pendidikan di Nalanda. Ini yang sebenarnya kita harus kerjakan saat ini bahwa apa yang kita pelajari dari barat musti membuat kita sama kuat dengan barat," kata Agus. YK/R-1

Baca Juga: