Gejolak harga minyak goreng belum ada ujungnya. Mafia yang berada di balik gejolak ini tak kunjung terungkap. Ibarat bunga, layu sebelum berkembang. Bagaimana tidak, pungumuman status tersangka yang rencananya dipublikasikan pada awal pekan lalu nyatanya urung terjadi.

Polri sepertinya berpisah jalan dengan Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi, terkait status tersangka. Padahal, dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi VI DPR RI, Kamis 17 Maret 2022 lalu, Mendag M. Lutfi dengan penuh optimistis menegaskan bahwa pada Senin (21/3), Polri akan mengumumkan nama tersangka mafia minyak goreng.

"Saya diberitahu oleh Pak Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri bahwa hari Senin akan diumumkan nama calon tersangkanya," ungkap Mendag secara lantang di hadapan Anggota Komisi VI DPR RI, pada Kamis (17/3).

Pernyataan Mendag itu setidaknya menjadi pelipur lara. Sebab, publik kadung marah, karena ulah para tersangka itu masyarakat harus mengantre dan berebutan minyak goreng. Ini sudah berlangsung selama berbulan-bulan. Maka begitu Mendag sampaikan bakal ada tersangka publik sangat antusias menunggu.

Mendag juga mengungkapkan adanya tiga modus yang dilakukan para mafia. Pertama, minyak goreng curah subsidi akan dilarikan ke industri menengah ke atas. Kedua, minyak goreng curah dikemas ulang menjadi minyak goreng premium, dan ketiga minyak goreng curah subsidi dilarikan ke luar negeri.

"Pemerintah tidak pernah mengalah apalagi kalah dengan mafia. Saya akan pastikan mereka (mafia) ditangkap dan akan diumumkan pada hari Senin," tukas Lutfi menambahkan.

Keyakinan Mendag juga beralasan, sebab sebelum Raker dengan Komisi VI, dirinya bersama Kapolri Listyo Sigit Prabowo melakukan inspeksi mendadak (sidak) di pabrik minyak goreng. Mendag sampai mangkir dari rapat paripurna di DPR. Saat sidak, Kapolri menegaskan akan mengawal masalah kelangkaan komoditas tersebut.

Namun faktanya, seminggu berselang, nama tersangka tak kunjung diumumkan. Wakil Ketua Satgas Pangan Polri Brigjen Whisnu Hermawan, pada Senin (21/3), mengatakan belum ada status tersangka minyak goreng. "Satgas masih berkonsentrasi pada stok minyak goreng curah di pasar pasar tradisional," ucap Whisnu.

Pernyataan Wisnu diperkuat oleh Kepala Satgas Pangan Polri Irjen Helmy Santika dua hari berselang. "Sejauh ini belum ditemukan mafia minyak goreng," katanya.

Helmy mengatakan mafia lebih dikonotasikan sebagai persekongkolan besar yang masif dan terstruktur yang melibatkan banyak pihak. Di lapangan itu tidak ditemukan, yang ditemukan cuma pedagang dadakan, reseller, dan pelaku usaha yang tak patuh.

Pasar Oligopoli

Mengutip pernyataan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, dalam laman Dhi's Way-nya, mafia itu seperti belut, sangat licin. Minyak goreng itu licin. Mendag sedang berjuang menangkap belut berminyak.

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, menegaskan mafia memang sulit terungkap karena dekat dengan kekuasaan. Mereka tak tersentuh aparat penegak hukum karena kuatnya pengaruh mereka di lingkaran kekuasaan.

Karena itu, kata Esther, selama pasar masih dikuasai segelintir pengusaha, apa pun kebijakan pemerintah terkait minyak tak akan efektif. Mafia itu juga tidak bisa dijerat secara pidana.

Padahal untuk menurunkan harga sebenarnya bisa dilakukan. Caranya, pasokan minyak goreng di pasar harus selalu terjaga, tidak boleh tersendat.

Perbedaan harga crude palm oil (CPO) di luar dan di Indonesia relatif besar. Ini membuat orang lebih baik mengekspor CPO dibanding mengolahnya jadi minyak goreng. "Selama ada 'samurai-samurai' yang terafiliasi dengan elite politik, industri produsen minyak goreng maka struktur pasar industrinya akan tetap oligopoli. Harga pun akan lebih mudah diatur oleh para 'samurai' itu," tegasnya.

Esther menegaskan, sepertinya tidak mudah bagi penyelenggara negara untuk menindak tegas pelaku usaha nakal karena mereka dekat dengan policy makers.

Struktur pasar di bisnis minyak goreng yang timpang ini sudah terjadi sejak dahulu, akan tetapi tidak ada perubahan. Struktur pasar tetap oligopoli sampai sekarang. "Saya dapat info dari dalam, sulit ditindak. Saking lengketnya dengan pemegang kekuasaan," tukas Esther.

Terkait potensi sanksi administrasi oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena adanya praktik kartel, menurut Esther, itu tetap juga sulit. Ia beralasan praktik oligopoli memang melanggar, tetapi kalau oligopoli alami tidak bisa dikenakan sanksi.

Baca Juga: