Presiden Venezuela yang disokong Partai Sosialis, Nicolas Maduro, mengklaim kemenangan atas pelaksaan referendum. Kemenangan ini telah memberikan wewenang Maduro untuk membubarkan institusi-institusi negara yang dikuasai oposisi.

CARACAS - Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, pada Senin (31/7) mengklaim kemenangan atas pelaksanaan referendum bagi menentukan Dewan Konstitusi, sebuah lembaga legislatif "superbody" yang bakal memberikan partai penguasa, Partai Sosialis, untuk memegang kekuasaan. Dalam pernyataan kemenangannya itu, Presiden Maduro juga mengejek kritikan dari Amerika Serikat (AS) yang menyebut bahwa pelaksanaan referendum di Venezuela telah melawan demokrasi.

"AS menyatakan tak akan mengakui hasil referendum Venezuela untuk menentukan Dewan Konstitusi. Apa kita harus peduli dengan pernyataan AS itu? Yang kita pedulikan hanya kedaulatan dari warga Venezuela," kata Presiden Maduro di hadapan para pendukungnya.

Diklaim oleh otoritas pelaksanaan pemilihan umum bahwa referendum yang digelar Minggu (30/7) telah diikuti oleh lebih dari 8 juta rakyat Venezuela. Sementara pihak oposisi menyebut referendum itu hanya diikuti oleh 2,5 juta rakyat Venezuela saja.

Diklaim pula bahwa Partai Sosialis memenangkan semua kursi di Dewan Konstitusi yang baru dan berjumlah 545 kursi. Dengan mayoritas mutlak itu telah memberikan kuasa untuk membubarkan institusi-institusi negara yang dikuasai oposisi dan mereka memiliki kekuasaan untuk mendepak para pejabat negara yang membangkang.

AS mengecam pelaksanaan referendum Venezuela karena akan menulis ulang konstitusi bagi pemegang tampuk kekuasaan. "Referendum itu sebuah tipuan," kata Washington DC. AS yang merupakan negara pasar utama ekspor minyak itu kemudian mnyatakan sedang mempersiapkan sanksi terkait sektor perminyakan dari Venezuela.

"AS berdiri bersama masyarakat Venezuela dan wakil-wakil konstitusi mereka, mendukung tuntutan mereka untuk memulihkan negara menjadi sebuah negara yang makmur dan berdemokrasi," demikian bunyi keterangan Kementerian Luar Negeri AS, Minggu (30/7).

Dalam keterangan tambahan dikatakan bahwa AS berkomitmen untuk tetap mengambil langkah-langkah tegas dan cepat dalam menghadapi otoritarianisme di Venezuela.

Kecaman atas pelaksanaan referendum selain muncul dari negara Eropa dan Uni Eropa, juga datang dari negara-negara Amerika Latin, mulai dari Argentina hingga Meksiko, yang biasanya berseberangan dengan AS.

Pertumpahan Darah

Selain itu Kementerian Luar Negeri AS juga mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan oleh otoritas Venezuela dalam menghadapi para demonstran dan mendesak kepada negara-negara di kawasan dan seluruh dunia, agar menahan mereka yang telah merusak demokrasi, hak asasi manusia, penindasan, dan mereka yang harus bertanggung jawab atas aksi kekerasan atau tersangkut dengan praktik-praktik korupsi.

Otoritas berwenang di Venezuela menyebut 10 tewas dalam sejumlah aksi unjuk rasa saat pelaksanaan referendum. Unjuk rasa itu tercatat sebagai salah satu aksi protes paling mematikan sejak gelombang demonstrasi menentang pemerintah Venezuela meletup pada awal April 2017.

Selain terjadi unjuk rasa, dikabarkan pula sebuah bom meledak di Ibu Kota Caracas dan ledakan itu telah melukai 7 aparat kepolisian. Selama 4 bulan aksi unjuk rasa yang dipimpin kubu oposisi, jumlah korban tewas telah lebih dari 120 orang.

Sementara itu menyikapi klaim kemenangan Presiden Maduro, para pemimpin oposisi menyatakan bahwa referendum itu sebuah langkah penipuan dan menyerukan agar para penyokong oposisi meneruskan aksi protes.

"(Pembentukan) Dewan Konstitusi tak bisa memecahkan segala masalah-masalah di negeri ini dan itu berarti hanya akan menambah parah krisis," kata pemimpin oposisi, Henrique Capriles. "Mulai esok, sebuah perjuangan yang baru akan dimulai," pungkas dia.uci/Rtr/I-1

Baca Juga: