» Rasio utang tahun ini diperkirakan meningkat lagi menjadi 41,05 persen terhadap PDB.

» Stimulus AS, jelasnya, sangat mempengaruhi pola perilaku investor di negara berkembang.

JAKARTA - Pemerintah memandang perlu mewaspadai risiko fiskal ke depan sebagai konsekuensi dari respons terhadap pandemi Covid-19. Risiko fiskal yang perlu diwaspadai adalah meningkatnya rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan potensi gejolak di pasar keuangan saat bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve mengetatkan kembali kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga.

Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Wahyu Utomo, dalam webinar bertajuk "Menjaga Optimisme Pemulihan Ekonomi" di Jakarta, Rabu (28/4), mengatakan saat pandemi respons kebijakan fiskal adalah memperlebar defisit anggaran lebih dari 3 persen dari PDB karena pendapatan menurun tajam.

Hal itu mengakibatkan utang pemerintah meningkat signifikan. Jika pada 2019, rasio utang terhadap PDB 30,2 persen, maka pada 2020 meningkat menjadi 38,7 persen dan pada tahun ini diperkirakan meningkat lagi menjadi 41,05 persen terhadap PDB.

"Melihat hal itu, reformasi dan konsolidasi fiskal harus dilakukan untuk memitigasi risiko fiskal ke depan," kata Wahyu.

Sementara rekannnya, Analis Kebijakan Ahli Muda BKF, Anggi Novianti, dalam kesempatan yang sama mengatakan pemulihan ekonomi Indonesia harus lebih cepat dari negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Hal itu untuk mengantisipasi fenomena tapper tantrum yang mana investor negara maju menarik diri dari RI untuk mengejar imbal hasil treasury yang lebih tinggi dan aman. Taper tantrum sendiri merupakan gejolak di pasar keuangan ketika bank sentral mulai mengetatkan kebijakan.

Stimulus AS, jelasnya, sangat mempengaruhi pola perilaku investor di negara berkembang. Setelah AS mengeluarkan kebijakan moneter yang super-akomodatif, biasanya setelah itu negara ekonomi terbesar dunia itu akan melakukan normalisasi.

"Kendatipun AS mengatakan baru akan melakukan normalisasi pada 2022 atau 2023, namun para pelaku pasar justru membaca lain. Bisa saja, itu dilakukan lebih cepat yang mempengaruhi aliran modal asing di RI. Itulah yang perlu kita antisipasi, makanya pemulihan RI harus lebih cepat," kata Anggi.

Semakin Terbatas

Menanggapi risiko fiskal ke depan, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan peningkatan rasio utang membuat ruang fiskal Indonesia semakin terbatas.

"Ada tiga konsekuensi yang harus ditanggung Indonesia dengan peningkatan rasio utang ini, pertama cicilan utang akan meningkat tiap tahun," kata Esther.

Kedua, negara berutang dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga beberapa generasi mendatang masih akan menanggung utang tersebut. Terakhir, ruang gerak fiskal pemerintah terbatas karena belanja pemerintah untuk membiayai pembangunan semakin berkurang.

"Manajemen utang harus dibenahi, utang semestinya untuk program produktif, bukan yang konsumtif," tegas Esther.

Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Brawijaya, Candra Fajri Ananda, mengatakan kondisi saat ini sangat berat bagi perekonomian nasional mengingat pemerintah perlu menjaga kesehatan masyarakat sekaligus menahan agar ekonomi tetap berjalan seperti yang diharapkan.

"Hampir seluruh dunia saat ini, anggaran belanjanya lebih besar daripada biasanya mengingat belanja melawan Covid tidak semakin mengecil bahkan terjadi mutasi virus. Demikian juga untuk membeli vaksin semakin tidak mudah, mengingat produsen vaksin pun mengalami second wave yang memaksa mereka tidak mengekspor. Dalam posisi seperti itu, penerimaan pajak pun menunjukkan penurunan mengindikasikan banyaknya aktivitas ekonomi yang melemah," kata Candra.

Direktur Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia, Winfried Wicklein, mengatakan pengeluaran rumah tangga di Indonesia diperkirakan meningkat pada 2021 seiring melajunya program vaksinasi dan makin banyak sektor perekonomian yang kembali beroperasi.

Beberapa risiko yang perlu diwaspadai adalah terganggunya pemulihan global oleh mutasi Covid-19, laju vaksinasi yang tidak merata di dunia, dan pengetatan keuangan global yang tidak terduga.

Sementara di dalam negeri, pemulihan ekonomi dapat melambat bila terjadi lonjakan kasus Covid-19 selama bulan Ramadan, keterlambatan vaksinasi, dan melemahnya pendapatan pemerintah. n ers/SB/E-9

Baca Juga: