JAKARTA - Lonjakan utang hampir semua negara di Asia Pasifik berpotensi memicu krisis yang lebih besar dari saat ini yang merupakan dampak pandemi Covid-19. Apalagi kalau utang untuk penanganan Covid-19 dan membiayai pemulihan ekonomi itu tidak digunakan untuk kegiatan produktif.

Demikian kesimpulan pendapat Vice President Knowledge Management and Sustainable Development Bank Pembangunan Asia (ADB), Bambang Susantono, Pakar Ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, dan Pakar Ekonomi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, dalam kesempatan terpisah.

Bambang dalam sebuah webinar bertajuk "Great Reset and Future Prospects" mengaku khawatir dengan tingkat utang yang begitu besar akibat pandemi Covid-19 di berbagai negara, khususnya di Asia Pasifik.

"To be honest, apa pun modelnya, kita melihat kemungkinan suatu krisis yang lebih besar tetap ada," kata Bambang seperti dikutip dari Antara.

Bambang, yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Perhubungan itu, mengatakan banyak negara yang memiliki rasio utang meningkat sejak pandemi Covid-19. Mereka membutuhkan pembiayaan untuk penanganan kesehatan dan ekonomi. "Apa yang terjadi di negara Asia Pasifik dengan adanya Covid-19, mereka harus mengalokasikan kebijakan dan dana lebih ke sektor kesehatan dan income support," kata Bambang.

Untuk perekonomian Indonesia, dia yakin akan pulih seperti di berbagai negara, meskipun tidak akan berlangsung cepat seperti pola huruf V atau V shape recovery. Sebab, pandemi Covid-19, papar Bambang, telah memukul ekonomi global sehingga konsumsi, investasi, dan ekspor serta impor turun. "Satu-satunya sektor yang masih bisa memberikan sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi adalah dukungan belanja pemerintah," katanya.

Ia pun berharap pengalaman sejumlah negara yang berhasil melewati krisis Asia dan krisis global di masa lalu mampu menggerakkan perekonomian agar pulih kembali.

Penyelesaian Multilateral

Sementara itu, Leo Herlambang dari UISI, mengatakan potensi krisis lebih luas bisa terjadi jika utang tidak dikelola dengan benar. "Semua negara memang menambah utangnya karena tidak mungkin mengharapkan dari pajak. Makanya, utang itu harus digunakan untuk menyembuhkan, bukan sesuatu yang tidak produktif, jangan yang bersifat konsumtif," katanya.

Di kesempatan lain, Yohanes B. Suhartoko mengatakan meningkatnya rasio utang negara-negara di Asia Pasifik bisa berdampak krisis ke depan kalau pelaksanaan vaksinasi tidak efektif menurunkan penyebaran pandemi sehingga negara tetap membutuhkan dana besar.

"Penyebab lainnya, jika pemulihan ekonomi berlangsung lambat dan tidak ada mekanisme penyelesaian utang secara multilateral," kata Suhartoko. n SB/ers/E-9

Baca Juga: