oleh mohammad sholihul wafi

Merebaknya pemberitaan palsu (hoax) melalui jejaring media sosial sudah mengkhawatirkan, bahkan mulai mengancam keutuhan bangsa. Kebebasan akses tanpa batas sebagai konsekuensi kemajuan TIK, tampaknya memang tidak hanya membawa dampak positif berupa semangat konektivitas, tetapi juga membawa dampak tumbuh suburnya kasus-kasus penyebaran berita hoaks.

Menurut Kamus Merriam Webster, hoax adalah (1) sebuah perbuatan yang bertujuan mengelabui atau membohongi, dan (2) menjadikan sesuatu sebagai kebenaran umum melalui fabrikasi dan kebohongan yang disengaja. Celakanya, berbagai berita hoaks disajikan lebih mengedepankan hasutan, kebencian, dan kebohongan publik, tanpa merujuk pada data dan realitas sebenarnya.

Apalagi dalam momentum tahun politik, narasi hoaks semakin penuh sesak memadati beranda media sosial. Dalam upaya menjatuhkan lawan, berita hoaks disebar di beragam platform media sosial. Pada kasus ini, para penyebar informasi hoaks barangkali mempercayai ungkapan Paul Joseph Goebbels, menteri propaganda era Nazi. Katanya, "A lie told once remains a lie but a lie told a thousand times becomes truth (berita palsu -fake news yang dikirim dan dikonsumsi oleh publik secara berulang-ulang, suatu saat dapat dipercaya sebagai kebenaran)."

Maka, tak heran Kominfo merilis terdapat 1.645 konten hoaks terkait Pemilu 2019 yang dibuat dan disebar sejak Agustus 2018 hingga 25 April 2019. Kejelian publik dalam memilah rimba informasi dunia maya sangat dibutuhkan agar tidak terjebak pada informasi hoaks. Ketika satu orang termakan hoaks -tanpa sadar- lalu menyebarkan akan membawa korban lain lebih banyak.

Tidak dapat dimungkiri, kehadiran era digital telah menggerus karakter good and smart. Kemajuan fitur aplikasi dalam TIK dan gaya komunikasi baru yang relatif lebih mudah melalui medsos, membuat seseorang terbiasa menjalani hidup serba-instan. Hanya bermodal kuota internet dan smartphone, orang bisa berselancar di dunia maya, menjelajahi beragam berita.

Di satu sisi, itu merupakan capaian besar dalam kehidupan manusia. Di sisi lain, disrupsi informasi harus dihadapi dan memaksa mereka terjebak dengan narasi hoaks yang berpotensi memicu perpecahan. Mudah percaya pada informasi akan menjerumuskan pengguna internet pada jurang kehancuran.

Gelombang hoaks karena rendahnya tingkat literasi berita pengguna media sosial. Mereka merupakan salah kelompok masyarakat yang berkembang tanpa melewati tahapan literasi. Menurut Fisher (1993), literasi merupakan kegiatan membaca, berpikir, dan menulis. Masyarakat yang tingkat literasinya rendah tempat perkembangan berita-berita hoax.

Penelitian The World's Most Literate Nations (WMLN) tentang tingkat literasi dunia 2016 menempatkan Indonesia pada urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia berada satu tingkat di atas Botswana, negara kecil di Benua Afrika berpenduduk 2,1 juta jiwa.

Meskipun tingkat literasi rendah, masyarakat Indonesia tergolong cerewet di medsos. Semua dikomentari, terlepas paham atau tidak atas duduk perkara sebuah permasalahan. Tak heran, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada tahun 2017 menemukan 17,2 persen dari 1.116 responden menerima berita hoaks lebih dari sekali sehari.

Hal ini juga turut membuktikan bahwa masyarakat masih belum mampu memilah informasi hoaks. Tentu, hal tersebut menjadi keprihatinan bersama karena berawal dari hoaks, amat mudah bagi jalinan persaudaraan sebuah komunitas tercerai-berai. Hoaks juga bisa memicu aksi-aksi terorisme yang dapat membahayakan keutuhan sebuah bangsa.

Dibekali

Di era disrupsi informasi seperti sekarang, di mana semua berubah dengan cepat, publik harus dibekali kemampuan literasi digital. Karenanya, pendidikan literasi digital harus digalakkan sejak anak-anak guna menanamkan karakter positif penggunaan TIK.

Literasi digital menjadi sarana tepat mencegah budaya instan dalam mengonsumsi informasi yang menyebabkan banyak masyarakat terjebak dalam berita hoaks. Melalui edukasi literasi digital, tradisi membaca di dunia maya akan terbangun, sehingga mampu memilih informasi yang tepat. Mereka dapat melahirkan informasi yang bersifat membangun, bukan memukul dan menghancurkan.

Kurniawati dan Baroroh (2012) menyebutkan, literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi. Ini untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi. Selain itu, juga buat membangun pengetahuan baru dan berkomunikasi agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.

Literasi digital memungkinkan para pengguna internet menjadi masyarakat cerdas media dengan cara terbiasa mengumpulkan informasi dan mengelolanya secara efektif. Melalui pembiasaan mengasah keterampilan literasi digital, mereka juga dapat belajar cara memiliki kematangan emosi dan karakter damai. Dengan begitu, tidak terhasut informasi fitnah berisi ujaran kebencian.

Mereka dapat dengan sendirinya mengelola informasi yang didapatkan. Namun tidak mentah menerima hoaks, sehingga bisa membangun pengetahuan baru yang lebih efektif. Selanjutnya mampu memberikan kontribusi bagi perdamaian dan persatuan bangsa, bila turut memberi klarifikasi informasi di dunia maya.

Dengan pendidikan literasi digital, sikap kritis akan lahir, diiringi pemahaman pentingnya perilaku bersatu dalam masyarakat. Hal tersebut tentu akan memupuk sikap toleran dan tidak antikeberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebab melalui literasi digital, warga terbiasa menemukan beragam perbedaan pendapat dari bacaan. Maka, terbangunlah pemahaman, toleransi bermanfaat untuk menyuburkan pengetahuan dan perdamaian. Sementara itu, intoleransi menumbuhkan permusuhan.

Sebab mereka mampu mengonstruksi hal yang baik dan buruk dalam pikiran. Perilaku seperti ini tentu saja sangat dibutuhkan untuk menghindarkan tindakan yang merusak perdamaian seperti penyebaran berita hoaks sekarang ini. Penulis Pengajar Ponpes Shiratul Fuqaha Kudus

Baca Juga: