LIPI sangat terbuka untuk kolaborasi antara riset dan industri. Pengembangan riset ilmu pengetahuan dan teknologi semakin didorong untuk menjawab permasalahan konkret di masyarakat. Dunia industri memiliki peran penting dalam hilirisasi atau distribusi hasil-hasil riset serta inovasi kepada masyarakat.

Tahun 2020 akan segera berakhir. Selama tahun ini dunia mengalami peristiwa yang tak terduga. Pandemi Covid-19 membuat tahun 2020 terasa cepat. Aktivitas masyarakat mengalami penyesuaian dan pembatasan.

Di tengah keterbatasan tersebut ada segelintir masyarakat yang terus beraktivitas untuk menjawab tantangan Pandemi Covid-19. Segelintir masyarakat tersebut adalah para peneliti atau ilmuwan. Mereka, sebagaimana para dokter dan tenaga kesehatan, memegang andil besar untuk mengurangi dampak Pandemi Covid-19.

Covid-19 sendiri, bukan hanya masalah kesehatan. Terdapat dampak lain yang menyertai yaitu krisis ekonomi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia juga terkendala dengan terbatasnya akses pendidikan. Para peneliti, dalam keterbatasannya, tengah berupaya membuat vaksin sebagai salah satu solusi mengakhiri pandemi Covid-19.

Para peneliti memegang andil untuk melahirkan hasil-hasil penelitian sebagai bahan kebijakan pemerintah, tak terkecuali di Indonesia. Untuk mengetahui kondisi penelitian di Tanah Air, wartawan Koran Jakarta, Muhamad Ma'rup, mewawancarai Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Laksana Tri Handoko, dalam beberapa kesempatan. Berikut petikan wawancaranya.

Sebagai Kepala LIPI, bagaimana Anda memastikan para peneliti di LIPI tetap beraktivitas saat pandemi?

Sejak 2019 sebelum pandemi, LIPI telah mengimplementasikan flexible space dan flexible time, artinya semua pegawai dapat melakukan pekerjaan sesuai tugasnya dengan pengaturan waktu kerja fleksibel selama memenuhi total jam kerja yang ditetapkan. Sejak awal pandemi, kami hanya menambah ketentuan yang berkantor secara fisik maksimal 20 persen. Semua kawasan LIPI di berbagai kota juga bisa menjadi co-working space juga sudah mengimplementasikan absensi digital melalui smartphone.

Selain aktivitas rutin, LIPI juga berpartisipasi dalam pemeriksaan Covid-19. LIPI memiliki Laboratorium Biosafety Level-3 (BSL-3) yang mungkin terbesar di Indonesia dan berlokasi di Cibinong Science Center, Cibinong. BSL-3 LIPI menjadi salah satu laboratorium pemeriksa Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) SARS-CoV2 atau Covid-19. Fasilitas Laboratorium BSL-3 LIPI memiliki infrastruktur yang lengkap. Lab ini juga telah tersertifikasi sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak tahun 2018 oleh World BioHaz Tec Pte Ltd. yang diperbarui setiap tahun.

LIPI juga terlibat di konsorsium riset Covid- 19 Nasional untuk pengembangan vaksin dan obat. Saat ini, LIPI juga telah dan terus melakukan berbagai penelitian tentang Covid-19, termasuk penelitian aspek sosial ekonomi seperti pengaruh Covid-19 terhadap makroekonomi dan mikroekonomi, persepsi dan perilaku masyarakat terkait Covid-19 serta analisis dampak sosial, dan lain-lain.

LIPI juga jadi salah satu lembaga pengembangan vaksin dalam negeri. Proses pengembangannya sudah sejauh mana?

LIPI bekerja sama dengan berbagai pihak, yaitu Lembaga Eijkman, Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Padjajaran untuk mengembangkan vaksin Merah Putih. Masing-masing lembaga mengembangkan dengan metode yang berbeda karena pendekatan pembuatan vaksin itu macam-macam. Ada vaksin yang berasal dari virus yang dilemahkan, kemudian dimasukkan ke tubuh dengan harapan tubuh menghasilkan reaksi yang menimbulkan antibodi. Ada juga yang mengambil sebagian protein yang relevan untuk merangsang reaksi pembentukan antibodi dengan harapan potensi efek sampingannya lebih kecil. Untuk kami di LIPI memilih pengembangan vaksin dengan platform protein recombinant.

Ada segelintir masyarakat menolak vaksinasi sebab menilai vaksin tidak aman. Bagaimana tanggapan Anda?

Sejujurnya, kalau kami dari kalangan riset/akademisi, kita juga tidak bisa bilang bahwa vaksin 100 persen tanpa efek sampingan, karena tubuh manusia itu kompleks, berbeda-beda. Itu sebabnya, meskipun sudah ada uji praklinis, uji klinis fase I, fase II, fase III, masih harus dilakukan pengamatan pascapemberian vaksin secara massal, sampai kurun waktu 5 sampai 10 tahun.

Sudah banyak vaksin yang sudah diaplikasikan massal, akhirnya ditarik kembali karena belakangan diketahui menimbulkan efek samping jangka panjang. Jadi, memang kita harus menyadari bahwa semua obat itu ada efek sampingannya. Kehawatiran itu wajar, tetapi kita tidak perlu terlalu berlebihan. Dalam hidup selalu ada resiko. Setiap produk pasti ada efek positif dan negatifnya.

Lalu, bagaimana peneliti memastikan vaksin ini aman?

Pengembangan vaksin membutuhkan waktu cukup lama, mulai dari pengembangan bibit vaksin, tahap uji in-vivo di lab, uji praklinis ke hewan, dan setelah itu tiga fase uji ke manusia untuk memastikan khasiat dan keamanannya.

Kalau vaksin khususnya, setelah selesai fase III, dinyatakan oke sekalipun, sudah diimplementasikan ke masyarakat sekalipun masih harus dipantau. 5 - 10 tahun, karena efek sampingannya tidak selalu muncul langsung.

Itu sebabnya pengembangan vaksin bisa 10 tahun, dan bahkan 15 tahun atau lebih. Namun, untuk kondisi pandemi saat ini, kita mengenal emergency use approval/ izin pemakaian untuk darurat dan tidak bisa menunggu 10 tahun.

Pemerintah sudah mengimpor vaksin dari luar negeri. Lalu, bagaimana dengan vaksin Merah Putih yang saat ini masih dalam pengembangan?

Intinya, kita harus mencoba semuanya, karena kita tidak tahu mana yang paling bagus nanti. Tentu kita mencoba untuk mengembangkan sendiri. Karena yang diimpor dari luar pun kita belum tahu apakah akan berhasil atau tidak.

Selain vaksin, apalagi hasil penelitian yang berdampak langsung dalam penanganan Covid-19?

LIPI telah uji klinis produk herbal untuk penanganan pasien Covid-19 dengan gejala ringan sebagai imunomodulator berbasis herbal lokal. Produk yang telah diujikan ada dua formula yaitu cordyceps, sejenis jamur yang berasal dari Himalaya tetapi sudah di budidayakan di Indonesia; dan campuran rimpang jahe, sambiloto, meniran, dan lainnya.

Untuk uji klinis imunomodulator herbal ini, LIPI sudah menyelesaikannya pada 16 Agustus 2020 di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet. Kami berharap hasilnya akan keluar kemungkinan akhir bulan ini dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), karena Badan POM adalah otoritas untuk melakukan asesmen terkait hasil itu. Tentunya setelah keluar assessment dari BPOM bisa dipasarkan langsung ke masyarakat.

Selain vaksin, aktivitas masyarkat saat ini identik dengan adaptasi kebiasaan baru. Bagaimana LIPI merespons perubahan ini?

Vaksin belum akan tersedia setidaknya sampai dengan 2021. Program imunisasi akan memerlukan waktu cukup lama lebih kurang dua tahun berikutnya untuk seluruh populasi. Sementara kehidupan harus terus berjalan. Sampai vaksin ditemukan dan imunisasi massal dilakukan masyarakat harus beradaptasi dengan Covid-19 melalui mitigasi yang terkontrol dan terukur berbasis data.

Pada masa awal pandemi, LIPI telah membuat enam rekomendasi untuk hidup beradaptasi dengan Covid-19. Salah satu rekomendasinya pembentukan Tim Pakar untuk setiap sektor untuk evaluasi dan pemberian rekomendasi teknis lebih lanjut secara berkala.

Tim Pakar terdiri dari praktisi dan ilmuwan di sektor terkait dan ahli epidemiologi. Sehingga rekomendasinya berbasis data dan perkembangan sains terkini dengan didukung rekayasa teknologi dalam implementasinya.

Di luar Pandemi Covid-19, bagaimana Anda mendorong kegiatan riset di LIPI terutama yang berbasis kolaborasi?

LIPI mendorong kemitraan di sektor riset dan inovasi secara alami. Adapun kemitraan ini dilakukan LIPI dengan menjalin kerja sama-kerja sama baik dalam konteks riset antarpeneliti maupun dengan industri dalam rangka komersialisasi.

Kemitraan riset yang alami tidak menekankan pada pembagian anggaran dana, tapi pada kekuatan sumber daya manusia serta infrastruktur yang dimiliki. Kemitraan tersebut terjalin berdasarkan kesamaan dan simbiosis mutualisme yang saling melengkapi sehingga kemitraan dapat berlangsung lama. Dengan begitu, kolaborasi akan lebih langgeng dan alami, serta tidak hanya berbasis proyek.

Dengan begitu, apakah LIPI terbuka dalam bekerja sama dalam program riset?

LIPI sebagai lembaga penelitian selalu terbuka untuk bekerja sama dengan semua pihak baik dalam konteks pengembangan SDM maupun komersialisasi produk riset dan inovasi. Kehadiran LIPI memiliki peran yang jelas dalam ekosistem riset sebagai lembaga besar yang memiliki SDM peneliti dan infrastruktur yang lengkap.

Keterbukaan LIPI tidak hanya dari segi kemitraan, tapi juga memfasilitasi riset bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Sudah selayaknya fasilitas riset di lembaga penelitian terutama LIPI harus bisa diakses secara luas. Lembaga harus terbuka sehingga infrastruktur yang ada di lembaga bisa dipakai teman kampus atau lembaga riset lain. Jadi tidak hanya oleh LIPI saja.

Bagaimana LIPI merespons kolaborasi dengan industri?

Saat ini, kolaborasi antara riset dan industri menjadi kebutuhan yang sangat signifikan. Pengembangan riset ilmu pengetahuan dan teknologi kian didorong untuk menjawab permasalahan konkret di masyarakat. Sementara itu, dunia industri memiliki peran penting dalam hilirisasi atau distribusi hasil-hasil riset dan inovasi tersebut kepada masyarakat luas.

Sebagai lembaga riset terbesar di Indonesia, LIPI terus berupaya meningkatkan kegiatan penelitian yang dapat menghasilkan inovasi untuk memperkuat daya saing industri nasional, pertumbuhan ekonomi, serta menjawab kebutuhan masyarakat. Hasil-hasil riset dan inovasi pun diarahkan untuk dapat secara langsung menyentuh kebutuhan tersebut. LIPI selalu terbuka untuk kolaborasi dengan dunia industri baik dalam bentuk kolaborasi riset maupun penggunaan sarana dan prasarana infrastruktur riset. Infrastruktur riset LIPI dapat diakses melalui satu platform terbuka yaitu e-Layanan Sains LIPI (www.elsa.lipi.go.id) dengan regulasi yang telah ditentukan.

Indonesia juga memiliki masalah dari segi sosial. Bagaimana menurut Anda penelitian menjawab masalah tersebut?

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Tidak mudah mengelola harmoni sosial dan kemajemukan dengan lebih dari 300 etnik atau suku bangsa dengan berbagai konflik sosial. Telaah kritis sangat penting sebagai upaya kita untuk terus memelihara harmoni di tengah kebinekaan yang semakin kompleks, khususnya di era digital saat ini.

Era digital memberikan berbagai kemudahan dan peluang baru, tetapi di sisi lain menimbulkan tantangan baru dalam upaya memelihara harmoni akibat disparitas dan banjir informasi. Memelihara dan merawat kemajemukan menjadi keniscayaan sekaligus menjadi isu utama dalam kehidupan bernegara. Untuk itu, perlu ada juga solusi terbaik melalui riset di bidangnya masing-masing untuk memberikan sumbangsih ilmiah dalam bentuk rekomendasi kebijakan yang konkrit untuk memelihara dan merawat kebhinekaan kita.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan biodiversitas. Bagaimana LIPI memanfaatkan sumber daya ini untuk memenuhi kebutuhan masyarakat?

Membahas tentang biodiversitas tidak hanya tentang spesies flora dan fauna, namun banyak hal penting yang terkait. Biodiversitas meliputi spesies, genetik dan ekosistem. Jika dikaitkan dengan pemanfaatannya banyak hal yang telah diaplikasikan LIPI, di antaranya genom, bioremediasi, bioprospeksi, bioenergi, biocompound, biomaterial, dan lainnya yang telah menjadi fokus penelitian dari berbagai pusat penelitian di LIPI.

Penelitian yang telah dilakukan LIPI meliputi riset biodiversitas lokal dan non-biodiversitas serta pemanfaatannya. Hal ini meliputi upaya konservasi eks situ melalui kebun raya, melakukan penyimpanan dan koleksi spesimen fisik, data digital, molekuler, pemanfaatan berbagai teknologi riset untuk meningkatkan nilai ekonomi sehingga membawa implikasi ekonomi dan eduwisata bagi masyarakat.

Hal penting yang saat ini dilakukan LIPI adalah mengelola data secara layak melalui Repositori Ilmiah Nasional (RIN). Tahun depan akan dimulai Eksporasi Widya Nusantara. Dalam setahun akan banyak ekspedisi yang dilakukan termasuk dengan menggunakan kapal riset untuk mengantisipasi Covid-19.

Ke depan, upaya peningkatan apa yang akan LIPI lakukan sebagai lembaga penelitian?

LIPI akan terus berupaya dan berkomitmen memperkuat fungsi dan kinerja dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa kemanfaatan bagi masyarakat luas. LIPI pun mendorong seluruh SDM Iptek LIPI dapat terus meningkatkan kapasitas sesuai kompetensi agar dapat memberikan kontribusi yang maksimal dalam pengembangan iptek di Indonesia.

Saya dorong sivitas LIPI untuk memanfaatkan semua kesempatan yang ada, memperkaya informasi, mencari unit dan kelompok penelitian yang sesuai kompetensi, juga untuk melakukan kolaborasi baik internal maupun eksternal.

Para pimpinan di LIPI harus proaktif, berinisiatif, dan kreatif sebagai lini terdepan di tengah tingginya dinamika dan kompetisi global. Pimpinan di semua level harus proaktif mencari tahu, pandai mencari solusi, mampu bergerak cepat serta patuh pada regulasi, otoritas dan hierarki tanpa harus menjadi apatis.

Riwayat Hidup*

Nama: Dr. Laksana Tri Handoko, M.Sc

Tempat, tanggal lahir: Malang, Jawa Timur, 7 Mei 1968

Pendidikan:

  • Sarjana Fisika di Universitas Kumamoto, Jepang (1993)
  • Master Fisika Teori di Universitas Hiroshima, Jepang (1995)
  • Doktor Ilmu Fisika di Universitas Hiroshima, Jepang (1998)

Karier:

  • Peneliti di Pusat Penelitian Fisika (sejak 1987)
  • Dosen di IPB dan UI (2002-sekarang)
  • Kepala Grup Fisika Teori dan Komputasi Pusat Penelitian Fisika (2002-2012)
  • Kepala Pusat Penelitian Informatika LIPI (2012-2014)
  • Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan LIPI (2014-2018)
  • Kepala LIPI (2018-sekarang)

Penghargaan:

  • B.J. Habibie Award (2004)
  • Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa (2009)
  • Penemuan Baru yang Bermanfaat bagi Negara (2010)

*BERBAGAI SUMBER/LITBANG KORAN JAKARTA/AND

S-2

Baca Juga: