SURABAYA - Baru-baru ini, sebanyak 57
pengungsi etnis Rohingya dalam kondisi kelaparan dan lemah tiba di pantai Indrapatra di Ladong, sebuah desa nelayan di kabupaten Aceh Besar.

Kedatangan para pengungsi pada Minggu (25/12) itu menandai peringatan kelima penumpasan militer yang menurut PBB dilakukan dengan 'niat genosida'.

Dilansir oleh Aljazeera, militer Myanmar pada 2017, melancarkan tindakan keras terhadap kaum Rohingya, mendorong lebih dari 740.000 orang melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh.

Berikut adalah tanggal-tanggal penting dalam krisis lima tahun ini.

Operasi militer

Pada 25 Agustus 2017, sebuah kelompok bersenjata bayangan Rohingya, yang disebut Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), melancarkan serangan terkoordinasi terhadap puluhan pos polisi di negara bagian pesisir Rakhine Myanmar, menewaskan sedikitnya selusin petugas.

Militer negara itu membalas dengan operasi di desa Rohingya, seolah-olah untuk mengusir anggota ARSA. Dikatakan telah menewaskan 400 pejuang bersenjata, tetapi para kritikus mengatakan sebagian besar yang tewas adalah warga sipil. PBB mengatakan sedikitnya 1.000 orang tewas dalam dua minggu pertama operasi militer.

Eksodus pengungsi

Pada 5 September 2017, lebih dari 120.000 orang Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh, membanjiri kamp-kamp pengungsi yang tidak kurang layak. Sudah ada setidaknya 200.000 Rohingya di Bangladesh dari gelombang kekerasan sebelumnya.

Aung San Suu Kyi memecah keheningan

Kemarahan internasional meningkat terhadap Myanmar. Militer dituduh menghancurkan rumah Rohingya dan beberapa pemimpin dunia menuduh "pembersihan etnis".

Dalam pernyataan pertamanya tentang krisis tersebut, pemimpin sipil Myanmar dan peraih Nobel Aung San Suu Kyi pada 19 September 2017 berjanji untuk meminta pertanggungjawaban para pelanggar tetapi menolak untuk menyalahkan tentara.

Kemungkinan 'genosida'

Bangladesh dan Myanmar pada 23 November 2017 sepakat untuk mulai memulangkan pengungsi. Tetapi, Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) mengatakan, kondisi tidak memungkinkan untuk mereka pulang dengan aman dan prosesnya terhenti.

Kepala hak asasi manusia PBB, Zeid Ra'ad al-Hussein, pada 5 Desember memperingatkan, kemungkinan "elemen genosida" dan menyerukan penyelidikan internasional.

Pengadilan dan sanksi

Pada 25 Agustus 2018, puluhan ribu pengungsi Rohingya melakukan protes untuk memperingati satu tahun eksodus mereka.

Penyelidik PBB menyerukan penuntutan panglima militer Myanmar dan lima komandan militer lainnya atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

Pada November, upaya untuk memulangkan 2.260 Rohingya gagal karena mereka menolak pergi tanpa jaminan keselamatan mereka.

Wartawan dipenjara

Pada 3 September 2018, dua jurnalis kantor berita Reuters, yang dituduh melanggar undang-undang rahasia negara Myanmar saat melaporkan pembantaian Rohingya, dipenjara selama tujuh tahun. Mereka menghabiskan lebih dari 500 hari di balik jeruji besi sebelum dibebaskan dengan pengampunan presiden.

Sanksi AS

Pada 16 Juli 2019, Washington mengumumkan sanksi terhadap panglima militer Myanmar dan tiga perwira tinggi lainnya.

Sekitar 3.500 pengungsi Rohingya pada 22 Agustus diizinkan untuk pulang tetapi tidak ada yang muncul untuk melakukan perjalanan.

Tantangan hukum meningkat

Pada 11 November 2019, Gambia mengajukan gugatan di Mahkamah Internasional (ICJ) yang menuduh Myanmar melakukan genosida atas perlakuannya terhadap Rohingya. Tiga hari kemudian, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) yang berbasis di Den Haag menyetujui penyelidikan penuh atas penganiayaan terhadap Rohingya.

Pada minggu yang sama, kasus ketiga diajukan oleh kelompok HAM di Argentina berdasarkan prinsip yurisdiksi universal.


Aung San Suu Kyi di pengadilan

Pada 11 Desember, Gambia memaparkan kasusnya di ICJ dengan Aung San Suu Kyi secara pribadi memimpin pertahanan Myanmar. Dia membantah tuduhan genosida, menyangkal klaim yang "menyesatkan dan tidak lengkap" dan bersikeras bahwa Myanmar sedang menghadapi "konflik bersenjata internal".

Dia mengakui tentara mungkin telah menggunakan kekuatan yang berlebihan.

Keputusan pengadilan

Menyampaikan keputusannya pada 23 Januari 2020, ICJ memerintahkan Myanmar untuk mengambil langkah-langkah mendesak untuk mencegah dugaan genosida dan melaporkan kembali dalam waktu empat bulan.

Kudeta

Militer Myanmar merebut kekuasaan pada 1 Februari 2021, menggulingkan pemerintah sipil dan kemudian melakukan penumpasan berdarah terhadap perbedaan pendapat.
Aung San Suu Kyi menjadi tahanan rumah dan kemudian dipenjara selama 17 tahun setelah persidangan tertutup di pengadilan militer.

Dengan beberapa dakwaan yang masih menimpanya, wanita berusia 77 tahun itu menghadapi kemungkinan hukuman yang lebih lama.


AS menyebut genosida

Amerika Serikat pada 21 Maret 2022 secara resmi menyatakan kekerasan tahun 2017 sebagai genosida, dengan mengatakan ada bukti jelas adanya upaya untuk "menghancurkan" Rohingya.

ICJ memutuskan pada 22 Juli bahwa kasus yang diajukan oleh Gambia dapat dilanjutkan. Di bulan yang sama, pemerintah militer mengeksekusi empat tahanan, penggunaan hukuman mati pertama di negara itu dalam beberapa dekade.

Pembunuhan di kamp

Pada 10 Agustus tahun ini, dua pemimpin komunitas Rohingya ditembak mati di salah satu kamp pengungsi di Bangladesh, yang terbaru dari serangkaian pembunuhan di permukiman tersebut.

Sumber Rohingya mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) berada di balik pembunuhan tersebut. ARSA diduga menjalankan bisnis narkotika, membunuh lawan politik dan menanamkan iklim ketakutan di kamp-kamp.

Baca Juga: