JAKARTA - Indonesia mengalami 1,2 miliar serangan siber setiap tahun dengan 2.200 serangan per menit. Salah satu serangan di ruangan siber berupa malware yang akhir-akhir ini dikirim dalam bentuk aplikasi undangan pernikahan.

"Indonesia setiap tahun ada 1,2 miliar anomali di ruang siber, setiap menit 2.200 anomali di ruang siber yang sebagian menyasar data-data pribadi, korporasi, dan niaga," ujar Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Andi Widjajanto, dalam Seminar Nasional Ketahanan Nasional Transformasi Digital Indonesia 2045, di Jakarta, Senin (7/8).

Kendati begitu, anomali itu sebagian besar diklasifikasikan sebagai keamanan siber agar Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Polri segera meningkatkan kemampuannya.

Seperti dikutip dari Antara, Andi menyebutkan sebelum wabah pandemi Covid-19, serangan di Indonesia sekitar 400 juta per tahun. Namun, pada 2022 dapat melonjak tiga kali lipat menjadi 1,2 miliar.

Kondisi ini, menurut Andi, harus segera dibenahi dengan arsitektur yang lengkap mulai dari doktrin, regulasi sampai opsi teknologi. Pemerintah juga harus bekerja keras dalam meningkatkan satuan keamanan siber.

Perangkat Lunak Bajakan

Sementara itu, Deputi III BSSN, Sulistyo, menyebutkan serangan siber malware atau malicious software semakin marak di Indonesia bisa terjadi salah satunya akibat penggunaan software atau perangkat lunak bajakan yang masih sering digunakan oleh masyarakat.

"Penyebab utamanya (malware mendominasi serangan siber) adalah banyak sekali masyarakat kita yang masih pakai software bajakan. Jadi, di hardware-nya dipasang software dan aplikasi bajakan, hardware-nya juga sering dipakai untuk pengolahan sistem elektronik," kata Sulistyo.

Dalam data yang dimiliki BSSN, tambah Sulistyo, hingga Agustus 2023 total serangan siber yang terjadi di Indonesia telah mencapai 219.414.104 serangan. Dari jumlah itu, persentase malware sebagai serangan siber paling mendominasi sebesar 52,51 persen atau berjumlah 115.208.766 serangan.

Lebih rinci, Sulistyo mengungkapkan malware yang akhir-akhir ini sering digunakan untuk serangan siber berbentuk ransomware atau perangkat pemeras yang kerap mengunci data di perangkat keras pengguna dan pelaku kejahatan meminta sejumlah dana agar data itu bisa kembali ke pemiliknya.

Baca Juga: