BANDUNG - Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Profesor Romli Atmasasmita, mengatakan pembangunan nasional termasuk bidang hukum belum dipahami secara umum oleh masyarakat Indonesia. Pada "Orasi Ilmiah 80 Tahun Prof Dr H Romli Atmasasmita dalam rangka Dies Natalis ke-67 FH Unpad" di Bandung, Selasa (17/9), ia mengatakan pada hakikatnya, pembangunan tidak hanya perubahan fisik semata, melainkan juga perubahan sikap mental dari penyelenggara negara termasuk aparatur hukum yang seharusnya dapat memelihara dan menjaga agar penyelenggaraan pembangunan dapat berjalan tertib dan teratur.
"Pembangunan yang dimaknai perubahan harus berjalan seiring dengan ketertiban karena keduanya merupakan kunci utama di dalam pembangunan. Perubahan tidak akan berhasil baik tanpa disertai dan dilengkapi dengan ketertiban," kata Romli. Perubahan bahkan sering kali dilaksanakan dengan mengabaikan ketertiban yang merupakan tujuan terdekat dari hukum. Tanpa ketertiban tidak akan tercipta kepastian, dan tanpa kepastian tidak akan terwujud keadilan apalagi kemanfaatan.
Lebih lanjut dikatakan, dalam perkembangan masyarakat kini yang tengah memasuki masa transisi era globalisasi abad ke 20-21, terbukti bahwa arah politik pembangunan yang telah ditetapkan dan dijalankan pemerintah mengalami masa trial and error dan tidak pernah berakhir sejak era reformasi 1998 sampai saat ini. Teori Hukum Pembangunan yang dikemukakan Prof Mochtar Kusumaatmadja pada 1970-an sebenarnya telah memberi pedoman yang ajeg tentang bagaimana seharusnya peranan dan fungsi hukum menemukan dan mencari solusi dari masalah hukum nasional yang tengah terjadi.
Teori yang digagas Prof Mochtar pada intinya berpandangan bahwa hukum tidak cukup difungsikan sebatas menjaga ketertiban kehidupan masyarakat, melainkan juga harus diberdayakan untuk mengarahkan perubahan dan pembangunan supaya berlangsung secara teratur dan tertib.
Berlandaskan teori tersebut, memicu munculnya pemikiran cerdas, lugas, dan dikutip dalam bidang hukum dari seluruh komponen ahli, baik dalam bidang hukum, sosial, dan bidang ekonomi untuk bekerja sama erat dan kolaboratif menggunakan metode pendekatan interdisiplin dalam setiap permasalahan sebagai solusi. Hal itu karena tidak ada satu pun kegiatan pembangunan nasional tanpa menggunakan pendekatan multi dan interdisiplin antara ilmu hukum dan ilmuilmu sosial lain, dan teknologi.
Preasumsi Keliru
Namun demikian, Romli mengatakan telah terjadi preasumsi yang terlanjur keliru di mana keahlian satu bidang ilmu dipandang cukup dapat mengatasi masalah pembangunan nasional. Sebagai contoh, telah banyak proyek infrastruktur pemerintah yang berakhir dengan masalah tindak pidana karena tidak disertai legal review atas kontrak-kontrak kerja sama, terutama antara BUMN dan korporasi, baik dalam negeri maupun asing.
Begitu pula dalam bidang kesehatan, pada pasca-Covid terdapat kasus tipikor dalam proses lelang alat-alat kesehatan. Di bidang kedokteran, banyak perkara hukum terkait masalah pengobatan, pelayanan rumah sakit, dan malpraktik kedokteran. Semua kasus tidak pidana termasuk tindak pidana korupsi memerlukan solusi antara lain melalui evaluasi kurikulum di seluruh fakultas perguruan tinggi yang dapat memadukan disiplin ilmu lain dan ilmu hukum seperti mata kuliah hukum kesehatan, hukum pertambangan, hukum pidana internasional, serta hukum dan teknologi.
Menanggapi hal itu, Ahli Hukum dan Pegiat Anti Korupsi, Hardjuno Wiwoho, mengatakan memang salah satu penyebab utama munculnya tindak pidana korupsi dalam proyekproyek besar adalah kurangnya kajian hukum yang memadai terhadap kontrak-kontrak yang mengikat berbagai pihak. Ia mengatakan kajian tidak hanya melindungi para pihak dari risiko pidana, tetapi juga memastikan kepastian hukum dan ketertiban dalam pelaksanaan proyek.
Banyak kasus korupsi yang berujung di pengadilan, karena kontrak-kontrak infrastruktur disusun tanpa memperhatikan hukum yang berlaku, baik dalam negeri maupun internasional. "Kurangnya pemahaman terhadap hukum kontrak menyebabkan banyak proyek infrastruktur tersandung masalah hukum yang memakan waktu dan biaya besar. Legal review harusnya dilakukan di setiap tahap, dari perencanaan hingga pelaksanaan," tegasnya.
Ia pun menekankan pentingnya kolaborasi antara ahli hukum dengan disiplin lain, seperti teknik dan manajemen proyek, untuk memastikan semua aspek kontrak terakomodasi dengan baik. Menurutnya, pendekatan lintas disiplin ini menjadi kunci dalam menciptakan pembangunan infrastruktur yang tidak hanya cepat, tetapi juga bebas dari risiko pidana di kemudian hari. Pemerintah dan sektor swasta perlu lebih serius dalam menjalankan audit hukum terhadap proyek-proyek strategis guna memastikan ketertiban dan menghindari masalah hukum di masa depan.
Dengan memperkuat proses legal review, Indonesia diharapkan dapat melaksanakan pembangunan yang lebih tertib dan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat tanpa terbebani oleh kasus hukum. Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan pernyataan Prof Romli sangat relevan, mengingat kompleksitas proyek infrastruktur yang melibatkan berbagai aspek hukum, keuangan, teknis, dan regulasi sebagai upaya untuk mendeteksi potensi ketidaksesuaian dengan peraturan yang berlaku. Misalnya, pelanggaran pada aspek pengadaan barang dan jasa, konflik kepentingan, atau kelalaian dalam pelaksanaan kewajiban kontraktual.