Dinasti Qing pernah berkuasa selama 250 tahun dan menciptakan stabilitas di Tiongkok. Namun akibat tingginya populasi, dinasti ini kemudian runtuh.

Dinasti Qing pernah berkuasa selama 250 tahun dan menciptakan stabilitas di Tiongkok. Namun akibat tingginya populasi, dinasti ini kemudian runtuh.

Dinasti Qing yang merupakan dinasti asing, berhasil menciptakan stabilitas di Tiongkok dalam waktu lama.Setelah berkuasa selama 250 tahun, dinasti ini runtuh pada 1912 karena kompleksitas yang dihadapi akibat tingginya populasi.

Dinasti Qing juga dikenal sebagai Dinasti Manchu adalah salah satu dari dua dinasti asing yang memerintah di Tiongkok setelah Dinasti Yuan Mongol. Dinasti ini sekaligus menjadi dinasti kekaisaran yang terakhir berkuasa, sebelum berganti menjadi sistem republik.

Alasan kemunduran sistem kekaisaran memang telah lama diperdebatkan. Namun sebuah studi baru yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Osaka di Jepang, Universitas Normal Shanghai di Tiongkok, Institut Evolusi dan Universitas Washington di AS, dan Pusat Sains Kompleksitas Wina di Austria, menyoroti tiga faktor penting yang berperan dalam kejatuhan Dinasti Qing.

Mereka menggunakan teori struktural-demografis (SDT) untuk memetakan kejatuhan ekonomi Dinasti Qing. Teori ini didasarkan pada model matematika ini membagi masyarakat menjadi empat bagian pertama negara, elite, populasi generasi, dan komponen tambahan yang mengukur ketidakstabilan politik. Setiap bagian mempengaruhi bagian lainnya secara dinamis.

"Kami berpendapat bahwa ledakan populasi sebanyak empat kali lipat yang mencapai puncaknya pada abad ke-19, meningkatnya persaingan untuk mendapatkan sejumlah posisi elite yang stagnan, dan meningkatnya tekanan fiskal negara, semuanya menghasilkan ketidakpuasan masyarakat dan elit, sehingga menyebabkan pemberontakan internal yang signifikan," tulis para peneliti seperti dikutip Live Science.

Menurut para peneliti pertumbuhan populasi menyebabkan kepadatan penduduk, kemiskinan, dan melimpahnya birokrat berkualitas yang tidak mampu meningkatkan jabatannya. Biaya untuk menjaga ketertiban, menambah beban yang terkait dengan menipisnya cadangan perak dan impor opium, semakin memperburuk masalah ini.

Tampaknya para penguasa Qing sepenuhnya menyadari masalah ini, hanya saja mereka tidak bertindak cukup cerdas dan cepat. Kombinasi pemberontakan internal dan tantangan geopolitik eksternal pada akhirnya menentukan nasib dinasti tersebut.

"Hal ini jelas menunjukkan bahwa perekonomian mana pun harus waspada karena keadaan dapat berubah, dan terkadang dengan cepat," kata Georg Orlandi, dari Universitas Osaka.

Tim ini menarik persamaan antara kondisi jatuhnya Dinasti Qing dan beberapa permasalahan serta ketidakstabilan dalam masyarakat saat ini, termasuk meningkatnya kesenjangan dan berkurangnya peluang untuk maju, permasalahan yang sebaiknya ditangani oleh pemerintah.

Tapi itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Tekanan-tekanan ini seringkali muncul dalam jangka panjang, sedangkan pemerintahan pada umumnya berubah dan berkembang dalam jangka pendek, dan hal ini berarti nasib Dinasti Qing bisa saja terulang di tempat lain. "Sangat penting untuk memahami asal mula ketidakstabilan tersebut," kata Peter Turchin, dari Complexity Science Hub di Wina, Austria.

Faktor Stabilitas

Dinasti Qing didirikan oleh para pejuang Manchu, dan pernah menjadi kekuatan kontinental yang patut diperhitungkan. Kekuasaannya membentang dari Asia timur hingga hampir seluruh bagian timur Eurasia, dengan ters memperluas wilayah.

Perlawanan dari Dinasti Qing menggantikan Dinasti Ming yang jatuh pada 1616. Pasukan Manchuria dari Asia timur laut mengalahkan tentara Ming dan menduduki beberapa kota di perbatasan utara Tiongkok. Invasi besar-besaran pun terjadi, sehingga Dinasti Ming berhasil dikalahkan pada 1644.

Selanjutnya Kaisar Shunzhi dari Manchuria mendirikan Dinasti Qing di Tiongkok. Periode kekaisaran dinasti ini berlangsung antara 1683 hingga 1839, yang dikenal sebagai era Qing Tinggi. Dalam bahasa Tiongkok, zaman ini juga kadang-kadang disebut "Zaman Sejahtera Kangxi, Yongzheng dan Qianlong" mengacu pada kaisar yang memerintah pada periode ini.

Sebagai pemerintahan asing, Kekaisaran Dinasti Qing dengan cerdik meminjam praktik terbaik birokrasi Konfusianisme Ming namun tetap memungkinkan adaptasi dan inovasi. Hal ini mampu meluluhkan suku Han sebagai suku suku terbesar. Dampaknya menghasilkan stabilitas ekonomi dan politik yang berkepanjangan.

Alih-alih mencoba mencabut dan menggantikan institusi dinasti sebelumnya, Qing menampilkan sistem kekaisaran Manchu sebagai hasil dari sistem Konfusianisme Han. Kesetiaan terhadap kekaisaran Qing sama dengan kesetiaan terhadap leluhur mereka.

Periode stabilitas ini menyebabkan pertumbuhan populasi yang cukup tinggi. Menurut Britannica, di bawah Dinasti Qing, populasi Tiongkok bertambah dari sekitar 150 juta menjadi 450 juta. Jumlah populasi pada gilirannya meningkatkan basis pajak. Siklus dari pendapatan negara yang tinggi terus berlanjut selama beberapa dekade.

Pada era Dinasti Qing wilayah Tiongkok mengalami perluasan. Dari 1750 hingga 1790, kekaisaran Qing mencapai wilayah terluasnya. Kaisar Qianlong memimpin sepuluh kampanye tanpa henti ke Asia bagian dalam seperti Tibet, Hainan dan Taiwan.

Demikian pula, penaklukan wilayah yang sekarang disebut Mongolia diselesaikan melalui serangkaian ekspedisi pada paruh kedua abad ke-17. Tentara Qing juga menaklukkan wilayah yang sekarang disebut Xinjiang dalam serangkaian kampanye antara tahun 1755-1758.

Qing pada puncak kejayaannya adalah kerajaan terbesar keempat dalam sejarah, menguasai wilayah seluas 5 juta mil persegi (13 juta kilometer persegi). Dari Himalaya di barat hingga Gobi di utara, 450 juta orang hidup dan mati di bawah pemerintahan kaisar Qing, yang dikenal sebagai putra surga.

Selain perluasan wilayah, Dinasti Qing mewariskan semangat nasionalisme di kalangan orang Tionghoa dari suku Han. Sentimen anti-Manchu menjadi motivasi kuat bagi mereka yang ingin melawan atau mereformasi rezim tersebut. Mereka menyoroti pentingnya asal-usul Han dari mayoritas penduduk Tiongkok. Langkah ini menjadi cara ampuh untuk memobilisasi masyarakat ketika perlawanan terhadap penguasa Qing terjadi.

Namun, beberapa sarjana telah mengambil pendekatan lain terhadap sejarah Qing dalam beberapa tahun terakhir. Mereka tidak memandang memandang Dinasti Qing sebagai sesuatu yang asing, namun bangga karena pada periode telah menjadikan TIongkok kekuatan yang tidak terkalahkan di Asia dan dunia. SB/hay/I-1

Baca Juga: