Junta dan kelompok pemberontak etnis di Myanmar saling menyalahkan saat terjadi ledakan di sebuah pasar di Sittwe yang menewaskan belasan warga sipil tewas pada Kamis pagi lalu.

YANGON - Sebuah ledakan artileri terjadi di sebuah pasar yang sibuk di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, yang dilanda konflik pada Kamis (29/2). Akibat ledakan itu dilaporkan telah menewaskan dan melukai warga sipil.

Pihak junta dan kelompok pemberontak etnis, yang saling menyalahkan atas serangan tersebut.

Bentrokan telah mengguncang Negara Bagian Rakhine barat Myanmar sejak Tentara Arakan (AA) menyerang pasukan keamanan junta pada November, mengakhiri gencatan senjata yang sebagian besar telah dilaksanakan sejak kudeta junta pada 2021.

AA adalah salah satu dari beberapa kelompok etnis minoritas bersenjata di wilayah perbatasan Myanmar, banyak diantaranya telah berperang melawan militer sejak kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948 demi otonomi dan kendali atas sumber daya.

Menurut keterangan sayap politik AA, sebuah kapal angkatan laut junta telah menembaki pasar pelabuhan yang populer di Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine, pada Kamis pagi. Akibat serangan itu sebanyak 12 warga sipil tewas dan 31 orang lainnya mengalami luka-luka kritis.

"Lima puluh orang lainnya menderita luka ringan," kata AA seraya menuduh bahwa junta dengan sengaja telah menargetkan warga sipil.

Sedangkan junta mengatakan ledakan itu merupakan akibat dari penembakan artileri berat yang ceroboh oleh AA, yang telah menewaskan dan melukai sejumlah warga setempat.

Pasukan junta sebenarnya masih menguasai Sittwe, namun dalam beberapa pekan terakhir pejuang AA telah menguasai distrik-distrik sekitarnya.

Laporan PBB

Sementara itu kepala hak asasi manusia PBB pada Jumat mengatakan bahwa tiga tahun pemerintahan militer di Myanmar telah menimbulkan kekejaman yang tak tertahankan, membuat orang-orang terjebak dalam mimpi buruk yang tak ada habisnya seiring dengan meluasnya konflik

"Junta telah menghancurkan segala bentuk perbedaan pendapat dengan impunitas total," kata Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, kepada Dewan HAM PBB, seraya mendesak badan itu serta negara-negara lainnya untuk fokus mencegah kekejaman lebih lanjut.

"Situasi hak asasi manusia di Myanmar telah berubah menjadi mimpi buruk yang tidak pernah berakhir, jauh dari sorotan politik global," kata Turk. "Konflik bersenjata telah meningkat dan menyebar ke hampir setiap sudut negara. Tiga tahun pemerintahan militer telah menimbulkan dan terus menimbulkan tingkat penderitaan dan kekejaman yang tak tertahankan terhadap masyarakat di Myanmar," imbuh dia.

Turk pun mengatakan bahwa junta menindak oposisi dengan penyalahgunaan kekuasaan total, sementara pembangunan di Myanmar kini mengalami penurunan drastis.

Turk mengatakan kekerasan meningkat sejak akhir Oktober, ketika kelompok etnis bersenjata melancarkan serangan terkoordinasi, memicu pembalasan dari militer.

"Ini amat mengerikan," kata Turk. "Selama tiga tahun terakhir, masyarakat Myanmar telah mengorbankan segalanya, dan tetap menghidupkan aspirasi mereka untuk masa depan yang lebih baik dan aman. Mereka membutuhkan seluruh komunitas internasional untuk mendukung mereka," ungkap dia. AFP/I-1

Baca Juga: