Kalau alasannya syarat tes PCR memberatkan penumpang bus dan kereta api, mengapa pemerintah tidak mensubsidinya, bila perlu menggratiskan biaya tes PCR. Subsidi untuk pembeli mobil saja bisa, mengapa subsidi untuk tes PCR tidak bisa.

Perintah Presiden Joko Widodo agar biaya tes PCR tidak lebih dari 300 ribu rupiah langsung direspons jajaran di bawahnya. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah menlakukan evaluasi harga tes cepat reaksi berantai polymerase (real time polymerase chain reaction/RTPCR). Hasilnya, terhitung mulai 27 Oktober 2021, harga Tes PCR turun menjadi 275 ribu rupiah untuk wilayah Jawa-Bali dan 300 ribu rupiah di luar Jawa-Bali. Penyelesaian hasil tes paling lama 1x24 jam sejak pengambilan sampel dari pemohon dilakukan.

Alasan turunnya biaya tes PCR tersebut karena dari hasil audit BPKP menunjukkan terjadi penurunan harga alat-alat yang digunakan untuk tes PCR, seperti bahan habis pakai termasuk alat pelindung diri, harga reagen PCR, dan RNA, serta biaya overhead.

Dengan tarif baru ini, berarti tarif tes PCR di Indonesia telah turun beberapa kali. Saat-saat awal pandemi, biaya tes PCR antara 1,5 sampai 2,5 juta rupiah. Kemudian turun menjadi 900 ribu rupiah. Menjelang hari ulang tahun Kemerdekaan RI pada Agustus lalu, turun lagi menjadi 495 ribu rupiah. Dan kini 275 ribu rupiah untuk Jawa-Bali dan 300 ribu rupiah di luar Jawa-Bali.

Meski biaya tes PCR semakin terjangkau, namun masih muncul nada ketidakpuasan masyarakat terhadap transparansi biaya tes PCR. Mengapa biaya tes PCR turun setelah ada protes atau ketidakpuasan di masyarakat. Apalagi setelah tahu, biaya tes PCR di luar negeri jauh lebih murah dari Indonesia. Di India, biaya tes PCR hanya 96 ribu rupiah. Sehingga sulit untuk tidak curiga bahwa ada aroma bisnis di berbagai tes yang bisa dijadikan syarat perjalanan tersebut.

Memang sebagian besar tes PCR dan antigen diselenggarakan oleh institusi swasta, sehingga wajar jika mereka harus mengambil untung secara wajar. Namun jika keuntungannya terlalu besar dan masyarakat tidak punya pilihan, itu keterlaluan. Apalagi keuntungan besar yang diperoleh, terjadi di tengah-tengah banyaknya warga masyarakat yang penghasilannya menurun terkena dampak pelambatan ekonomi selama pandemi Covid-19.

Seharusnya Kemenkes dan BPKP lebih transparan lagi. Jelaskan secara rinci komponen-komponen biaya tes PCR, totalnya berapa, ambil margin sewajarnya, baru kemudian tentukan harga tes PCR. Kalau sudah full disclosure, berapapun biaya yang sudah ditetapkan, masyarakat tentu bisa menerima. Mereka tidak lagi membanding-bandingkan dengan biaya tes PCR di negara lain.

Selain itu, pemerintah juga harus bisa menjelaskan perihal syarat tes PCR bagi pelaku perjalanan. Kita semua setuju, untuk meredam penularan covid-19, terlebih menjelang liburan Natal dan Tahun Baru, pemerintah harus memperketat syarat bagi pelaku perjalanan. Pertanyaanya, kenapa syarat hasil tes negative PCR hanya berlaku bagi penumpang pesawat terbang tetapi bagi pelaku perjalanan yang menggunakan moda transportasi darat dan laut hanya hasil tes antigen.

Apa iya durasi perjalanan mengunakan pesawat udara di Jawa-Bali yang maksimal hanya 1,5 jam, lebih rawan tertular Covid-19 dibanding perjalan bus, kereta, atau kapal laut dari Jakarta ke Surabaya yang paling cepat perjalanannya ditempuh selama 8 jam.

Kalau alasannya syarat tes PCR memberatkan penumpang bus dan kereta api, mengapa pemerintah tidak mensubsidinya, bila perlu menggratiskan biaya tes PCR. Subsidi untuk pembeli mobil saja bisa, mengapa subsidi untuk tes PCR tidak bisa. Bukankah pemerintah sendiri yang mengatakan bahwa penguatan 3T (testing, tracing, dan treatment) merupakan kunci pengendalian pandemi covid-19.

Baca Juga: