JAKARTA - Pemerintah dan DPR RI didorong untuk lebih fokus mengegolkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) terkait energi terbarukan ketimbang energi baru. Sebab lebih menekankan pada proses alam yang berkelanjutan.
Demikian ditegaskan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS) Marwan Batubara dalam diskusi terkait RUU EBET di Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta, Kamis (1/8). "Dalam hal ini, dibanding energi baru, IRESS cenderung mendukung agar UU ini lebih fokus memuat norma terkait energi terbarukan," ucap Marwan dalam diskusi tersebut.
RUU EBET merupakan RUU inisiatif DPR. Sesuai Keputusan DPR Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022, RUU ini termasuk RUU prioritas, seperti tercantum Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022 melalui Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022. Artinya, RUU ini telah berumur lebih dari 1 tahun, untuk akhirnya mungkin dapat diundangkan oleh DPR periode 2019-2024.
Sesuai namanya, RUU EBET dimaksudkan memuat berbagai ketentuan tentang energi baru dan energi baru terbarukan. Energi baru bisa berarti energi "bentuk baru" yang dihasilkan dari sumber-sumber energi "lama", seperti gas hasil gasifikasi batubara.
Adapun energi terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alam yang berkelanjutan, seperti tenaga surya, tenaga angin, arus air, proses biologi, dan panas bumi. "IRESS mendukung energi terbarukan karena lebih menjamin proses alam yang berkelanjutan atau sustainability," ucapnya.
Dia menekankan bahwa UU tentang energi atau panas bumi memang sudah ada. Namun, kedua UU ini belum memadai mengakomodasi berbagai hal guna memenuhi kebutuhan energi bersih, terutama energi listrik ke depan. Apalagi dengan target emisi karbon nol pada 2060.
Karena itu, ia berharap DPR dan pemerintah bisa segera menghasilkan UU EBET yang sesuai konstitusi, kepentingan stakeholders energi/listrik dan pemenuhan kebutuhan energi bersih berkelanjutan ke depan.
"Sesuai nama, UU EBET harus memuat ketentuan/norma energi, energi baru, energi terbarukan dan aspek-aspek yang terkait. Sehingga terbangun dan tersedia energi guna memenuhi demand secara efektif, efisien, andal, berkelanjutan, emisi karbon minimal, transisi energi berlangsung mulus, dan ketahanan energi nasional pun tercapai," ucap Marwan.
Tahun 2023 yang lalu konsumsi listrik nasional adalah 285 terawatt hour (TWh). PLN memproyeksikan konsumsi naik menjadi 468 TWh pada 2033. Dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN periode 2024 - 2033, PLN menargetkan 75 persen pembangkit listrik adalah berbasis EBT, dan sisanya 25 persen gas. Untuk itu dibutuhkan dana investasi sekitar 150 miliar dollar AS. Dengan kondisi demikian, dipahami bahwa upaya optimal perlu dilakukan Indonesia agar target tersebut dapat dicapai, termasuk menyelesaikan RUU EBET.
Komisi VII DPR bersama Kementerian ESDM telah menuntaskan pembahasan 574 daftar inventarisasi masalah (DIM) di dalam RUU EBET. Marwan berharap pemerintah dan DPR menjamin prinsip-prinsip bernegara menjadi pegangan utama pembahasan RUU EBET.
"DPR dan pemerintah harus menjamin azas-azas keterbukaan, demokrasi dan partisipasi publik, serta berjalannya proses pembentukan (formil) UU EBT dan penetapan ketentuan (material) sesuai konstitusi dan UU PPP (UU No.12/2011 atau UU No.15/2019). Dalam hal ini publik/rakyat diminta untuk ikut berperan aktif," tegasnya.
Kita, ujar Marwan, memahami pentingnya memenuhi target-target pemenuhan demand energi, investasi, net zero emission, ketahanan energi dan pembangunan nasional. Namun, berbagai target ideal tersebut harus dicapai dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konstitusional, legal, keadilan, kebersamaan, keberlanjutan pelayanan publik dan berbagai kepentingan strategis nasional.
"Maka, IRESS menuntut agar pembentukan UU EBET harus tetap berpegang pada prinsip-prissip bernegara dan kepentingan nasional tersebut," pungkasnya.