PLN dinilai perlu merenegosiasi utang, harga batubara dan pembangkit IPP atau pembangkit swasta terkait skema Take Or Pay (TOP) guna menghindari neraca keuangan makin memburuk.

JAKARTA - PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN diminta segera merenegosiasi terhadap semua kontrak yang dianggap membebani keuangan perusahaan kelistrikan plat merah tersebut. Jika tidak, maka beban utang makin tak terkendali sehingga membuat neraca keuangan memburuk.

Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan menegaskan penumpukan utang PLN disebabkan program elektrifikasi 35.000 megawatt (MW). Kondisi itu sudah diakui oleh petinggi PLN.

Untuk merealisasikan program tersebut, PLN membutuhkan dana tak sedikit sehingga harus berutang besar. "Tanpa ada pinjaman, program tidak berjalan sampai saat ini," ujar Mamit.

Selain itu, skema take or pay (ToP) juga menambah beban bagi PLN di tengah pertumbuhan konsumsi listrik yang tidak meningkat dan di luar target saat program ini di jalankan. "Saya kira ini jadi PR (pekerjaan rumah) yang besar bagi direksi saat ini karena kalau tanpa negosiasi beban keuangan PLN akan semakin berat," tegasnya.

Menurut dia, Independent Power Producer (IPP) atau pengembang listrik swasta harus memahami juga kondisi kelistrikan di Tanah Air saat ini. Terlebih lagi, tarif dasar listrik (TDL) sudah cukup lama tidak dinaikkan sehingga akan terus menjadi beban bagi PLN.

Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng menilai pemerintah tampak belum mengatasi masalah keuangan perusahaan listrik negara ini. Menurut dia, Dirut PLN awalnya telah menyatakan akan merenegosiasi utang, harga batubara dan pembangkit IPP atau pembangkit swasta terkait skema Take Or Pay (TOP).

"Ketiganya adalah beban besar bagi PLN. Namun, dua tahun tidak ada tindak lanjut, boleh jadi karena tidak ada dukungan pemerintah," tandas Daeng.

Karena belum adanya penanganan, maka utang ini terkesan dibiarkan hingga akhir semakin memburuk. Sekarang pembangkit batubara milik PLN terancam ditutup, sebagai komitmen perubahan iklim. Namun, sisi lain pembangkit batubara swsata tampaknya akan dibiarkan tetap beroperasi sesuai kontrak.

"Boleh jadi yang akan jadi korban pertama kali adalah dengan gagalnya pembangkit Suralaya 9-10 yang merupakan sumber cash flow utama PLN. Sementara, pembangkit Suralaya yang lain yang memasok listrik pulau Jawa sudah tua, dan saja segera ditutup sesuai janji pemerintah untuk mengurangi pembangkit batubara," papar Daeng.

Lakukan Efisiensi

Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengakui utang PLN meningkat drastis sejak 2019. Jika lima tahun sebelumnya masih di bawah 50 trilliun rupiah, kini membengkak hampir 500 triliun rupiah. "Utang membengkak karena PLN tidak punya pendapatan yang cukup. Jadinya tambah utang," ujarnya.

Menteri BUMN Erick Thohir dalam Rapat bersama Komisi VI DPR RI akhir pekan lalu mengakui pemerintah telah menginstruksikan BUMN Ketenagalistrikan tersebut untuk menekan belanja modalnya atau capital expenditure (capex). "Tak ada jalan lain selain PLN disehatkan, bagusnya PLN sudah menekan capex sebesar 24 persen yang membuat cashflow- nya lebih baik," terang Erick.

Baca Juga: