>> Negara akan semakin terperangkap jebakan utang untuk biayai tingginya impor energi.

>> Indonesia konsumen energi terbesar nomor empat di antara emerging market.

JAKARTA - Indonesia mesti mulai memacu pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sekarang juga untuk menghindari ancaman defisit energi yang diperkirakan terjadi dua tahun mendatang atau sudah di depan mata.

Defisit itu disebabkan pertumbuhan konsumsi energi yang tidak diimbangi oleh kenaikan pasokan yang memadai. Sedangkan pasokan energi nasional tidak mencukupi antara lain karena pengembangan EBT yang lambat, produksi minyak dan gas (migas) nasional yang terus menurun, serta industri pertambangan batu bara yang lesu karena penurunan harga komoditas tersebut.

Pakar energi terbarukan dari Universitas Brawijaya (UB), Nurhuda, mengatakan pemerintah harus berani melakukan terobosan dalam mengatasi defisit energi, terutama migas, lewat pemanfaatan EBT. Tanpa keberanian itu, negara akan semakin terperangkap dalam jebakan utang luar negeri untuk membiayai tingginya impor energi.

Nurhuda, yang juga Guru Besar FMIPA UB itu, menambahkan, berbagai jenis EBT yang potensial dikembangkan di Tanah Air, antara lain tenaga surya, biomassa, panas bumi, dan tenaga angin. Menurut dia, prospek energi biomassa cukup menjanjikan karena sekaligus dapat mengembangkan sektor pertanian yang bersifat mayoritas.

"Dulu penggunaan EBT seperti gasohol dan biodisel sempat marak, tapi sekarang merosot. Pemerintah perlu melakukan leap of faith, karena kita sudah menjadi net importer country. Utang luar negeri pemerintah sudah kelewat besar, jangan segansegan buat terobosan. Mungkin awalnya ditolak, tapi nanti juga akan diterima karena bermanfaat," papar Nurhuda, ketika dihubungi, Minggu (28/7).

Sebelumnya, ekonom senior, Faisal Basri, mengungkapkan salah satu faktor pendorong defisit energi adalah Indonesia merupakan konsumen energi terbesar nomor empat di antara emerging market, namun tidak dibarengi dengan produksi energi, yang secara konsisten justru menurun. Bahkan, Indonesia masih mengimpor mayoritas energi yang dibutuhkan.

"Kita harus waspada karena defisit energi sudah di depan mata. Mulai 2021, diperkirakan kita sudah mengalami defisit energi. Defisit energi akan mengakselerasi jika kita tidak melakukan apa-apa. Defisit energi bisa mencapai 80 miliar dollar AS atau tiga persen dari PDB (Produk Domestik Bruto) pada 2040," papar Faisal, belum lama ini. Dia menjelaskan target pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi akan meningkatkan kebutuhan energi karena kenaikan aktivitas ekonomi.

Pilihan Energi

Terkait dengan pengembangan EBT, Nurhuda menambahkan salah satu jenis energi yang prospektif adalah biomassa. Sebab, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang dapat sekaligus mengatasi masalah lingkungan, EBT seperti pelet biomassa juga mempu mendorong sektor pertanian.

"Limbah pertanian mulai sekam, jerami, pelepah, dan jagung bisa digunakan sebagai bahan baku ini, sudah terbukti dengan kompor biomassa yang kami buat. Dengan cara pelet biomassa, pemerintah bisa menjualnya dengan subsidi, daripada dananya dipakai untuk membiayai impor," tukas dia.

Sementara itu, Plt Dirut PLN, Djoko Abumanan, mengemukakan pihaknya mendukung upaya pemerintah menggencarkan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Pada 2025, PLN juga menargetkan 23 persen penerapan EBT di sektor ketenagalistrikan, mulai dari sampah, geotermal, hingga tenaga surya. "Kami melihat bahwa PLTS ini adalah kita yang dikatakan tadi pembangkit yang green.

Green ini artinya secara jangka panjang akan memberi tidak hanya PLN, tapi masyarakat di sini," ujar dia, Minggu. Mengenai kinerja neraca migas Indonesia, Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, menyatakan defisit migas terus menghantui neraca perdagangan Indonesia. Kebutuhan migas yang tinggi, tetapi produksi nasional tidak mencukupi, membuat impor migas setiap tahun selalu membebani neraca perdagangan Indonesia.

Menurut dia, kondisi itu yang menyebabkan defisit migas di Indonesia tidak bisa dihindari. Defisit migas pada Januari-Juni 2019 mencapai 4,78 miliar dollar AS, sedikit turun dari periode sama tahun sebelumnya sebesar 5,61 miliar dollar AS.

"Meski demikian, melihat perkiraan kebutuhan bulanan yang besar maka diperkirakan defisit migas hingga akhir 2019 akan tembus di atas 10 miliar dollar AS. Ini artinya bahwa defisit ini akan semakin terus terjadi sepanjang produksi migas kita tetap rendah," jelas dia.

SB/ers/WP

Baca Juga: