Perguruan Tinggi Teknik se-Indonesia (PTTI) diharapkan untuk terus beradaptasi dengan perubahan dan kemajuan zaman. Penyempurnaan sistem perkuliahan di PTTI merupakan kunci untuk melahirkan lulusan-lulusan yang unggul dan siap bersaing.

Sejarah mencatat banyak tokoh bangsa Tanah Air lahir dari perguruan tinggi teknik. Bahkan, dua Presiden Republik Indonesia, Sukarno dan BJ Habibie, mengenyam pendidikan di perguruan tinggi teknik, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Dengan kata lain, ini menunjukkan PTTI memiliki kontribusi besar pembangunan bangsa. Harapan besar tersebut tentunya harus terealisasikan dengan melahirkan sumber daya manusia unggul, andal, serta menciptakan inovasi yang berguna bagi masyarakat.

Untuk lebih mengetahui kebutuhan serta tantangan PTTI, wartawan Koran Jakarta, Muhamad Ma'rup mewawancarai Rektor ITB, NR Reini Djuhraeni Wirahadikusuma. Berikut petikannya.

Sebagai rektor di salah satu PTTI, bagaimana perkembangan PTTI saat ini?

PTTI kini sudah mengalami perkembangan pesat dan tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Saat ini terdapat lebih dari 1.300 pendidikan tinggi yang menyelenggarakan prodi keteknikan, di mana 1.100 di antaranya institusi swasta.

Meski sangat besar dari segi kuantitas, ke depan, PTTI harus terus meningkatkan kualitas dan kapabilitas. Dengan begitu, PTTI dapat memberi sumbangsih yang semakin berarti bagi kesejahteraan bangsa.

Dalam kurun waktu 1920-2020 bangsa Indonesia sudah menjadi bagian dari gelombang perubahan. Pada hari ini sudah semakin banyak kegiatan yang dilakukan masyarakat menggunakan media digital. Hal ini tidak lantas berarti kegiatan manufaktur, industrial, dan agrikultural menjadi kurang penting.

Adopsi teknologi di berbagai sektor kehidupan semakin masif. Apakah PTTI siap menghadapi?

PTTI perlu terus menyempurnakan learning system dan environment-nya untuk memastikan para mahasiswa menjadi insan pembelajar yang semakin mampu dalam berpikir analitis, kritis, dan kompleks. Mereka harus menjadi problem solver, berpikir lintas disiplin, berkomunikasi dalam keanekaragaman sudut pandang, serta berkolaborasi dan terlibat secara lebih erat dalam dunia nyata.

Di era informasi dan konektivitas cara-cara pengetahuan dihasilkan, dikalkulasikan, dan diadopsi semakin berpola jejaring atau network. Jadi, tidak lagi berpola linear, hulu, hilir, ataupun pusat periperal. Pendidikan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) perlu berlangsung secara in harmony, selaras dengan pengembangan kemanusiaan dan kemasyarakatan.

Bisa dijelaskan output-nya secara konkret?

Iptek harus memberi kontribusi dalam pemahaman tentang kemanusiaan dan pengembangan human culture. Pengembangan Iptek perlu disertai pemahaman tentang kehidupan bermasyarakat dan berkontribusi pada peningkatan solidaritas serta social well being.

Memetik hikmah dari pandemi Covid-19, PTTI perlu menerjemahkan solidaritas ke dalam pendidikan, penelitian, dan rancang bangun keteknikan. Pengembangan teknologi digital harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kontrol dan konektivitas pada berbagai kegiatan yang menjadi output PTTI.

Dengan begitu, PTTI dapat menciptakan nilai tambah tinggi pada sumber daya alam dan hayati yang dimiliki Indonesia. Selain itu, teknologi juga harus mendorong pertumbuhan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) berbasiskan pengetahuan. Kehadiran UMKM yang demikian merupakan wujud pemerataan dan solidaritas ekonomi yang penting untuk mendukung ketahanan ekonomi bangsa Indonesia.

ITB merupakan PTTI pertama dan tertua, bagaimana posisi saat ini?

Sebagai PTTI pertama dan tertua, ITB mengemban amanah untuk selalu berada di depan guna menghela PTTI dalam menjawab tantangan-tantangan yang diuraikan tadi. Untuk menjalankan peran tersebut dengan efektif, ITB akan melanjutkan komitmen untuk unggul dalam pengajaran yang lebih multilintas disiplin.

ITB akan memperluas dan memperkuat jalinan kemitraan untuk menjawab permasalahan baik di lingkup global, nasional, maupun lokal. Dukungan berbagai pihak tersebut terhadap program ITB sangat tinggi nilainya.

Selain itu, tidak kalah penting adalah pengabdian masyarakat yang semakin relevan dengan masalah lokal dan nasional. Penelitian-penelitian yang lebih kolaboratif dan berfokus pada penguatan ekosistem inovasi juga perlu dilakukan.

Semuanya untuk mendukung daya saing bangsa. Kemajuan ITB akan semakin diarahkan untuk mengakomodasi kebinekaan anak-anak bangsa dan memperluas akses pendidikan ke seluruh penjuru Nusantara.

Apa saja yang akan ITB lakukan untuk mencapainya?

Pembenahan-pembenahan internal menjadi prioritas jangka pendek. Transformasi sistem pengelolaan institusi adalah prasyarat untuk memperkokoh pondasi agar ITB bisa bergerak lebih cepat dan menggapai cita-cita di abad mendatang. Nilai in harmonia progresio perlu senantiasa kita pelihara untuk menghantarkan ITB ke masa depan dengan atribut locally relevant, globally respected.

Dengan begitu kolaborasi menjadi faktor penting juga?

Tentu. Untuk semakin meningkatkan kontributsi terbaiknya, ITB sangat butuh jalinan mitra yang strategis dengan pemerintah pusat, daerah, pelaku industri, usaha, lembaga riset, perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri, LSM dan semua elemen masyarakat. ITB akan memperluas dan memperkuat jalinan kemitraan untuk menjawab permasalahan baik di lingkup lokal, nasional, maupun global.

Dalam kondisi pandemi Covid-19, apa penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan ITB?

Hasil kuisioner kami terhadap civitas academica (CA) baik mahasiswa maupun dosen menyebutkan bahwa 70 persen tidak menyenangi pengalaman belajar semester genap pada tahun ajaran 2019/2020. Tapi, kami sampaikan pada CA bahwa sampai akhir Mei bukan kuliah online yang kami kembangkan. Itu jadi sebuah keterpaksaan.

Untuk itu, kami membuat suatu learning management system yang dikembangkan internal ITB dengan nama EDUNEX. Kami mendanai 111 mata kuliah (matkul) dan per matkul diberi hibah pengajaran inovasi sekitar 70 juta rupiah. Sebanyak 111 matkul tersebut juga mendapat pelatihan dan bimbingan. Dengan begitu, membantu para dosen mengembangkan sistem yang memiliki standar mutu sama. Ini sedang berjalan. Harapannya sampai November, 111 matkul ini kualitasnya seperti coursera. Kami menyebutnya coursera versi silver dan perunggu.

EDUNEX ini sudah sempurna?

Sebenarnya masih jauh dari sempurna. Kami paham ada tujuh tahapan pengembangan portal ini yaitu objektif, capability, workflow, investment, charge management, evaluation, dan harmonization. EDUNEX mungkin baru sampai stage ke dua saat ini. Tapi ini sesuatu yang tidak bisa ditunda-tunda dan harus kita lakukan sambil berlari.

Yang kita pahami, pengembangan suatu sistem seperti ini ada tiga komponen juga yaitu people and culture atau orang dan budayanya, teknologi, dan proses pengembangan di mana kita terus melakukan evaluasi-evaluasi untuk perbaikan.

Jika sudah rampung apa akan fokus pembelajaran daring?

Kuliah online tidak akan menggantikan tatap muka. Pendidikan bukan transfer materi saja, tapi interaksi, dan kemampuan bersosialisasi yang tidak tergantikan online. Ke depannya kita akan melakukan blended learning. Ada materi ditaruh di online, yang kita pahami bersama. Kemudian ada yang harus dilakukan secara tatap muka atau tradisional.

EDUNEX hanya untuk internal ITB?

Kami akan tawarkan ke universitas lain untuk credit learning dalam rangka memfasilitasi Kampus Merdeka sesuai yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ini juga melihat contoh di luar negeri, antara Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Harvard University, mahasiswa mereka saling mengambil kelas.

Itu juga yang diinginkan ITB. Credit learning tidak hanya open courses dan mengambil dari ITB. Kami berharap teman-teman lain sama, sehingga mahasiswa kami bisa mengambil mata kuliah lain seperti humaniora, sosial, kesehatan, ekonomi dan sebagainya.

Selain kolaborasi lintas universitas, bagaimana respons ITB terhadap konsep Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, dari Kemendikbud?

ITB secara prinsip adalah kampus merdeka. Tapi, meski berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) dan punya otonomisasi, sistem kepegawaian tidak semerdeka itu. Bahwa diingatkan kembali dan diminta lebih optimal serta ditingkatkan kemerdekaannya ada dukungan yang sangat jelas dari pemerintah. Meski begitu, ini bukan sesuatu yang baru.

Kemudian, manajemen institusi untuk mengelola program magang tidak mudah. Harus ada kemampuan manajemen yang baik dalam program magang. Pengabdian masyarakat harus lebih terasa. Penelitiannya juga butuh membangun ekosistem inovasi untuk mendukung insan perguruan tinggi.

Untuk lebih merdeka lagi, peraturan-peraturan atau dosen kita sendiri harus me-relearn. Tentunya belajar itu kita terbuka kepada pihak lain dan membuka interaksi lebih aktif. Hal ini terutama bagaimana dosen bisa sabatikal atau cuti enam bulan untuk bekerja di industri. ITB sendiri hubungannya sangat erat dengan industri. Meski kemudian kerap ada stigma "dosen proyek," manfaatnya juga sangat besar buat ITB. Mahasiswa juga untuk komunitas pembangunan infrastruktur nasional.

Kami bukan mengeluh, tapi ingin dan akan membuat usulan konkret mengenai kebutuhan untuk enabling. Dengan begitu, CA bisa mengimplementasikan kampus merdeka secara lebih efektif untuk merdeka dosen dan mahasiswanya.

Terkait riset dan inovasi, bagaimana ITB mendorong agar produk dapat dihilirasi ke masyarakat?

Sebuah penelitian, untuk bisa menjadi inovasi atau produk, perlu tahapan. Apalagi untuk diperjualbelikan, prosesnya sangat panjang. Untuk itu, kami membuat lembaga inovasi dan kewirausahaan. Jadi, ITB merupakan institusi pendidikan. Untuk mengangkat produk-produk ke industri harus ada kelembagaan lain. Salah satunya membangun perusahaan yang disebut Rekacipta Inovasi ITB (RII).

Selain itu, ITB juga terus berupaya memperkuat triple helix. Contoh terbaru adalah pabrik Katalis Merah Putih sebagai bentuk nyata kolaborasi antara pemerintah, industri, dan peneliti atau triple helix. Belum banyak kisah sukses triple helix yang nyata di Indonesia. Jadi, pabrik katalis pertama ini bisa jadi satu model yang bisa dipertahankan asal tekun berkolaborasi. Dengan begitu, bangsa Indonesia bisa lebih mandiri dalam kemajuan dan penguasaan teknologi yang berujung pada komersialisasi.

Untuk mendukungnya, dalam Kampus Merdeka perlu juga ada jabatan fungsional full timer untuk perekayasa maupun peneliti. Maka, peneliti full timer suatu posisi sangat kami inginkan ada di perguruan tinggi. Karena inovasi itu driver dari universitas. Sementara itu, kita perlu merekrut tenaga-tenaga muda peneliti-peneliti yang bekerja full timer untuk bidang inovasi.

Riwayat Hidup*

Nama: Prof. Ir. N. R. Reini Djuhraeni Wirahadikusuma, MSCE, PhD

Lahir: Jakarta, Indonesia, 25 Oktober 1968

Hobi: Mendengarkan musik dan menonton film

Pendidikan:

  • Sarjana Teknik Sipil di Institut Teknologi Bandung, (1991)
  • Magister Teknik Sipil di Purdue University, AS (1996)
  • Ph.D. Civil Engineering di Purdue University, AS (1999)

Karier:

  • Dosen Teknik Sipil dan Lingkungan ITB (1992-sekarang)
  • Ketua Program Studi Magister dan Doktor Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB (2010-2014)
  • Contract Manager, ITB-JICA Development Project, ESC and PMC Contracts, ITB (2012- 2015)
  • Sekretaris Persatuan Insinyur Indonesia (2015-2018)
  • Head, Project Implementation Unit, ITB Development Project (III)- JICA (2016-2019)
  • Head of Construction Engineering Management Research Group, ITB (2018-sekarang)
  • Rektor ITB (Januari 2020-sekarang)

Penghargaan:

  • Satyalancana Karya Satya X (2008)
  • Endeavour Awards, Australia Awards Indonesia (2011)
  • Satyalancana Karya Satya XX (2016)

*BERBAGAI SUMBER/LITBANG KORAN JAKARTA/AND

Baca Juga: