Berkat media sosial, sejumlah lagu berbahasa daerah kembali naik daun dan digemari kaum muda. Liriknya dinilai lebih 'kena' untuk menggalau dan mengobati kangen akan kampung halaman.

Tampilan boleh gahar dengan gaya rambut gondrong sebahu, tapi suara mendiang Didi Kempot yang tenar dengan lagu-lagu meratapi kesedihan dalam bahasa Jawa bisa menyentuh hati Cornel Yobellakama Innoncensi, yang biasa dipanggil Innos.

Selain Didi Kempot, telinga mahasiswa semester dua Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, ini juga akrab dengan suara Denny Caknan, Ndarboy Genk, Kukuh Prasetya, atau NDX. Karawitan dan berbagai lagu dari genre campur sari berbahasa Jawa juga ia gemari.

Buat Innos, mendengarkan lagu-lagu berbahasa Jawa bukan hal asing karena orang tuanya rutin memutar lagu-lagu itu setiap hari Minggu pagi. Kebiasaan ini terbawa hingga Innos dewasa.

Lagu berbahasa daerah tampaknya memang punya tempat tersendiri di hati generasi Z yang lahir di rentang tahun 1996 sampai dengan tahun 2009. Apalagi, saat ini platform media sosial memudahkan mereka untuk lebih mencari tahu tentang lagu-lagu ini. Apa keistimewaannya?

"Dengerin lagu bahasa Jawa yang temanya cinta-cintaan dan galau itu relate ke anak muda. Kata-katanya cukup unik dan mengandung lirik sederhana yang dekat kehidupan sehari-hari," kata Innos kepada DW Indonesia melalui sambungan telepon.

Ada satu tembang favorit Innos berjudul Pingal yang dinyanyikan oleh Denny Caknan yang menceritakan seputar kegundahan hati seseorang yang tidak bisa meraih hati orang yang ia cinta.

"Ibarat esuk mendung, awan aku kudanan. Sore mbok larani, bengi tak tangisi," kata Innos mengutip sepenggal lirik lagu Pingal. Secara harafiah artinya pagi menghadapi mendung, siangnya kehujanan, sore kamu menyakiti aku, malamnya aku menangisi kamu.

Lagu itu menceritakan kegalauan yang dihadapi seseorang dalam satu hari penuh untuk mengejar tambatan hatinya. Lagu itu pun menjadi pemantik candaan Innos dengan teman-temannya karena pernah mengalami pengalaman serupa.

Sementara di Padang, Sumatera Barat, Sonya Andomo menyanyikan salah satu lagu kesukaannya yang berjudul Batu Tagak. Lagu berbahasa Minang itu menceritakan ratapan seseorang yang pergi meninggalkan bumi Minangkabau untuk merantau. "Di tengah perantauannya, orang tersebut merindukan ibunya dan meminta sang ibu untuk bersabar karena belum membawa kesuksesan," tutur Sonya.

Sonya, jurnalis berusia 26 tahun ini mengaku hampir setiap hari mendengarkan lagu-lagu berbahasa Minang. Selain itu, ia pun sering menyanyikannya saat bersama teman-teman.

"Karaokean lagu bahasa Minang dengan teman-teman karena liriknya dekat secara emosi." Selain itu Sonya menyukai lagu berbahasa Minang karena lirik dalam lagu bahasa Minang lebih menggunakan idiom atau kiasan untuk menyampaikan sebuah makna.

Media Sosial Bantu Hapus Stereotip

Menurut Eka Meigalia, dosen Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang, mengatakan kini banyak generasi muda yang menikmati lagu-lagu berbahasa Minang lewat berbagai platform digital. Banyak lagu berbahasa Minang yang diaransemen ulang untuk dijadikan lagu pengantar di konten-konten video reels atau TikTok.

Menurut dia, sebelum ada platform media sosial banyak generasi muda yang merasa malu mengakui bahwa mereka suka mendengarkan lagu berbahasa Minang.

"Ada steorotip yang disematkan bahwa (menyukai) lagu Bahasa Minang dianggap tidak keren, kuno, dianggap tidak modern," kata Eka.

Namun keadaan ini berubah setelah lagu-lagu tersebut kembali populer karena sering digunakan dalam konten media sosial. Bahkan ada lagu-lagu bahasa Minang yang sudah diproduksi dua atau tiga tahun lalu, kini populer setelah sering muncul di media sosial.

Ia mengatakan bahwa saat ini tumbuh artis-artis penyanyi lagu berbahasa Minang bisa memperkenalkan karyanya melalui YouTube, tanpa label rekaman.

"Artisnya banyak, lagunya banyak. Yang populer hanya satu atau dua karena dibantu oleh TikTok atau reels," ucap Eka.

Setelah populer di sosial media, generasi muda ingin tahu isi lagu secara utuh, kata Eka seraya menambahkan hal tersebut sebagai trik untuk menaikkan popularitas di tengah persaingan yang cukup ketat.

Platform moden saat ini bisa dimanfaatkan dan disesuaikan untuk menyebarluaskan dan memperkenalkan bahasa daerah ke kalangan generasi muda. Mereka bisa mempelajari lebih dalam serta maksud dari lirik lagu berbahasa daerah dari platform digital tersebut, kata Eka.

Senada dengan Eka, Dwi Woro Retno Mastuti, dosen Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia memberi contoh lagu Ojo Dibandingke yang dinyanyikan oleh Farel Prayoga bisa melejit karena peran sosial media.

"Dulu sulit cari ruang untuk mengekspresikan suara hati lewat lagu-lagu berbahasa daerah. Nah sekarang lebih mudah. Sampai nembus istana," kata dosen yang kerap disapa Woro.

Innos tidak merasa gengsi atau malu menggemari lagu-lagu berbahasa Jawa. Di Semarang, Innos melihat anak-anak muda di sekitarnya juga ingin menunjukkan ciri khas kedaerahannya.

"Aku yo pengen (menunjukkan) ciri khas daerahku. Iki lho kebanggaan anak-anak Jawa," kata Innos.

Sementara Sonya menuturkan lagu-lagu berbahasa Minang banyak digemari karena banyak perantauan yang membawa dan memperkenalkannya ke tempat mereka mengadu nasib. Lagu-lagu berbahasa Minang bisa mengobati para perantau akan kampung halamannya.

"Supaya tidak lupa identitas dan dari mana mereka berasal," kata Sonya. DW/I-1

Baca Juga: