Chicago - Harga emas melemah lagi pada akhir perdagangan Rabu (24/2/2021) waktu Chicago, Amerika Serikat (AS) atau Kamis (25/2/2021) pagi WIB, memperpanjang kerugian untuk hari kedua beruntun, karena imbal hasil obligasi pemerintah AS yang tetap tinggi mengurangi daya pikatnya sebagai lindung nilai inflasi saat para investor memantau testimoni ketua Federal Reserve AS di hari kedua.

Kontrak emas paling aktif untuk pengiriman April di divisi COMEX New York Exchange, terpangkas 8,0 dollar AS atau 0,44 persen menjadi ditutup pada 1.797,90 dollar AS per ounce. Sehari sebelumnya, Selasa (23/2/2021), emas berjangka tergerus 2,5 dollar AS atau 0,14 persen menjadi 1.805,90 dollar AS per ounce.

Emas berjangka melonjak 31 dollar AS atau 1,74 persen menjadi 1.808,40 dollar AS per ounce pada Senin (22/2/2021), setelah menguat 2,4 dollar AS atau 0,14 persen menjadi 1.777,40 dollar AS pada Jumat (19/2/2021), dan naik 2,2 dollar AS atau 0,12 persen menjadi 1.775,00 dollar AS pada Kamis (18/2/2021).

Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell kembali bersaksi di depan Kongres AS pada Rabu (24/2/2021). Dia secara khusus berkomentar bahwa kenaikan imbal hasil obligasi baru-baru ini adalah pertanda sehat bagi ekonomi, mengecilkan ketakutan inflasi dari kebijakan fiskal AS yang longgar.

"Meningkatnya imbal hasil obligasi terus membebani pasar emas. Emas belum menemukan jalan untuk pemulihan yang berkelanjutan bahkan dengan pembicaraan tentang langkah-langkah stimulus tambahan," kata Phillip Streible, kepala strategi pasar di Blue Line Futures di Chicago.

Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun menyentuh 1,4 persen untuk pertama kalinya sejak Februari 2020. Kenaikan imbal hasil cenderung merugikan daya tarik emas sebagai lindung nilai inflasi karena meningkatkan peluang kerugian memegang logam kuning yang tidak memberikan imbal hasil.

Powell juga menegaskan kembali bahwa suku bunga AS akan tetap rendah dan The Fed akan terus membeli obligasi untuk mendukung ekonomi AS.

Dalam kesaksiannya di hadapan Senat AS pada Selasa (23/2/2021), Powell mengatakan kebijakan moneter masih perlu akomodatif, karena pemulihan ekonomi "tidak merata dan jauh dari selesai."

Baca Juga: