Pengeboran slime hole panas bumi di Sukabumi, Jawa Barat, harus tetap dengan pendekatan ESG, mengingat di sekitar proyek itu terdapat wilayah geopark serta konservasi flora dan fauna.

JAKARTA - DPR RI menegaskan pentingnya meminimalkan dampak ekologis akibat eksplorasi dan pengeboran slime hole panas bumi di beberapa wilayah di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Jangan sampai proyek yang bertujuan untuk memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) ini malah menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan.

"Tadi saya kemukakan karena sudah pernah ada (bencana longsor) di daerah Kabandungan. Supaya kalau misalnya nanti betul ada pengeboran atau eksplorasi itu harus dihitung benar supaya tidak berdampak kepada masyarakat. Misalnya terjadi ada gempa maupun tanah longsor yang merugikan masyarakat karena pernah terjadi ada di Kabandungan (yang disebabkan karena aktivitas pengeboran) yaitu Chevron itu. Jadi ini kan mumpung lagi (tahap persiapan jadi) dikaji kembali," jelas anggota Komisi VII DPR RI, Ribka Tjiptaning Proletariyati, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Ribka, sejauh ini tidak ada masalah yang disampaikan masyarakat terkait wilayah yang dilakukan pengeboran. Namun, pihaknya tetap mengingatkan dengan tegas terkait dampak ekologis yang mungkin saja muncul setelah pengeboran.

"Kalau persoalan tanahnya tidak ada masalah dari masyarakat sekitar, tapi harus diantisipasi supaya tidak ada masalah, atau dampak eksplorasi. Setiap eksplorasi itu pasti ada dampaknya sebenarnya. Dampaknya masalah kesehatan, pertanian, lingkungan misalnya, nah itu diantisipasi," jelas Legislator Dapil Jawa Barat IV ini.

Meski demikian, Ribka juga berharap dengan dilakukannya eksplorasi dan pengeboran slime hole panas bumi di Sukabumi ini, hal itu bisa memunculkan alternatif energi yang bisa digunakan untuk mengurangi dampak polusi dan emisi karbon.

Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mendorong eksplorasi dan pengeboran slim hole di Cisolok, Sukabumi mengingat besarnya potensi panas bumi di daerah tersebut. Hal ini dikatakannya, meski menurut data yang diterimanya dua titik pengeboran yang telah dilakukan di Sukabumi belum maksimal.

"Tetapi yang jelas ada potensi di kawasan tersebut meskipun belum dapat gambaran approvement," jelas Sugeng usai memimpin Kunjungan Spesifik Komisi VII di Jawa Barat, Jumat, (26/5).

Menurutnya, potensi panas bumi di Sukabumi, dan Indonesia umumnya sangat besar dan hingga saat ini belum bisa dimanfaatkan dengan optimal. Seperti Diketahui, Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sekitar 24 GW, namun baru bisa dimanfaatkan sekitar 2.130 MW yang berasal dari 16 PLTP pada 14 WKP atau pemanfaatannya baru sekitar 8,9 persen dari total sumber daya (potensi) yang dimiliki. Untuk tahun 2020, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang untuk panas bumi sebesar 2.270,7 MW.

Pendekatan ESG

Meski demikian, Sugeng mengungkapkan eksplorasi ini harus tetap dengan pendekatan Environmental, Social and Governance (ESG). Apalagi, di sekitar daerah proyek panas bumi ini terdapat wilayah geopark, serta konservasi flora dan fauna.

Lebih lanjut, Sugeng mengungkapkan keperluan terhadap energi terbarukan ini sangat penting guna mencegah terjadi perubahan iklim. Upaya ini juga dilakukan demi mengurangi energi fosil yang mendominasi dalam men-support energi kelistrikan dunia dan menurunkan emisi karbon.

"Cepat atau lambat akan kita kurangi (penggunaan energi fosil) sehingga sampai titik optimal 2060 net zero emission. Panas bumi merupakan energi yang besar sekali potensinya di Indonesia termasuk juga tenaga angin," pungkasnya.

Baca Juga: