» Kalau sumbangan government expenditure kembali negatif kuartal keempat 2023, berarti defisit yang turun bukan kabar baik bagi ekonomi nasional.

» Pertumbuhan yang tinggi membutuhkan government expenditure yang lebih banyak belanja modal dan investasinya.

JAKARTA - Pemerintah diminta untuk tidak puas atas keberhasilan menurunkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 menjadi 1,65 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebab, penurunan defisit itu didorong oleh penurunan belanja dan peningkatan penerimaan.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan belanja negara pada 2023 mengalami penurunan dibandingkan dengan 2022, sementara penerimaan negara masih cenderung positif meskipun di tengah penurunan harga komoditas.

Menurut dia, penurunan defisit APBN tidak boleh hanya mengejar target 100 persen belanja, tetapi juga memperhatikan kualitas belanjanya.

"Kualitas belanja yang baik harus diukur dari outcome-nya, bukan hanya realisasinya," katanya.

Belanja untuk mitigasi dampak El Nino, penyaluran transfer ke daerah dan dana desa misalnya harus diukur efektivitasnya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ia juga mengingatkan pemerintah perlu mewaspadai peningkatan ruang belanja untuk pembayaran beban bunga utang.

Hal itu karena ruang belanja pemerintah cenderung terbatas, sementara kebutuhan belanja untuk berbagai pos, seperti belanja bantuan sosial (bansos), subsidi, dan belanja modal, juga terus meningkat. "Peningkatan belanja beban bunga utang kan tentu akan berpotensi menurunkan ruang belanja untuk pos-pos di luar belanja beban bunga utang tersebut," katanya.

Selain itu, tren suku bunga yang tinggi pun akan ikut mempengaruhi ruang belanja untuk pembayaran bunga utang di kemudian hari. "Imbal hasil yang ditawarkan akan lebih tinggi dan potensi pembayaran bunga utang lebih tinggi juga bisa terjadi," katanya.

Dia berharap pemerintah perlu melakukan berbagai upaya untuk menekan beban bunga utang, seperti meningkatkan penerimaan negara dan efisiensi belanja.

Bukan Kabar Baik

Pada kesempatan berbeda, Direktur Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan dilihat dari sumbernya, kenaikan pendapatan pada 2023 karena efek naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 menjadi 11 persen. Kebijakan itu tentu ada risikonya karena sumber pendapatan dari PPN akan mengurangi daya beli masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi pada kuartal keempat nanti melambat, kenaikan PPN menjadi disinsentif bagi perekonomian nasional.

Begitu juga dengan defisit APBN yang turun, di satu sisi memang positif, namun jika dilihat dari sumbangan government expenditure pada kuartal ketiga yang negatif dan kuartal keempat nanti, sumbangannya ternyata kembali di bawah rata-rata pertumbuhan nasional. Hal itu berarti defisit yang turun bukan sebuah kabar yang baik bagi ekonomi nasional.

"Kalau kita bedah belanja APBN, belanja non-kementerian/lembaga (K/L) ternyata besar, dan itu tidak mendorong pertumbuhan ekonomi karena habis untuk biaya rutin pegawai dan perjalanan dinas. Belanja modalnya kecil. Jadi defisit kecil, tapi sumbangan belanja pemerintah kepada pertumbuhan juga kecil, ini bukan kabar baik," papar Tauhid.

Data lain adalah sumbangan konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang masih di angka 58 persen yang berakibat Indonesia susah untuk tumbuh tinggi karena tidak bisa memanfaatkan momentum tertentu dari investasi dan perdagangan internasional.

Meskipun harus diakui ada sisi positifnya yakni relatif lebih tahan terhadap guncangan internasional. Sebagai pembanding, Korea Selatan dan Singapura yang pertumbuhannya ditopang oleh investasi dan perdagangan internasional, memang sangat rentan terhadap goncangan internasional. Namun, ekonomi mereka juga bisa tumbuh lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan Indonesia.

"Artinya, yang kita butuhkan adalah government expenditure yang lebih banyak belanja modal dan investasi agar kita bisa tumbuh lebih tinggi dari saat ini yang mengandalkan konsumsi masyarakat," kata Tauhid.

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, mengakui kalau kecenderungan akselerasi belanja negara pada akhir tahun trennya kembali terulang setiap tahun. Hal itu karena belanja negara cenderung dioptimalkan penyerapannya di akhir tahun.

Baca Juga: