» Para elite politik dan tokoh- tokoh bangsa semestinya menghindari wacanawacana yang mengarah kebencian lama.
» Jika pemerintah tidak mengontrol dan terus membuka lebar kran bagi kroni maka akan merusak perekonomian nasional.
JAKARTA - Politisi diminta untuk tidak mengeksploitasi peristiwa kelam di masa lalu seperti tragedi kerusuhan 1998 yang ditujukan untuk memecah belah bangsa dengan tujuan meraih kekuasaan pada Pemilu 2024. Isu-isu primordialisme yang dibungkus dengan jargon ketidakadilan dinilai bisa kembali melukai warga Indonesia yang trauma anggota keluarganya menjadi korban akibat hasutan yang terjadi di awal era reformasi 1998.
Kala itu, lebih dari seribu anak-anak perempuan keturunan Tionghoa diperkosa dan dibunuh pada tragedi Mei 1998. Padahal beberapa di antara mereka berasal dari keluarga miskin dan kurang mampu, tetapi karena isu pribumi dan nonpribumi yang sengaja diembuskan, berakibat pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Padahal pelaku yang menyebabkan katidak adilan dan ketimpangan adalah segelintir kroni-kroni kaya Orde Baru yang hingga saat ini sulit disentuh, bahkan terus dipelihara sekalipun mereka merampok uang negara dan rakyat melalui obligasi rekapitalisasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Sulit untuk mengatakan bahwa pemerkosaan yang dialami warga keturuan Tionghoa pada kerusuhan 1998 adalah kejadian yang tidak terorganisir. Lihat saja Ita Martadinata yang akan bersaksi di Kongres AS tentang perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 dibunuh sebelum berangkat ke Amerika.
Pakar Komunikasi Politik, Benny Susetyo, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Minggu (28/5), mengatakan Indonesia saat ini harus mencari pemimpin yang mampu menatap masa depan Indonesia. Hal itu hanya bisa dikerjakan oleh sosok pemimpin yang tahu benar tentang penghargaan pada martabat manusia.
Sosok pemimpin itu juga tidak harus mengungkit-ungkit lagi diskriminasi warga asli dan tidak asli, minoritas-mayoritas, pribumi dan nonpribumi, tetapi bekerja keras untuk memutus tali-temali warisan buruk masa lalu dan menatap masa depan.
"Semua orang Indonesia, apalagi sosok pemimpin Indonesia, bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan Indonesia tanpa diskriminasi. Maka setop tindakan provokasi, politik diskriminasi, yang menciptakan keterbelakangan masyarakat," kata Benny.
Di masa-masa krusial jelang pergantian kepemimpinan, seluruh calon pemimpin di Republik ini mesti bijaksana memberikan pernyataan-pernyataan kepada publik dengan mengedepankan kepentingan bangsa daripada kepentingan kelompok sesaat.
"Setop politik SARA, diskriminasi, karena itu menghancurkan kesempatan kita untuk bersama-sama menjadi negara maju dan mencapai kesejahteraan bersama," tandas Benny.
Teror Spekulatif
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Arie Sujito, yang dihubungi pada Minggu (28/5) mengatakan para elite politik dan tokoh-tokoh bangsa semestinya menghindari wacana-wacana yang mengarah kebencian lama. Meskipun masyarakat sudah dewasa dalam berpolitik, tetapi kalau terus-menerus dijejali dengan teror-teror yang spekulatif dan menimbulkan kebencian maka akan terjadi pembelahan dalam pemilu nanti seperti sebelum-sebelumnya.
Para elite seharusnya mengedepankan seruan-seruan damai, berpolitik dengan kredibel, karena ruang untuk menjalankan itu sangat terbuka. "Kita harus koreksi dari sebelum-sebelumnya, agar Pemilu 2024 menjadi harapan, bukan sebaliknya menciptakan pembelahan," kata Arie.
Secara terpisah, Peneliti Pusat Riset dan Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana - Bengkayang Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, menuturkan upaya pemerintah saat ini menata kembali semua aset negara perlu didukung, karena bukan hal baru bahwa banyak aset negara yang dikuasai oleh pihak-pihak tertentu dan pemerintah sebelumnya seolah-olah menutup mata akan hal tersebut.
Saat ini ada upaya dari pemerintah mengambil setiap aset negara tersebut, namun upaya tersebut diakuinya memang belum maksimal. Upaya mengambil kembali aset negara pada beberapa sektor strategis yang jelas-jelas dikuasai kaum tertentu katanya belum sepenuhnya dilakukan.
"Ini butuh konsistensi dan keberanian lebih dari pemerintah agar tidak terkesan tebang pilih, pada sektor tertentu terlihat pemerintah berani mengambil tindakan sementara pada sektor lain terkesan sengaja mengulur waktu tanpa ada kejelasan proses selanjutnya," tegas Siprianus.
Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan data yang dirilis The Wealth Report 2022 menunjukkan dalam kurun waktu lima tahun 2021-2026 jumlah orang kaya Indonesia diperkirakan akan meningkat 63 persen menjadi 134.015 orang dari posisi pada 2021 sebanyak 82.012 orang. Kelompok yang dimaksud itu adalah mereka yang masuk dalam kategori High Net Worth Individuals (HNWIs) dengan harta kekayaan lebih dari satu juta dollar AS atau ekuivalen dengan 14,3 miliar rupiah.
Sedangkan jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2022 tercatat 26,36 juta orang atau 9,57 persen. Jika dibanding pada Maret 2022 mengalami kenaikan 0,20 juta jiwa.
Menurut Badiul, ketimpangan itu karena peningkatan kekayaan kelompok tertentu yang melakukan praktik kronisme atau bagian dari kelompok oligarki. Mereka itu yang kemudian memperdalam jurang pemisah dan merusak pranata sosial dan demokrasi dalam hal ini prinsip keadilan sosial yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia.
"Jika pemerintah tidak melakukan kontrol dan cenderung membuka lebar kran bagi kroni akan merusak perekonomian nasional karena rusaknya perekonomian masyarakat akibat monopoli para kroni," tandas Badiul.
Selama 25 tahun perjalanan reformasi, ternyata belum mampu memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pemerintah dalam berbagai kebijakan lebih berpihak pada kroni sehingga terkadang mengabaikan kepentingan rakyat.
"Pemerintah seharusnya kembali ke semangat reformasi dengan menciptakan keadilan dan memberi kesempatan yang sama bagi seluruh rakyat untuk mengelola seluruh sumber daya alam," kata Badiul.
Sebelumnya, Ketua Umum Pergerakan Advokat Indonesia, Heroe Waskito mengatakan haram hukumnya elite politik kembali mendengungkan isu SARA demi memperebutkan kekuasaan. Tidak bisa ditunda lagi, negara ini mesti memasuki demokrasi esensial di mana isu-isu fundamental rakyatlah yang menjadi ajang pertarungan adu gagasan semua calon pemimpin.
"Jadi jangan bicara etnis dan menyalahkan etnis tertentu, tapi tunjuk siapa orangnya yang menjadi penyebab ketimpangan. Pasti tidak punya nyali, pasti tidak berani, karena itu temannya sendiri. Sebagai satu bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan negara hukum maka hukum harus ditegakkan atas para pelaku kejahatan ekonomi dan ketimpangan. Kenapa perampok BLBI tidak ditangkap, kenapa pembayaran kepada debitur diteruskan sampai saat ini? Di akar masalah inilah hukum ditegakkkan. Jangan melenceng mengambinghitamkan agama dan etnis tertentu," katanya.