Oleh Maksun

Hari raya tidak saja mengandung ritus-ritus, tapi juga sarat nilai-nilai dan pesanpesan moral. Kesemarakannya tidak saja termanifestasikan dalam bentuk syiar, tapi juga dalam diam, bisikan, dan keharuan. Demikian juga Idul Adha yang menyimpan banyak pesan moral untuk self cleaning. Dia menjanjikan peleburan jiwa ke dalam proses penemuan jati dan harga diri. Kalimat takbir, tahmid, dan tahlil yang dikumandangkan, pada prinsipnya bukanlah apa-apa, tapi hanya sebuah ekspresi ketakjuban, refleksi kekaguman spontanitas, totalitas kepasrahan atau peleburan diri ke alam.

Pengandaiannya, semangat Idul Adha sesungguhnya tidak berhenti hanya untuk memperkaya horison pengalaman beragama secara individual, tapi juga terimplementasi pada tataran empiris sosial. Dia harus meningkatkan kualitas penghayatan individu terhadap universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Maka, kedudukan agama bukanlah semata-mata cultus privatus, tapi cultus publicus. Berkaitan dengan itu, untuk membuka tabir ibadah kurban secara lebih mendalam agar menghilangkan kesan hanyalah "pesta daging" sesaat dan rutinitas tahunan, maka diperlukan kemampuan menangkap pesan-pesan moral di dalamnya.

Idul Kurban setiap tanggal 10 Dzulhijjah, berkelit-kelindan dengan kenabian Ibrahim AS. Artinya, nilai ibadah dalam Idul Kurban beserta hikmahnya, memiliki mainstream kesejarahan dalam kehidupannya. Maka, dia merupakan salah satu bentuk ritual keagamaan yang sarat pesan moral dan makna simbolik perjalanan serta pengalaman spiritual Ibrahim.

Teladan keteguhan iman, ketabahan, dan ketaatannya, patut direfleksikan dalam kehidupan modern atau postmodern ini. Sebab, di era sekarang terdapat kecenderungan, sikap dan perilaku manusia modern telah terjangkiti virus permissiveness. Masyarakat modern tampil dengan ciri serba membolehkan, melepaskan dan menegasikan norma-norma agama, nilai-nilai moral dan ketuhanan.

Pengabaian terhadap nilainilai moral dan ketuhanan jelas akan melahirkan konsekuensi negatif dengan munculnya rasa dan asumsi manusia tentang pemilikan terhadap segala sesuatu secara absolut. Implikasinya, harta kekayaan, kedudukan, keluarga, kekuasaan politik, ekonomi, dan sebagainya, sering diasumsikan sebagai kepunyaan sendiri secara absolut.

Dalam realitas kehidupan semacam itu, momentum Idul Adha dapat dijadikan sebagai media penyampaian pesan-pesan moral ketuhanan dan hikmah dari sejarah kehidupan Ibrahim dan keluarganya. Tujuannya, manusia disadarkan dan dikembalikan ke fitrahnya dalam beragama. Dengan begitu, mengimani keesaan Tuhan dan meyakinkan kekuasaan-Nya. Keteguhan iman dengan semangat pengorbanan memberi arti penting bagi manusia, betapa hakikat kehidupan ini sama sekali tak bisa menegasikan Tuhan.

Pesan moral ketuhanan ini, segala milik itu sangat terbatas. Maka, memiliki dan menguasai segala di dunia ini, berlaku hukum nisbi dan relatif. Semua milik sesungguhnya tidak ada yang absolut dan abadi. Semangat berkorban dan pesan moral ketuhanan mengajarkan, seluruh milik bukanlah kepunyaan kita sebenarnya. Semua dan bahkan diri kita sendiri pun milik Tuhan.

Kini kurban tidak hanya dalam wujud hewan kurban. Lebih dari itu, segenap milik, bahkan diri kita sendiri bisa menjadi simbol kurban untuk menunjukkan keteguhan iman dan ketaatan kita kepada Allah.

Kemanusiaan

Relevansi dan signifikansi lain Idul Kurban berkait erat dengan pesan moral kemanusiaan serta solidaritas sosial. Pesan ini dapat dilacak dari jenis kurban yang sesungguhnya. Digantinya korban dengan seekor hewan sembelihan, mengindikasikan betapa Tuhan menghormati manusia dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan.

Karena itu, Tuhan tidak memperkenankan dan sangat melarang manusia mengorbankan manusia yang lain. Tuhan tidak haus darah dan tak butuh keratan daging dari jasad yang dikurbankan. Sebab pada prinsipnya, syariat berkurban dengan menyembelih hewan yang telah memenuhi kualifikasi dan kriteria, bukan buat Tuhan. Yang akan sampai dan diterima Tuhan hanyalah niat tulus dan ketaatan. Sedangkan daging kurban diberikan dan dibagi-bagikan kepada sesama, terutama fakir miskin, kaum tertindas, teraniaya, sebagai simbol kepedulian sosial (QS.22:37).

Tafsir keikhlasan Ibrahim untuk mengorbankan putranya sebagai kisah Idul Adha, relevan dengan ayat-ayat qauniyah di langit keindonesiaan dewasa ini. Pesan hakikat kurban untuk membangun sikap mengikhlaskan segisegi kehidupan yang berpotensi untuk kita cintai sebagai 'milik,' berhadapan dengan kenyataan keseharian kita. Yakni, berseliwerannya kasus penyelewengan kekuasaan dengan segala bentuknya.

Dalam konteks keindonesiaan masa kini, harus berani mengorbankan yang paling kita cintai.

Kecintaan yang kuat akan kepemilikan berpotensi memalingkan diri dari Allah. Sesuatu yang kita cintai bisa saja berupa harta, uang, kekuasaan, atau jabatan yang mampu menjauhkan dari amanah.

Akal terkadang tidak mau tunduk pada pemahaman keamanahan. Logika yang dikembangkan sering lebih memilih untuk memanfaatkan peluang. Dalam praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan, kita jelas membutuhkan sosok-sosok pemimpin teguh, yang ternyata hanya fatamorgana. Mereka seolah-olah berpihak kepada rakyat, namun kita terbanting oleh kenyataan.

Banyak pemegang kekuasaan yang menyuarakan perang melawan korupsi. Bahkan ada yang mengusulkan hukuman, misalnya, potong jari tangan, untuk menciptakan efek jera. Namun, jangankan menjaga marwah amanah kepemimpinannya, pernyataan itu begitu saja termentahkan oleh realitas pejabat publik tersebut tertangkap tangan menerima suap. Kondisi-kondisi antiamanah seperti inilah yang terus tersaji. Ini sangat menyedihkan.

Konsistensi Ibrahim sebagai pesan moral Idul Adha, di hadapan kondisi sekarang, ibarat paradoks pengorbanan. Hakikat berkorban mengikhlaskan sesuatu yang dicintai. Ini tidak tampak dalam praktik politik kekuasaan. Tidak ada pengorbanan di dalamnya. Elite yang seharusnya banyak berkorban, mereka menegasikan. Merkea seharusnya berpihak kepada rakyat, tapi justru fokus pada diri sendiri demi kepentingan- kepentingan untuk memenuhi hajat kekuasaannya.

Jika bersungguh- sungguh menegakkan amanah, pemimpin bersikap berkurban. Namun sikap itulah yang belum menjelma sebagai pancaran internalisasi kepemimpinan. Kita terjerat fenomena pengedepanan posisi sebagai kesempatan untuk mengeksplorasi sebanyak mungkin raihan materi. Betapa banyak ayat qauniyah yang menjelaskan secara gamblang. Sikap anti-amanah itu telah memerosokkan begitu banyak elite.

Marilah menangkap pesan moral ketuhanan dan kemananusiaan demi terwujudnya kehidupan sosial yang lebih religius, egaliter, dan humanis. Semoga ibadah kurban setahun sekali ini tidak dibatasi waktu dan materi, melainkan sebagai media kristalisasi semangat berkurban kepada sesama dan melahirkan semangat terus berbuat baik.

Penulis Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo

Baca Juga: