» Investor berburu dollar AS dan yen karena khawatir krisis perbankan global makin meluas.

» Terlalu dini jika OJK menyatakan penutupan SVB di AS, dampaknya kecil ke Indonesia.

JAKARTA - Kekhawatiran akan meluasnya krisis perbankan di Amerika Serikat (AS) dengan dilikuidasinya Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank mulai menghantui pasar keuangan global. Apalagi, pada Kamis (16/3) diberitakan kalau Credit Suisse, salah satu bank ternama di Eropa, akan mengajukan pinjaman hingga 54 miliar dollar AS ke Bank Sentral Swiss (SNB).

Pinjaman itu untuk menopang likuiditas dan menjaga kepercayaan investor setelah saham bank tersebut pada perdagangan Rabu (15/3) anjlok hingga 30 persen. Informasi pengajuan pinjaman ke bank sentral itu segera direspons investor di bursa regional Asia menjelang penutupan perdagangan Kamis dengan memburu safe haven atau aset investasi yang nilainya tetap terjaga meskipun ekonomi dunia tidak stabil. Investor pun berburu dollar AS dan yen Jepang karena khawatir krisis perbankan global makin meluas.

Kekhawatiran munculnya tekanan-tekanan baru tersebut pada bank-bank di AS dan Eropa menimbulkan berbagai aksi spekeluasi kalau krisis perbankan bisa meluas dan sistemik.

Perburuan greenback dan yen itu membuat dua mata uang tersebut tetap kuat pada perdagangan Kamis. Yen menguat lebih dari 0,5 persen untuk memperpanjang kenaikan 0,6 persen dari posisi sehari sebelumnya, dan terakhir di posisi 132,80 per dollar AS.

Sedangkan kurs dollar AS terhadap franc Swiss menguat 2,15 persen atau kenaikan harian tertinggi sejak 2015. Di sisi lain, posisi franc Swiss tetap berada di dekat level terendah dalam satu minggu.

"Sekarang, Credit Suisse memiliki kekuatan dari bank sentral Swiss yang melindunginya, yang merupakan bank sentral yang tidak main-main di saat krisis," kata analis pasar senior di City Index, Matt Simpson.

"Jadi pada akhirnya, saya pikir ini adalah hal yang baik untuk sentimen pasar. Saya hanya tidak yakin apakah atau kapan investor akan menarik kesimpulan yang sama dengan semua emosi yang ada," katanya.

Credit Suisse berjuang untuk memulihkan kepercayaan investor dan nasabah dari serangkaian skandal. Hal itu yang menyebabkan mereka menjadi korban terbaru yang terjebak dalam krisis kepercayaan setelah runtuhnya SVB minggu lalu.

Penutupan SVB, pada Jumat (10/3), diikuti runtuhnya Signature Bank dua hari kemudian telah memaksa Presiden AS, Joe Biden buru-buru memberikan jaminan bahwa sistem keuangan aman dan mendorong tindakan darurat AS yang memberi bank akses yang lebih luas ke banyak pendanaan.

"Mengingat meningkatnya ketidakpastian dan kekhawatiran tentang penularan keuangan yang lebih luas, dollar AS serta yen, akan menjadi penerima manfaat utama karena permintaan safe haven," kata ahli strategi mata uang di Commonwealth Bank of Australia (CBA), Carol Kong.

Sementara itu, euro mengalami penurunan yang dalam pada Kamis dan berakhir naik 0,27 persen menjadi 1,0607 per dollar AS, setelah jatuh 1,4 persen pada sesi sebelumnya. Demikian juga, pounsterling naik 0,14 persen menjadi 1,20725 per dollar AS, setelah jatuh hampir 0,9 persen pada Rabu (15/3).

Investor pun dikabarkan cemas menunggu kejelasan lebih lanjut tentang seberapa luas dampaknya, dan langkah-langkah penyelamatan dari pihak berwenang yang dinilai belum banyak membantu meredakan ketakutan yang meningkat.

Bank Sentral Eropa (ECB) akan bertemu pada Kamis dan akan mengumumkan keputusan suku bunga setelah pertemuan tersebut. Menjelang itu, para pedagang dengan cepat bergerak untuk mengurangi taruhan mereka pada kenaikan suku bunga 50 basis poin, karena kejatuhan saham Credit Suisse memicu kekhawatiran tentang kesehatan bank-bank Eropa.

"Tentu saja ada risiko bahwa ECB tidak akan menindaklanjuti pra-komitmen kenaikan 50 basis poin karena masalah stabilitas keuangan," tambah Kong dari CBA.

Lakukan "Stress Test"

Direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, yang diminta pendapatnya mengatakan perlunya mewaspadai efek domino kejatuhan bank SVB yang mengingatkan pada dotcom bubble tahun 1995-2000. Bedanya, dotcom bubble saat ini lebih terintegrasi antara startup digital dan sektor keuangan sehingga mengirim sinyal risiko secara global.

"Sangat wajar investor berburu safe haven seperti emas dan dollar AS, karena krisis manajemen risiko di perbankan cenderung agresif dan homogen di bisnis digital. Bedanya, dotcom bubble pada 1995-2000 tidak ada bank yang sampai gagal bayar atau di bailout, sedangkan konektivitas digital dan keuangan saat ini sudah mengorbankan beberapa bank.

"Sekarang yang perlu diwaspadai efek domino ke modal ventura di mana beberapa perusahaan startup merugi dan membutuhkan suntikan modal baru untuk mempertahankan operasionalnya," kata Bhima.

Dia pun menyarankan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan segera melakukan stress test dan mitigasi risiko bank-bank di Indonesia. "Terlalu dini menyatakan dampak penutupan SVB, sangat kecil ke Indonesia," pungkasnya.

Baca Juga: