Hasil audit BPK harus dipuji, karena kita jadi sadar bahwa kita harus berani menghadapi kenyataan dengan situasi yang terburuk.

JAKARTA - Pengucuran kredit secara besar-besaran ke sektor properti yang kini terancam macet tidak bisa diselesaikan dengan menunggu ekonomi mengalami recovery. Bunganya akan jalan terus, makin hari makin menumpuk. Apalagi bunganya bunga majemuk atau bunga berbunga. Jangan berpikir masalah ini selesai sendiri dengan berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih cepat dari perkembangan utang beserta bunganya yang kini sudah mencapai 6.500 triliun rupiah atau 41 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Banyak yang memperkirakan, dengan vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan, tahun ini pandemi akan selesai dan pertumbuhan ekonomi akan kembali normal. Ternyata muncul berbagai varian baru dari virus Covid-19 seperti varian delta, alpha, dan beta yang sudah masuk ke Indonesia.

Sebagaimana diketahui, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengindikasikan adanya penerima Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) sebesar 1 triliun rupiah yang tidak sesuai kriteria. Dan yang belum disalurkan ada 14 trilun rupiah.

Hal itu menandakan fungsi intermediasi bank tidak berjalan sebagaimana mestinya karena ditengarai bukan ke sektor riil tetapi ke bank milik konglomerat yang digunakan untuk membiayai sektor propertinya (Koran Jakarta edisi Kamis (24/6). Itu jelas pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Berdasar audit BPK, 97 persen dana Obligas Rekap BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) saat krisis ekonomi 1998 disalurkan ke kelompok usahanya.

Dalam hasil auditnya, BPK juga meminta pemerintah mewaspadai penambahan utangnya sebab trend penambahan utang dan pembiayaan bunga telah melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara sehingga dikhawatirkan pemerintah tidak mampu membayarnya.

Menurut Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi yang dihubungi di Jakarta, Kamis (24/6), seharusnya pelanggaran BMPK dana Obligasi Rekap BLBI ke kelompok sendiri di masa lalu yang kini sangat menyengsarakan rakyat Indonesia, bisa dijadikan pelajaran. Dana intermediasi perbankan tidak bisa digelontorkan hanya ke sektor yang spekulatif dan sektor konsumtif barang impor.

Akibatnya, pertumhuan ekonomi yang terjadi adalah pertumbuhan semu. Kalau ekonomi misalnya tumbuh 5 persen, bisa jadi 3,5 persen berasal dari barang impor tadi. Riilnya mungkin hanya 1,5 persen saja. Dan ini sudah berjalan bertahun-tahun.

"Jadi tidak mungkin pertumbuhan ekonomi yang semu itu bisa mengejar beban utang, baik bunga maupun pokoknya. Apalagi jika kita utang dalam valuta asing, cadangan devisa kita tidak sehat. Dan kalau mau jujur, sebagian cadangan devisa yang kita miliki adalah stanby loan dari sejumlah negara kreditur kita," kata Badiul.

Namun menurutnya, menteri yang memang suka impor tidak perduli dengan hal itu karena kepentingannya jangka pendek.

"Mereka mengabaikan ekonomi berkelanjutan seperti pertanian nasional, pengusaha kecil, ekonomi perdesaan, dan sektor riil. Mereka sangat egois. Jadi tidak mungkin pertumbuhan ekonomi yang semua bisa mengejar kewajiban utang negara," katanya.

Karena itu, kredit properti yang per April 2021 sudah mencapai 1.070 triliun rupiah lebih itu harus segera diselesaikan, kalau tidak beban bunga akan terus berjalan sementara daya beli masyarakat semakin minim. Ujung-ujungnya kredit macet, tahun depan menjadi 1.177 triliun rupiah.

Solusinya adalah pertumbuhan ekonomi riil dan berkelanjutan yang meningkatkan pendapatan rakyat secara berkelanjutan. Dan itu hanya bisa dicapai dengan penciptaan lapangan kerja di sektor industri nasional sehingga uangnya bisa berputar di dalam negeri berpuluh-puluh bahkan bisa beratus-ratus kali, bukan hilang menguap untuk barang impor.

Senada dengan Badiul, Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti mengatakan, pertumbuhan utang yang lebih tinggi dari PDB akan membuat fiscal budget space lebih sempit sehingga kegiatan pemerintah pun terbatas karena anggaran terbatas. Akibatnya perekonomian akan kontraksi.

Mengenai pelanggaran BMPK, Esther menilai selama ini hukuman yang diberikan kepada bank pelanggar BMPK terlalu ringan. Meski aturannya ada, tetapi implementasinya sering tidak tegas. Itu mengapa bank dengan sengaja melakukan pelanggaran BMPK berulang kali.

"Pihak bank harus bertanggung jawab karena mereka yang berhadapan langsung dengan pengusaha properti tersebut, tegas Esther yang juga setaf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) itu.

Puji Hasil Audit BPK

Esther memuji hasil audit laporan keuangan pemerintah yang mengkhawatirkan pemerintah tidak mampu bayar utang.

"Hasil audit BPK harus dipuji. Dengan hasil audit tersebut kita jadi sadar bahwa kita harus berani menghadapi kenyataan dengan situasi yang terburuk kalau pemerintah tidak mampu bayar utang. Saya rasa rakyat Indonesia juga berterima kasih kepada BPK. Hanya dengan menghadapi masalah secara terbuka, kita akan bisa mencari solusi. Masalah seberat apapun dapat diselesaikan jika dihadapi secara realistis dan cepat. Kalau tidak kita hadapi, imbasnya bisa lebih parah dari krisis 1998," katanya.

Dari Surabaya, pengamat ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Suroso Imam Zadjuli mengatakan keterpurukan ekonomi dalam kasus BLBI bukan karena krisis ekonomi yang melanda dunia saat itu, tetapi itu kejahatan perbankan yang membuat para pemilik bank saat ini jauh lebih kaya dari sebelumnya karena utangnya ditanggung negara dan bank tetap jadi miliknya.

"Dulu bank-bank yang menjamur itu diberi talangan tetapi malah dibawa lari ke luar negeri, mereka semakin kaya, dan uangnya digunakan untuk mempengaruhi kebijakan negara kita. Ini akibat ada oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, moral etikanya perlu dipertanyakan. Karenanya negara mengalami kerugian yang luar biasa, harus menanggung utang bunga berbunga karena obligasi rekap ini. Maka utang ini harus ditagih, dengan memaksimalkan Satgas BLBI yang sudah dibentuk oleh Presiden Jokowi," tuturnya.

M Nafik yang juga pengajar di Unair mengatakan, pembiayaan properti bila tidak dikelola secara baik akan menimbulkan masalah.

"Akan menjadi masalah bila dana perbankan yang disalurkan ke properti merupakan dana jangka pendek, yang bila terjadi keterlambatan atau macet pembayaran kreditnya, akan terjadi masalah serius, tapi jika dana perbankan yang disalurkan merupakan dana jangka panjang maka perbankan akan lebih aman dan bubble property tidak akan terjadi," katanya. n ers/SB/YK/PR

Baca Juga: