JAKARTA - Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) meminta pemerintah menjatuhkan sanksi hukum kepada pengelola TPA Sampah Tidak Normal.
Istilah tempat pembuangan akhir (TPA) sampah normal dan tidak normal, "buka", "tutup" sudah lama dikenal. Terminologi tersebut berkaitan dengan kondisi operasional TPA menerima kiriman sampah dari suatu wilayah kabupaten/kota.
Belakangan marak sejumlah TPA tidak normal atau ditutup. Bisa jadi karena kelebihan sampah. Bisa juga karena kondisinya darurat atau sangat darurat! Kasus ini dialami TPA Cipeucang Tangerang, TPA Burangkeng Kabupaten Bekasi, TPA Sarimukti Bandung, TPA Piyungan Yogyakarta, dll.
Menurut Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) Bagong Suyoto, suatu TPA dikatakan tidak normal artinya kondisi TPA sudah penuh dengan berbagai jenis sampah sehingga tak mampu menampung lagi. Tidak ada pemilahan sampah dari sumber, ini terjadi nyaris di seluruh Indonesia. Jika ada pengiriman baru, ratusan truk sampah harus mengantre berjam-jam, bahkan sehari semalam.
"Ketika hujan, gunung-gunung sampah TPA darurat longsor menutup dan menghancurkan infrastruktur jalan, drainase, IPAS, fasilitas gudang, dll. Hal ini dialami TPA Sumurbatu beberapa tahun lalu, pengomposan Patriot terkubur longsoran sampah," kata Bagong dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/1).
"Belakangan, akhir 2022 dan awal 2023 malapetaka sampah mendera TPA Burangkeng. Beberapa kali sampahnya longsor dan pengelolanya kewalahan mengatasi kiriman sampah. Kondisinya sangat kritis, boleh dibilang sudah tumbang!" lanjutnya.
Sebelum tahun 2000-an, TPA tidak normal ditutup. Warga sekitar protes karena pencemaran lingkungan dari gas-gas sampah dan leachate mengancam kesehatan mereka. Seperti kasus buka tutup yang pernah dialami TPA Bantargebang tahun 1990-2000-an. Juga kasus TPA Sumurbatu, TPA Burangkeng yang diprotes warga, TPA Galuga Bogor, dll. Akarnya, TPA buruk mencemari lingkungan, mengancam kesehatan, tidak ada kompensasi, lalu ditutup warga.
Berbeda saat ini, penutupan TPA terjadi karena semua zona sudah penuh sampah. Bukan akibat didemo dan ditutup warga atau aktivis lingkungan.
"Semakin banyak gunungan sampah menjulang dan pencemaran (udara, tanah dan air) semakin meluas. Akibat TPA dikelola secara open-dumping, tidak ada IPAS (pengolahan air lindi). Sampah hanya ditumpuk-tumpuk. Ini bentuk mengelola sampah yang buruk," kata Bagong.
Akibat pengelolaan TPA yang sangat buruk, maka tidak mudah memasukinya. Harus ada izin resmi dari Dinas Lingkungan Hidup, setelah itu lapor ke kantor UPTD TPA, baru diantar oleh staf dan petugas sekuriti memasuki area TPA sampah. Prosedurnya panjang, makan waktu dan TPA dijaga ketat selama 24 jam.
Namun Bagong mengakui mengelola sampah itu tidak mudah, apalagi jika jumlah timbulannya besar atau sangat besar, mencapai 1.000 sampai 10.000 ton/hari. Untuk mengelola timbulan sampah ratusan ton/hari banyak yang kewalahan. Jika dilakukan sendiri akan sangat berat. Maka diperlukan partisipasi semua pihak, yakni dunia usaha, masyarakat dan stakeholder lain. Dan, yang bantuan multi-teknologi, infrastruktur dan anggaran yang cukup.
Sekarang, penduduk semakin banyak dan sampah bertambah banyak. Gaya hidup makin konsumtif dan kemajuan pembangunan sudah tinggi. Gaya hidup modern sudah menjadi bagian dari napas hidup sehari-hari, implikasinya sampah modern berupa gelas plastik, sendok plastik, berbagai kemasan plastik tak ramah lingkungan membebani lingkungan hidup.
"Kita belum menghayati dan menerapkan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, PP No. 81/2012, UU No. 32/2009, Perda dan peraturan perundangan terkait. Semestinya penanganan sampah mengikuti hireraki pengelolaan sampah. Amanahnya mengelola dan mengolah sampah dari sumber dengan multi-teknologi ramah lingkungan," jelas Bagong.
Mestinya, kebijakan yang dibuat di pusat terintegrasi dan bisa diimplementasikan di tingkat kabupaten/kota hingga tingkat RT/RW dan rumah tangga. Lembaga dan pejabat tingkat kelurahan/desa harus ikutserta menangani sampah. Hal ini telah diterapkan pemerintah Kota Malang, Jawa Timur. Pekerja kebersihan persampahan dari Dinas Lingkungan Hidup dan kelurahan/desa.
Juga sangat penting mensosialisasikan "budaya malu". Malu membuang sampah sembarangan. Karena akan mengotori jalan kampung, saluran air, pekarangan, sungai, pantai, laut, dll, akan mengundang berbagai penyakit, penyebab banjir, merusak keindahan dan merendahkan martabat manusia.
"Jika TPA tidak normal atau tutup, sering tutup karena sudah penuh sampah, sebenarnya siapa yang salah atau tidak profesional? Bisa dibilang yang tidak profesional kepala UPDT TPA, Kabid Persampahan atau Kadis LH? Karena mereka yang memilih kepala UPTD TPA. Orang tidak ahli diserahi tugas berat," katanya.
"Pada level lebih tinggi, semua itu yang salah kepada daerahnya, bupati/walikota. Karena tidak peduli dengan sampah dan TPA-nya. Kepala daerah bisa diseret ke ranah hukum/litigasi berdasar tuntutan lembaga lingkungan maupun class action warga sekitar (sesuai legal standing).
"Kita butuh suasana baru yang mencerahkan agar persoalan sampah tidak berlarut-larut. Maka harus dilakukan penegakan hukum pada pengelola TPA tidak normal, atau yang tidak mengolah sampahnya! Sudah waktunya kita berada pada era baru pengolahan sampah di Indonesia," pungkasnya.